Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for Mei 2010

Filsafat Perennial (Bagian 2). --Tuhan, Pluralitas Agama, dan 'Kesadaran' religiusitas--


posted by Unknown on

No comments

Materi diambil dari klik
dan Buku "Perspektif Filsafat Perennial" --Komarrudin Hidayat dan Wahyuni Nafis--
........




Beberapa filsuf maupun pemikir yang berkutat dalam wacana filsafat perennial terdapat pemahaman yang saling berbeda tentang makna esensial dari jenis filsafat tersebut, namun uraianya hanya berhenti pada level perumusannya saja karena pada dasarnya semua perenialis sejak awal perkembangan hingga saat ini sepakat dengan beberapa karakteristik dasar filsafat perennial yang disinggung oleh Aldous Huxley.

Aldous Huxley dalam bukunya menjabarkan kerangka konsep dasar filsafat perennial ia menyebutkan  tiga konsep yaitu: Pertama; Metafisika, yang mencoba mengenal suatu realitas illahi, yang sangat substansial bagi dunia material, kehidupan dan pikiran, Kedua; Psikologi, yang mencoba menemukan di dalam jiwa manusia, sesuatu yang mirip, bahkan identik dengan realitas illahi. Ketiga; Etika, yang menempatkan tujuan atau cita-cita akhir manusia pada pengetahuan akan dasar semua being (ground of all being).

Karl Jasper dalam bukunya The Perennial Scope of Philosophy, menyebutkan : 
"From the biggining there has been some thing irreplaceable in philosophy. Through all the change in human sircumstances and the task of practikcal life, through all progress of sciences, all the development of the categories and methods of thought, it is forever concerned with apprehending the one eternal truth under new conditions, with new methodes and perhaps greather posibilities of clarity."

Dengan pandangan seperti itu Jasper tidak menerima filsafat perenial sebagai suatu sistem. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya filsafat apapun bentuknya atau jenisnya adalah perenial atau abadi. Filsafat itu merupakan proses perennial yang tidak tunduk pada perubahan dan aturan temporal. Filsafat adalah kontemplasi yang berkelanjutan tanpa akhir terhadap misteri wujud yang eternal yang merupakan satu dan hanya satu-satunya objek, dimana para pemikir tiap-tiap zaman memberi kontribusi yang sama-sama validnya.

Komarrudin Hidayat dan Wahyuni Nafis memasukan istilah perennial dalam wacana agama ia memberikan tiga agenda pembicaraan adalah sebagai berikut:
Pertama, tentang TUHAN, wujud yang absolut sumber dari segala wujud, Tuhan Yang Maha Benar dan Satu, sehingga semua agama yang muncul dari yang satu pada prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama.

Kedua, Filsafat Perennial ingin membahas fenomena PLURALISME AGAMA secara kritis dan kontemplatif. Meskipun Agama (Religion) –dengan A dan R besar –yang benar hanya satu, tetapi karena ia diturunkan pada manusia dalam spektrum historis dan sosiologis. Religion dalam konteks historis selalu hadir dalam formatnya yang pluralistik (religion atau agama-agama –dengan r dan a kecil, juga sekaligus menunjukan Plural). Dalam konteks ini maka setiap agama memiliki kesamaan dengan yang lain tetapi sekaligus juga memiliki kekhasan sehingga berbeda dari yang lain.

Ketiga, Filsafat Perenial berusaha menelusuri AKAR-AKAR KESADARAN RELIGIUSITAS seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus serta pengalaman keagamaan. Dengan begitu filsafat perenial secara metodologis berhutang pada apa yang disebut sebagai transcendental psychology
Rahman juga memberikan komentarnya bahwa dalam filsafat perennial disadari adanya “yang infinite” yaitu level of reality, yang terdiri dari alam terestrial , intermediate, dan celestial. Juga dalam diri manusia yang dalam istilah filsafat perennial disebut level of selfhood, yang tediri dari tubuh (body), akal (mind) dan jiwa (soul), atau yang dalam istilah Islam: jism, nafs, ‘aql –dipercayai adanya yang disebut “spirit” (ruh). Alam semesta dan manusia pada dasarnya tajali atau bentuk perwujudan dari “yang infinite”, “spirit” yang dalam Islam disebut dengan Al-Haqq. Karena kepercayaannya akan tingkat-tingkat tersebut, penganut filsafat ini mempercayai adanya yang besifat hierarkis. Huston smith menyebut tingkatan ini sebagai “the great chain of being” (mata rantai besar seluruh keberadaan). Schumacher menyebutnya dengan istilah “the hierarchi of existence” (tingkat-tingkat eksistensi), mulai dari Tuhan pada tingkat tertinggi hingga manusia dan makhluk-makhluk/benda-benda “di bawah” manusia. Atau sebaliknya dari benda mati pada tingkat yang paling rendah hingga Tuhan pada tingkat yang paling tinggi. (as above, so below; sebagaimana di “atas” beitulah di “bawah”).


