Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for April 2010

-Sepenggal Naskah Pemberontakan Umat Manusia-


posted by Unknown on ,

No comments

Saat kami dilemparkan ke tanah penuh ilusi ini,
Kami kosong,
Hingga kini pun kami tetaplah kecil.
Namun variabel semakin meluas dan kompleks....

Kami dibelenggu,
dijerat keterbatasan mekanistik ragawi.
Kami berontak,
menagih janji kebenaran.
Adakah itu kan datang?
Ataukah hanya bagian dari ilusi dan fatamorgana hidup?

Kami mendaki,
meski ta jelas apa yang kami dapatkan dipuncak tinggi sana.
Sementara pendakian ini begitu melelahkan dan juga penuh kepalsuaan bahakan KEKOSONGAN!

Kami bejanji tentang pengabdian pada Sang Maha yang melemparkan kami.
Adakah itu membuat kami selamat?
Setidaknya itu merupakan tawaran "perjudian" yang menggiurkan.

Tuhan, kami asing ditanah ini.
Bertanya-tanya tentang pelbagai problematika.
Hingga lelah dan tersungkur jua.

Sial sekali, Engkau melemparkan kami ke tempat yang nyaman.
Membuat kami enggan untuk bangun dan menyadari keterasingan kami ditanah ini.
Andai saja kami semua menyadari keterasingan ini,
Pastilah kenyamanan ini akan kami tinggalkan.

Tuhan,
Itulah sepenggal naskah pemberontakan kami.

---UMAT MANUSIA---



***Kami sedang berlayar dengan sampan kecil nan rapuh
meninggalkan dermaga tua yang daratannya penuh dengan kegembiraan dan kenyamanan
Untuk menerjang ombak samudera luas yang tepi nya bahkan tidak kami ketahui.
Sialnya,
Sebelum kami berlayar, kami telah membakar dermaga itu.
Maka mustahil untuk kembali.*** (Inspired by Nietzsche)

Sungguh Indah Keberagaman Ini


posted by Unknown on ,

No comments

Pernahkah kalian mendengar gejolak perpecahan karena agama?
Melihat distorsi terjadi di tanah penuh pluralitas ini?
Melihat intimidasi hingga genosida terjadi karena faktor agama?

Gejolak yang ta akan pernah padam di negara yang memiliki tingkat pluralitas dan kompleksitas yang tinggi seperti Indonesia tercinta ini. 

