Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for Februari 2011

Semesta Bicara; Dewata, 15-18 Feb'11 with IBU Foundation


posted by Unknown on

No comments


gerak seribu batu, menghancurkan batang kayu.
menjadikannya serbukserbuk kecil.
dalam gelas ia menjadi gelas,
diatas tanah menjadi gunduk.
menjadi humus, digerayangi waktu- yang tak pernah tahu kapan harus pulang.
pun mengerti kemana akan kembali.
menggelandang seperti yatimpiatu.
---

goresan angin menyayat takdir,
kemana sebagian mereka pergi?
ada beberapa yang cepat kembali. pada rumah berupa tanah.
sebagian lainnya berharap datang takdir lain.
jika bisa kebanyakan mereka ingin berkelana,
membuntuti angin utara.
---

apa daya bila batu nisan sudah memberi undangan.
mengetuk setiap gubukgubuk.
alihalih tanpa permisi,-
datang tak dijemput, pulang tak diantar.
hanya tangis pilu yang tertinggal.
juga kekal sorga harap tertinggi yang berpulang.
pada rumah berupa tanah.
tolong, biarkan mereka menentukan pusarnya.
tidaklah berat bagi angin untuk sedikit membuai bukan?
lalu berilah kami hembusan hangat.

sepoi elusan dan lenaan sentuhan.
tolong...
---

Ah!
aku rasa mereka tak butuh angin.
hanya pijarpijar hangat; semangat.
angin mestilah hadir melalui tubuhnya sendiri.
mengada dalam dirinya.
agar mereka mampu berdaya. mengelana sebatang kara.
toh semesta selalu berbicara melalui bahasanya;
bahasa buana.

seperti yang aku, kamu, dan kita lakukan.
mengepal rekahan mozaik yang tersisa.
---

lalu siapakah yang sedang berbicara saat ini?
semesta.
melalui juluran tangan IBU Foundation.
***


Dibuat oleh kami, sebagai ucapan terimakasih pada IBU Foundation atas kesempatan yang diberikan pada kami. Semua itu sangat berguna, kami belajar banyak disana.
Terimakasih...

Layla - Philein, Z.A
Perjalanan menuju Dewata,
Feb 15 '11

aroma yang tertinggal


posted by Unknown on

No comments


kala mentari pagi menyapa.
membunuh dingin yang ringkih.
membelai damardamar diantara dedaunan pucuk teh.
melawan lupa.
memunguti kepingkeping mozaik.
tertimbun di biduk memori.

berselingkuh pada kelopak senja yang gugur.
bersetubuh dengan malam.
menghamili tetesan air mata.
melahirkan sepi.
merawat sunyi.
---

mari kita duduk bersama. belajar bersetia.
pada sayatsayat aroma busuk luka.

ah!
andai aku satu. yang lain tanpa tanya.
si yatim hentikan kelana.
membuntuti aroma luka yang tertinggal.
perlahan menemukan muaranya.
lalu,
mengetuk pintu rumahmu.
sediakan cangkirnya untukku...


Philein, Z.A
Dewata, Feb 18 '11

doa pada yang tiada


posted by Unknown on

No comments

temaram lampu malam.
samarsamar diantara belukar.
berpadu dengan udara. gigigeligi beradu, saling serbu.
deru bising pabrik teh bersetubuh dengan sunyi.

malam semakin tua. ringkih!
pun bulan yang memucat. padat!

mereka; semesta menghujamkan mukanya.
memberi wajah tanpa rona. itu yang selalu ku nanti.
langkah seolah terpasung. ingin berdiam.
dalam sunyi.
dalam senyap seperti ini.

aku belajar banyak disini.
dari semesta yang rontok membumi. mengada begitu nyata.
dari pembawa kabar gembira.
dari mereka; wajahwajah tak berdosa yang harus berpulang. ke rumah berupa tanah.

tenang saja kawan,
semesta memangkas. semesta menanam benih baru.
pucukpucuk harap.
semoga...