Hal yag paling pokok dari filsafat perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada dalam alam semesta ini dengan realitas terakhir (Tuhan). Realisasi pengalaman tersebut dalam diri manusia yang hanya dapat dicapai melalui “intelek” (Ruh atau Spirit), yang jalannya hanya bisa dicapai melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang mengandung diyakini sepenuhnya berasal dari Tuhan. Dimana dasar-dasar teoritis pengetahuan tersebut ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik, yang dikenal dengan berbagai kosep (mis; Sanata Dharma, Tao, Budha, Al-Din, Shopia Perennis dan lain sebagainya).

Dengan cara yang disebut ‘transenden” itu semua ritus-ritus, doktin-doktrin, dan sibol-simbol keagamaan untuk mencapai pengertian mengenai dasar keagamaan itu, mendapat pencerahan melewati bentuknya yang formal atau yang terpakau dalam satu tradisi keagamaan dengan cara tersebut maka dapat ditemukan norma-norma abadi yang hidup dalam sebuah tradisi-tradisi.
Dalam filsafat perennial dikenal istilah metafisika yang mengacu dalam artian “pengetahuan Illahiah yang mana sesungguhnya bukan konstruk mental yang akan bergaya budaya (tradisi) suatu zaman, atau dengan munculnya penemuan-penemuan baru dari pengetahuan dunia material. Namun demikian meski sasaran utama kajiannya adalah persoalan metafisika, filsafat perennial tidak mengabaikan persoalan yang ada diluar sebuah substansi (yang eksoterik) dari sebuah tradisi-tradisi.

Konteks filsafat perennial memandang segala yang ada sebagai turunan dari yang absolut, maka filsafat ini selalu menegaskan bahwa dalam segala sesuatu terdapat hakikat. Oleh karena itu filsafat perennial memiliki banyak cabang yang berhubungan dengan kosmologi, antropologi, seni dan disiplin lainnya.
Filsafat perennial sedikitnya bisa didekati dari tiga sudut pandang, yaitu epistemologi, ontologi dan psikologi. Secara epistemologi filsafat perenial membahas makna, substansi dan sumber kebenaran, serta bagaimana kebenaran itu berproses mengalir dari Tuhan dan pada giliranya tampil dalam kesadaran akal budi manusia. Sedang dari pendekatan ontologis, filsafat perenial berusaha menjelaskan adanya sumber dari segala yang ada, bahwa segala wujud ini sesungguhnya bersifat relatif, ia tak lebih sebagai jejak, kreasi ataupun cerminan dari dia yang esensi dan substansinya di luar jangkauan manusia. Adapun melalui pendekatan psikologi filsafat perenial berusaha mengungkapkan apa yang disebut “kebenaran abadi” (dalam istilah filsafat perenial sebagai sophia perennis) yang terukir dalam lembaran hati seseorang yang paling dalam yang senantiasa rindu pada Tuhan dan senantiasa mendorong seseorang untuk berpikir dan berperilaku yang benar.

Filsafat perennial bisa juga disebut sebagai tradisi dalam pengertian al-Din, al-Sunnah dan al-Silsilah. Al-din dimaksud adalah sebagai agama yang meliputi semua aspek kehidupan dan percabangannya. Disebut al-Sunnah karena filsafat perennial mendasarkan segala sesuatu atas model-model sakral yang sudah menjadi kebiasaan turun temurun di kalangan masyarakat tradisional. Disebut al-Silsilah karena filsafat perenial juga merupakan rantai yang mengaitkan  setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber segala sesuatu, seperti terlihat didalam dunia tasawuf.Karenanya filsafat perennial dalam pengertian tradisi ini, Nasr mengungkapkannya dengan menggambarkannya sebagai sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat Illahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman.

Filsafat perenial memiliki jejak yang sangat jelas dalam fenomena gerakan tradisionalisme, salah satu diantaranya itu menjadi pengokoh yang lainnya. Menurut Kant, tradisi yang difahami umum sekarang ini masih banyak berkonotasi negatif. Banyak orang tidak mau disebut sebagai manusia tradisional. Karena tradisionalisme bagi mereka adalah faham yang kolot dan ketinggalan zaman dan tidak layak bagi orang-orang modern. Yang lebih parah lagi,  banyak orang mengangap bahwa agama –atau lebih tepatnya pengalaman keagamaan –identik dengan tradisionalisme sehingga segala sesuatu yang berbau agama dijauhi agar mereka tidak dituduh tradisionalis. Tradisionalisme, yang asalnya merupakan istilah netral menjadi terkesan peyoratif dan sebaliknya modernisme tampil dengan kesan maju.