     Kisah mungkin dimulai ketika aku berada didalam ruang kelas Extension Course Filsafat UNPAR yang pada saat itu membahas pluralitas. Ada perasaan ganjil dan sangat berbeda di pertemuan yang ke sekian kalinya itu, aku merasa ada sesuatu yang selama ini aku rasakan namun ta' pernah kusadari. Aku kini duduk bersama diruang yang penuh dengan pluralitas ras, doktrin, religi, gender, dan status sosial. Aku melihat sekeliling dengan penuh takjub, melihat nuansa harmonis sesama peserta dikelas itu. Aku melihat salib Yesus terpasang jelas di dinding-dinding ruangan yang tepat di depannya duduk seorang wanita berjilbab, aku melihat pria setengah baya yang entah mengapa karena penampilannya aku mengasosiasikan dirinya sebagai "pastor" Kristiani, aku melihat disisinya duduk lelaki renta yang khas dengan kaca matanya, aku melihat segerombolan pria yang khas sekali sebagai pria "Indonesia Timur", aku melihat seniman yang aku kenali di acara itu duduk disampingku,dan aku pun berkaca, melihat diriku sebagai bocah kecil yang tidak tahu banyak tentang dunia. Semua hangat duduk bersama bertukar ilmu, tanpa memperkarakan siapa dirinya.
     Kondisi tersebut kurang lebih dapat menggambarkan betapa besarnya setiap individu. Mampu menabrak habis koridor-koridor pembatas dan kategorisasi yang sebenarnya hanyalah konstruksi politis, untuk kepentingan, tidak lebih!
     Mari kita tengok sejenak kondisi sosial yang sedang terjadi. Marak sekali intimidasi-intimidasi yang dilakukan kaum mayoritas terhadap minoritas. Mungkin karena para agamawan  fundamentalis itu merasa kelompoknya/agamanya/dogmanya/ajarannya lah yang paling benar dan dengan begitu, menyalahkan yang lain dirasa perlu. Ahmadiyah contohnya, belakangan ini kasus Ahmadiyah cukup menarik mata tajam yang Tuhan berikan ini. MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang sejatinya sebagai lemabaga intermediator dan "wasit" malah berpihak dan bahkan menggiring opini publik untuk mengklaim Ahmadiah itu sesat. Biarkanlah Agama tumbuh kembang dengan dogmanya masing-masing, berikanlah ruang publik yang bebas untuk bergerak, selama pergerakan itu tidak mengintervensi agama atau pihak lain, dirasa sah-sah saja. Bukankah dasar dari agama itu adalah iman(percaya!), jadi tidaklah pantas seorang "wasit" menyalahkan "kepercayaan" sekelompok orang yang menamakan dirinya Ahmadiyah itu. Aku berdiri bukan dipihak Ahmadiyah dan tidak mungkin pula di pihak MUI.
     Masih banyak kasus-kasus serupa yang berlandaskan kerangka berpikir fundamentalis. Bagiku sebenarnya sederhana saja, mengapa manusia harus memberi label bersalah pada pihak yang tidak sejalan? Apakah jalan yang sedang dijalani ini sudah benar? dan yang lain pasti salah? Aku rasa tidak. Apapun itu, iman tetaplah iman. Bagaimana mungkin dapat menyalahkan apa yang orang lain percayai dengan komparasi dan indikator "kebenaran" atas dasar "kepercayaan"(iman) yang kita miliki? Jelas akan selalu menimbulkan kontradiksi.
     Aku mengamini pendapat yang menyatakan bahwa: "Manusia itu hanya terdiri dari kebenaran sekaligus kesalahan". Tidak ada tendensi agama didalamnya, mau Islam, Katolik, Protestan, Budda, Hindu, atau apapun yang terpenting bukan yang mana yang paling benar, melainkan jalani lah apa yang "diimani" dengan sebenar mungkin. Seperti apa bentuk imannya, bukanlah perkara, karena itu merupakan personalitas setiap individu.
     Janganlah biarkan manusia direduksi dan terkooptasi konstruksi politis yang menjadikan manusia tidaklah menjadi manusia, manusia yang dibentuk menjadi satu kategori, yang menjadikan dikotomi religiusitas mengakar kuat. Ada kondisi dimana label agama tidak dipandang penting, seperti dalam kerja bakti, proses belajar di kelas, dan  interaksi sehari-hari. Ketika Agama bergelut dengan urusan keTuhanan, maka proses ritual penyembahan barulah menjadi berbeda, bahkan tidaklah menutup kemungkinan individu yang seagama namun Tuhannya berbeda. Adakah yang dapat menjamin seluruh umat Islam Menuhankan Tuhan yang sama?. Tuhan itu metafisik, sehingga ada dalam imaji dan ranah iman. Maka sangat memungkinkan perwujudanNya akan bersifat sangat personal.
     Mari kita hancurkan koridor-koridor pembatas dalam kehidupan religius kita, karena sesungguhnya tujuan seluruh umat beragama adalah kebenaran. Setiap agamapun akan mengklaim agamanya lah yang paling benar dan paling diterima disisi Tuhan. Namun adakah yang dapat menjawab dan memastikan pertanyaanku:
"Tuhan, Agamamu apa?"
     Bagiku umat Islam akan menjawab Islam, umat Kristiani akan menjawab Kristen, dan seterusnya. Akankah pluralitas itu selalu dijadikan masalah?

***
Aku berjalan perlahan keluar dari ruang kelas ini bersama mata sayu'ku yang menatap sekeliling,
Sungguh indah keberagaman ini......

Abu


posted by Unknown on

No comments

Serpih reruntuhan ini menyergap sunyi
Detak riuh rendah rintikan hujan
Menjelma menjadi kesatuan harmoni
Menyatu dengan kosmos
Meski aku tetaplah aku
Hitam tetaplah gelap
Putih tetaplah terang

Sudahlah,
Abu ta'perlu ikut campur
Aku muak!

Let go of all of your pain


posted by Unknown on

No comments

I'm sitting on the edge of the water

Contemplating my strange life
The sun starts to fall into the ground
A breeze picks up off the waves
And everything is fine

I know that I am not alone
Everyone makes mistakes and starts to learn with time
I am content with who I am
There's nothing more I need to say
I'm happy with my life

Let go of all of your pain.....