diatas altar haru, membiru.
Philein, Z.A
Dewata, Feb 17 '11

pekakpekak pasar


posted by Unknown on

No comments

batubatu menghajarku. tepat di depan mataku terkena tinju.
juga lautan yang tampak semakin membiru, tidak hanya haru.
di langit masih ada camar,
teriakkan beritaberita gembira. semua mendengarnya sebagai derita.
itu tak lantas membawa kabar duka, aku cukup peka.
langit dan camar kan bukan pabrik, ia pasar.
bahkan ketika bulu babi menusuk telapak kaki, mereka merayumu.
belilah kami...
akan kah mereka memberi diskon?- ya seperti riuh akhir pekan, banting harga!
berebut lapak, tarik menarik. untuk hatimu.

aku pulang dengan tangan kosong, hanya harap yang tersisa.
tak ada yang dibeli, karena tak mampu membeli..
ku sempatkan menoleh, bujuk rayu terus bernyanyi.
lagu purba.
ah! apakah memang semua tawaran menyajikan dan mengakhiri dengan kesegaran?
berkata sangat apa adanya?
mungkinkah mereka tak hanya ingin dibeli?
pun aku rasa, perlu dipahami, ingin dipelajari.
ikan segar pun tak menjanjikan apa-apa.
bau nya akan tercium segera setelah tiba di dapur.
ya seperti biasa; premis hukum pasar.
konklusi dibuat samar.
menjadi muna, mengingkari anyir jiwa.

muak bukan?
itulah sebabnya aku lebih suka pabrik.
ikan di tangan nelayan, camar didekapan induknya, langit bernaung pada semesta.
biarkan aku membeli dari sana. menikmati jujurnya pengalaman, hingga pekak pekak pasar dapat kuterima.
---

Pasar punya dinamika yang jelas, dengan impetus-impetus nya.
tak mengada, hanya berada.
seperti camar yang mengangkasa di langit semesta.



12 Feb'11
tiga.pagi

melihat aku mewujud diluar aku



















Siliwangi, Bandung
Dienz - Philein, Z.A

Amor Fati, Ego Fatum.


posted by Unknown on ,

2 comments


*Sepenggal karya sebagai ucapan terimakasih pada Madrasah Falsafah


"Amor Fati, Ego Fatum"
Nietzsche

Mencintai takdir, karena aku adalah takdir.

gambar diambil dari sini


Sepenggal kalimat dari filsuf si kumis baplang itu menyeret motif ku untuk melantangkan suara; mengatakan "YA!" pada dunia. Mengatakan YA pada kesedihan, mengatakan YA pada kesenangan, mengatakan YA pada kekecewaan, hingga mengatakan YA pada kematian. Apapun yang kiranya menjadi jalan hidup memang semestinya dijalani, namun perlu dipertimbangkan juga ucap Socrates; "Hidup yang tidak dikaji, tidak layak dijalani."  Untuk mengkajinya, diperlukan semacam ''Will to Power" (Istilah Nietzsche) atau kehendak untuk berkuasa- kehendak untuk menciptakan jalan sendiri seraya menapakinya perlahan agar terlihat dimana lubang yang mesti ditambal.

Meski kita tidak pernah tahu, jangan-jangan ada tangan-tangan Kuasa yang selalu mengusik jalan kita, membelokkan arah kita. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap "ya inilah yang terbaik" tapi bagi sebagian lainnya ini merupakan ancaman eksistensial. Sebuah ancaman kehendak untuk berkuasa, toh jika kuasa atas hidup sudah hilang, maka tidak ada artinya lagi menjejakkan kaki di tanah derita ini, bukan?. Umberto Ecco Pernah bilang; "Mawar sudah ada sebelum ada namanya". Jelas meski semua sudah tercipta, tapi manusia lah yang selalu menghadirkan realitas bentukkan, menjadikannya dekat dengan keseharian. Bahasa mengambil andil dalam hal ini, menjadikan realitas sesuai dengan maunya kita- dengan batas yang mampu kita pahami. Manusia lah yang mencipta semua nya, melalui pemilahan fragmen-fragmen konstruk linguistik dihasilkan lah kesadaran kita terhadap realitas. Maka "Will to Power" memang sudah sepantasnya hadir dekat dengan motif-motif keseharian kita untuk menentukan ciptaan apa selanjutnya.