Nasr salah seorang tokoh pengusung tradisionalisme berpendapat bahwa, penemuan kembali terhadap tradisi merupakan kompensasi kosmis terhadap proses desakralisasi pengetahuan, sebuah karunia empirean Illahi, yang dengan rahmat-Nya dimungkinkan kembali kesejatian (truth) yang menjadi hakikat dan esensi inti tradisi, sehingga tradisi menurut Nasr erat hubungannya dengan filsafat perenial jika istilah ini difahami sebagai sophia yang selalu ada dan  akan tetap ada, yang diabadikan melalui transmisi horizontal maupun vertikal, lewat kontak dengan realitas “awal”yang masih tetap ada disini dan kini.

Yang paling penting arti tradisi disini tentunya bukan merupakan kebiasaan, adat istiadat, atau penyampaian ide-ide serta motif-motif secara otomatis dari suatu generasi kegenerasi selanjutnya. Tetapi tradisi adalah merupakan serangkaian prinsip-prinsip yang telah diturunkan dari langit, yang ketika diturunkan ditandai dengan suatu manifestasi Illahi, beserta dengan penyerapan dan penyiaran prinsip-prinsip tersebut pada masa-masa yang berbeda dan kondisi-kondisi yang bebeda pada masyarakat tertentu. Tradisi dengan sendirinya bersifat suci, tidak berubah dan merupakan sebuah kontinuitas yang hidup, mengandung Sains mengenai realitas mutlak dan cara-cara mengaktualisir merealisir pengetahuan ini pada waktu-waktu dan tempat-tempat yang berbeda.

Topeng?!


posted by Unknown on

No comments

....."Sekarang aku sadar, aku bukan hanya penonton dalam keseluruhan realitas ini. Kini aku menjadi pemainnya, seorang aktor haruslah pandai bermain peran dan lihai menggunakan topeng!"
--Rene Descrates--


Biarlah aku berbaur dan hanyut bersama masyarakat komunal.
Mereka menamakannya konsensus dan identitas kelompok
namun yang kudapati, mereka telah "kehilangan diri".

Saya Bukan Siapa-Siapa, Tapi Saya Menulis.


posted by Unknown on

No comments

   Saya tidak menulis tentang Pandemi global, omong kosong overproduksi yang memprediksikan kolapsnya kapitalisme. Karena sesungguhnya bagi tirani penguasa, semua itu TIDAK LEBIH DARI BISNIS seperti biasanya. Saya telah muak dengan segala macam berita bencana dan represi sosial. Bukan hanya itu, saya juga telah jenuh dengan segala kata-kata bijak nan puitis mengenai pemberontakan yang hanya terperangkap diatas kertas--sebagaimana yang terjadi pada tulisan ini?!--

   Para pemberontak, pecundang, pemimpi, mereka yang berada didalam penjara-penjara, baik yang fisik maupun tidak, serta mereka yang merasa terbuang dari masyarakat hipokrit ini!! Inilah saatnya untuk merancang suatu  pembalasan atas segala kebusukan yang mereka tanamkan, pembodohan, cuci otak, penguasaan, penindasan, genosida, tirani (terselubung?!), dan otomatisasi sistem. Agar kemudian kita dapat menunjukan serta berbagi keindahan kita masing-masing sembari berdansa indah nan harmonis diatas puing-puing peradaban eksploitasi dan hirarki.


Seperti Apa Dunia Ini?


posted by Unknown on

No comments


Dunia ini relatif tidak memiliki banyak warna indah...
Cenderung konservatif, proglamouritas, prokemapanan, prokenyamanan.
Dari situlah aku melompat!
Hingga mengenal Filsafat dan Sastra,yang membawa duniaku menjadi tidak bertepi.
Sekaligus tersesat didalam keluasannya.


Gelandangan Malam


posted by Unknown on ,

No comments

Aku melihat mereka duduk manis di beranda.
Menyapu debu-debu yang berserak di antara dinding tua nan usang.
Sisa pertempuran, senja lalu.
Lalu mereka berlari ke pasar dan kembali membawa beberapa perlengkapan perayaan malam nanti.
Mereka sibuk menata ruang kusam itu menjadi gemerlap lampu malam.
Menyajikan beberapa minuman dan makanan yang menemani pesta.
Dentuman lagu mengaung hingga pekik ditelinga.
Semua larut dalam euforia kemenangan.
Semua larut dalam kepalsuan.

Nampak bagiku hanyalah manusia komunal yang "kehilangan" dirinya.
Bias bersama identitas kelompok.

Aku masih duduk disini, kawan.
Dibawah temaram sinar bulan.
Bersama gelandangan-gelandangan malam.
Menyuarakan harmoni alam yang menuntut pembaharuan.

Wahai gelandangan dunia fasik!
Lantangkanlah suara kalian.
Agar memecah kesunyian malam.
Menggantinya dengan dentuman besar milik kaum-kaum minoritas.
Lupakanlah rasa sakit atas tamparan keras peradaban.
Lepaskanlah......




"aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang"
 --Leo Tolstoy-- (in the book "Family Happiness")

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...