Mengada Dalam Kekosongan


posted by Unknown on

No comments


Ketika Kekosogan menggoda hasrat.
Menawarkan berjuta asa
Terkulminasi realitas bentukan belaka

Rintih itu kini kian bias ditelinga
Berganti gelagar semangat muda
Meski sekedar euforia
Itulah diskursus mentalitas muda
Luapan asa seolah menari dalam konsepsi
Merangkai indah esok senja

Mendekatlah kepadaku
Kan ku beri sisa malam
Bersama kosongnya produk urban.
Mungkin itu milik kita
Meski nyata sudah tangan perkasa menggenggam dunia
Menancapkan hegemoni kaum mereka
Adakah sisa-sisa berserak dihalaman?
Mari kita bersihkan dengan nada irama klasik.
Melantun melodi penyayat raut gelisah

Marilah,
Kita menari didalam kekosongan ini.
Mendendangkan syair ironi milik kita......

The Leap Of Faith - Konsepsi Soren Kierkegaard.


posted by Unknown on

No comments



     Iman, kebenaran, subyektivitas, dan ironi dalam pandangan eksistensial haruslah diletakkan pada kesatuan eksistensial. Iman selalu menyangkut Tuhan yang absolut. Tuhan bukanlah seperti seluruh pengada yang ada di alam dunia ini, Tuhan juga tidak eksis karena Ia abadi. Sedangkan dikondisi lain, manusia adalah mahluk yang terbatas pada ruang dan waktu, Manusia adalah mahluk historis. "Kondisi ini akan menjadi paradoks kebenaran ketika kebenaran abadi itu bertemu dengan individu yang bereksistensi" (Kierkegaard).

    Paradoks itu bersumber dari ketidakpastian yang obyektif. Artinya ketidakpastian itu bersumber bukan pada individu dalam proses internalisasinya, melainkan pada kebenaran itu sendiri dan bahkan hingga menyentuh "Pemilik Kebenaran". Untungnya kebenaran itu bersifat "ketidakpastian obyektif", jika kebenaran itu sudah pasti dan obyektif maka tidak perlu melibatkan personalitas individu. Hasilnya : TIDAK AKAN ADA IMAN!

    Iman kata Kierkegaard, justru berakar dari ketidakpastian obyektif. Jika Tuhan dapat dipahami dengan obyektif dan pasti, saya tidak perlu beriman/percaya pada-Nya. Namun justru karena ketidakpastian obyektif inilah saya harus beriman, Karena saya tidak memiliki landasan kokoh lainnya untuk menemukan kebenaran selain "perjudian" iman. Mungkin itulah alasan Kierkegaard melakukan "lompatan iman"(the leap of faith). Oleh sebab itu, iman sesungguhnya adalah perjudian besar! Iman mengandung risiko. Tanpa risiko, maka tidak ada iman.

    Konsep ini juga lah yang nampaknya menjadikan Kierkegaard seorang Eksistensialis (meskipun ia tidak ingin disebut sebagai filsuf eksistensialis). Dengan "lompatan iman" tersebut, manusia berserah diri pada Tuhan, yaitu pada kebenaran obyektif yang kental dengan ketidakpastian. Dalam pilihannya untuk melompat pada iman, sesungguhnya Kierkegaard telah melakuakan upaya apropriasi aktif dan menuang penuh subyektivitas kebenaran. Karena sejatinya memang itulah manifestasi subyektivitas.

    Maka bagi saya sederhana saja dalam keterpurukan dan keluhan manusia mengenai keterbatasan kodrati sejatinya manusia telah dituntun untuk menemukan "iman"nya. Karena hanya iman yang dapat menyelamatkan, meskipun mengandung banyak ketegangan dan risiko. Tapi itulah iman, sedikit mengutip kata-kata teman saya di madfal, Syarif Maulana "Iman itu seperti masuk kedalam lubang gelap". Iman memeng lubang gelap yang dapat menyelamatkan manusia dari peliknya kompleksitas permasalahan manusia dan segala keterbatasannya. Tidak perlu benar, yang penting percaya. Karena iman ya iman. Pecaya!TITIK.

Setidaknya, iman akan membantu sedikit keluar dari pelik absurditas hidup.
Sebuah tawaran perjudian yang begitu menggiurkan.......
Karena itulah, agama-agama besar yang merupakan medium menuju Tuhan dapat bertahan hingga saat ini.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...