Jika bercerita tentang penciptaan, maka akan selalu terhubung dengan kesan-kesan terdahulu. Apa yang menjadi pilihan kita saat ini tidak akan dapat terlepas dari kesan-kesan yang diterima sebelumnya. Sebagai ilustrasi, ketika dihadapkan pada pilihan untuk membunuh atau melarikan diri, kita akan dibenturkan pada kesan-kesan terdahulu mengenai konsep "membunuh" dan "pelarian" (dan masih banyak lagi, karena kesan yang membentuk kita hingga hari ini sangat lah kompleks- terlalu rumit untuk dituliskan) lalu kita memutuskan untuk membunuh. Itu berarti ada kesan (meski secara implisit dan tidak disadari) yang mendorong kita untuk melakukan tindakan itu, bahkan tindakan spontanitas sekalipun selalu dihadapkan pada pemilahan dan pemilihan terlebih dahulu hanya saja kita tidak pernah menyadarinya. Semenjak kecil kita sudah dihadapkan dengan pembentukan tanpa kompromi dan diskusi terlebih dahulu, sebut saja keluarga. Adakah diskusi sebelum kita memilih ingin di didik seperti apa? Padahal masa kanak-kanak itu merupakan sosialisasi primer yang paling membentuk diri kita hari ini. Seluruh rangkaian kesan itu akan membawa kita menjadi manusia hari ini, jika konsepnya seperti itu, pertanyaan yang muncul; dimanakah kehendak untuk memilih?

Saya percaya, diantara serangkaian sebab itu selalu ada momentum untuk melompat pada "kemurnian pribadi". Sebuah momentum untuk menjadi apa yang kita mau, memang selalu ada sebab maka yang terpenting adalah pemilihan sebab yang baik, karena sebab tersebut akan menjadi akibat dan akibat itu akan menjadi sebab selanjutnya. Melompatlah!

Begitupun tulisan ini, hadir bukan tanpa sebab. Madrasah Falsafah kali ini yang menjadi sebabnya- memang ia selalu menjadi sebab karena setiap kepulangan, para peserta dialog selalu dibekali masalah, bukan solusi. Madfal hanya bidan yang selalu berupaya membidani lahirnya pengetahuan baru (bagi saya; kesadaran baru) yang hadir dari dalam diri masing-masing. Maka jika berkunjung ke Madfal, jangan harap anda akan mendapatkan sekumpulan defiinisi-definisi yang membuat otak beku. Lahirkan sendiri, kami bidannya!

Akan melahirkan apa?
Kita sendiri yang menentukan.
Amor fati, ego fatum.



Philein Z.A
Lembang, 27 Januari 2011

Jingga


posted by Unknown on

No comments


jingga.
warna langit ketika senja, lelah.
jingga.
warna langit ketika fajar, harap.
jingga.
tidak menggambarkan apa-apa.
hanya perasaan ingin,-
sesekali bersetia pada kelopaknya yang rontok.
---

semburat jingga,-
ia merekah, menyembul malu.
diantara kelopak basah.
sisa embun semalam, cantik!
menghantarkan hangat.
di sela jendela.

ku jamah tirai, menariknya perlahan.
perlahan!
aku tak ingin ia sadari,
lama. berselingkuh dengan malam.
Ya!
ia tidak sadar, (barangkali)

sungguh cantik.
menembus batas terkira.
---

biar aku nikmati kopi pagi ini.
menanti jingga kembali mempertemukan, lelah-harap.
dalam altar haru,
senja-pagi.
berhambur jingga.



Philein Z.A.
Lembang, 5 Februari 2011


Pilar


posted by Unknown on

No comments


malam mulai padam, pagi berselang- matahari kembali meninggi.
(pilar-pilar ini belum rampung juga)
aku cemas,
takut!
badai menerjang. memberangus harap tersisa.

segera.
mari kita tuntaskan.
agar lenyap sebagian cemas.
sebagian!



Philein Z.A.
Lembang, 5 Februari 2011


Cinta Dalam Ketidakhadiran


posted by Unknown on

No comments


Maka, lebih baik kita hidup dengan keterbatasan.
Dengan kata lain, hidup dengan janji; kelak ada makna terang yang akan datang- betapapun mustahil.
Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman,
tapi bukan seperti iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui.
Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan- ikhtiar yang tak henti-hentinya,
karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang,
Tuhan dalam ketidakhadiran.


Cinta dalam ketidakhadiran,
Menyapa, mengada, lalu tiada.



Philein Z.A.
Februari 2011


Abu, tak ada yang perlu tahu!


posted by Unknown on

No comments

Aku rindu pada abu.
Tak meminta gelap, juga terang.
Tak meminta malam, juga pagi.
Tak harap derita, juga tawa.

Hanya menggebu, tak pasti.
Tak pasti, hanya memecah ragu!
Tak ragu, hanya membiru.
Dimana haru, tak mesti biru!
Mari melaut, dimana biru kita kayuh bersama.
Seraya membakar dermaga keberangkatan, tak juga tahu dermaga selanjutnya.

Mari membiru,
Bersama aku.
Si abu!



Azhar Rijal Fadlillah

Lembang, 31 Januari 2011


Ada Kelakar dibalik Senja Menuju Malam; Kita Sadar!


posted by Unknown on

No comments

Aku
Muda, segar, bertenaga, beringas,
Terbakar!
Hanyut, semeraut, kalut, menggumpal, memadat, menyebar,
Terkapar!

Benih kuasa lekat erat dengan nafas,
Sejak peluh lelah mereka, hadir aku dalam derita dunia, membawa kabar, penguasa telah tiba di ujung pagi.
29 Februari, 18 tahun silam.

Sesaat meminjam mata kanan mu untuk mencongkel mata kiri mu.
Entah telah berapa bola mata ku pereteli.
Kini, kamu masuk dalam perangkap ku, hanyut!

Aku tinggalkan senja lelah demi pekat hitam, malam senyap!
Segera ku sadari, kau pun begitu sadar. Sangat sadar, terlampau sadar, mengakar, hingga sulit berkelakar!
Kau mati sampai akar!

Malam hanya sepintas jalan, sejumput senyum, segenggam pasir- yang selalu lenyap di deru ombak pesisir.
Malam datang, mempersiapkan pagi yang berguguran dengan cahayanya, terus meninggi,
kembali terjatuh, rontok habis di ganyang senja. Senja gemetar dengar kokang senjata, diberangus malam, habis tak tersisa!

Kamu sadar, aku sadar.
Kamu terkapar, aku terkapar.
Kamu terpingkal, aku terpingkal.
Kamu bernas, aku bernas.
Kamu aku, aku kamu.

Kamu sadar, aku sadar.
Kamu sadar, aku sadar.
Kita sadar.
Kita sadar ada kelakar di balik senja menuju malam.
Demi harap bagai repetisi, meski melati membunuh Tuhan sang Abadi!

Kita sadar.

















Azhar Rijal Fadlillah
31 Desember 2011

Senja Menuju Malam


posted by Unknown on

No comments

Tunggu aku di stasiun berikutnya, kan ku bawa anak tangga agar mudah kita menapakinya.
Seperti senja yang perlahan menurunkan riuh desir anasir, 
membawakannya pada malam yang bersiap menggerogoti sisa-sisa bangkai derita.
Menggantikannya dengan cumbu mesra nan hangat, penuh pesona. Itu lah malam yang selalu hadir,
bedialog dalam diam,
dalam gemetarnya gigi-geligi,
dalam cemas,
esok sinar matahari kembali meninggi.

Kita berhak atas bangkai busuk ini,
Karena ini awal senja menuju malam.




















Han
Lembang, 31 Januari 2011


Untukmu; Pencuri Waktu


posted by Unknown on

No comments

Pagi yang datang berulang membawa wajah muram,
seperti serangkaian repetisi yang tak pernah usai- kembali membawa rona derita.
Untung kau datang, bau tanah setelah dicumbu hujan.
Meski perlu mencuri waktu, pada mereka yang terlelap.
Cukup memberi nafas pada sisa anak tangga tertinggal.
Terimakasih pencuri waktu, mari kita bunuh sisa derita mereka.

Aku yakin,
Hujan hari ini akan mendatangkan pelangi esok hari.
Seperti asa,
Kini menjadi candu.





















Azhar Rijal Fadlillah
Jatinangor, 28 Januari 2011


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...