Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for April 2011

Surat dari Athena,-


posted by Unknown on

2 comments


"A man who dares to waste one hour of time has not discovered the value of life." 
-Charles Darwin


Aku masih menikmati masa kemalasan- masa dimana aku dapat terjaga sampai larut malam, menegak botol bir atau kopi hitam bersama kepulan asap rokok tanpa sesuatu apapun yang harus benar-benar aku kerjakan. Pagi harinya (lebih tepat siang) aku terbangun dan mendapati suasana lengang dalam jiwa. Aku mengambil Koran pagi tapi di dalamnya tidak ada hal penting, hanya hal-hal yang menurut para jurnalis perlu kita ketahui, butuh keterlibatan kita dan harus dikomentari dalam bincang ringan di sela aktivitas. Agar terlihat aktual dan intelek barangkali.

Menjelang siang aku berpikir untuk menelepon siapa saja, mengajaknya melakukan sesuatu, paling tidak untuk mengisi kekosongan ini. Tapi akan menggelikan karena mereka sedang disibukan oleh urusan kampus- mungkin tugas-tugas atau aktivitas kemahasiswaan lainnya.
Serangkaian pemikiran melintas di otakku: teman-teman yang mneguatirkan hal-hal yang masih belum terjadi; kenalan yang berhasil mengisi setiap menit denyut kehidupan mereka dengan tugas-tugas yang terlihat tidak masuk akal bagiku; percakapan tanpa perasaan; pembicaraan panjang lewat telepon padahal tak ada hal penting untuk dibicarakan.
Aku bergumul lama dan keras dengan diri sendiri hanya agar tidak beranjak dari kursi. Tapi, kegelisahan berangsur-angsur menyerah pada kontemplasi, dan aku mulai mendengarkan jiwaku- atau intuisi atau emosi primer, atau apapun yang kita putuskan untuk percaya. Apa pun sebutannya, satu bagian dari diriku itu telah lama ingin berbicara, tapi selama ini aku selalu terlalu sibuk.

Kita semua terlahir dan dibesarkan dengan ideologi “Waktu adalah uang”. Kita tahu dengan pasti apa yang dimaksud dengan ‘uang’, tapi apa sesungguhnya arti kata ‘waktu’? satu hari terdiri dari dua puluh empat jam dan sejumlah momentum yang terbatas. Kita perlu mencermati dan mewaspadai tiap-tiap momentum agar menghasilkan yang terbaik darinya, meskipun kita sedang sibuk mengerjakan sesuatu, sibuk menggenapi putaran jam dan hari yang berganti, yang nyatanya begitu-begitu saja. Jika kita memperlambat tempo, segala sesuatu berlangsung lebih lama. Tentu saja itu berarti mencuci piring mungkin berlangsung lebih lama, tapi kita akan mendapati momentum atas waktu kita. Mendapati setiap deras air yang kita pergunakan merupakan buah keringat orang-orang yang tidak tertuliskan dalam sejarah, orang-orang yang bergelut dibawah terik dan bermandikan keringat untuk tetap menjamin persediaan air di tiap-tiap rumah kita. Lalu air itu membantu membersihkan sisa-sisa makanan kita, yang kemudian memberikan ‘jaminan’ kesehatan saat kita membutuhkan kembali piring itu. Hal tersebut membuat kita mampu produktif mengerjakan berbagai aktivitas. Semua melingkar, saling berberi. Disadari ataupun tidak, kemanusiaan memang hal utama.

Jika Rumi mencapai puncak ekstase nya dengan tarian pada Tuhan- yang selanjutnya ia anggap sebagai kekasihnya. Dalam hal ini, yang terjadi bukanlah sebuah tarian, tapi ketiadaan suara dan gerak yang total, kesenyapan, yang membawa aku pada kontak dengan diri sendiri. Dan percaya atau tidak, seringkali masalahku selesai bersama surutnya kopi, mengendapkan sari-sari pahitnya. Aku tidak melihat Tuhan disana, tapi aku memiliki pemahaman lebih jelas mengenai keputusan-keputusan yang harus diambil.
Bukankah ini juga jalan ‘tuhan’?


Yang Terkasih, Peter Sherney.
-Athena

----------------------
-Za, Lembang 25 April 2011

surat untuk Grandwood


posted by Unknown on

4 comments


...Sembah-simpuh mohon maaf. Yang dimuliakan, guru.

Grandwood,
Mohon maaf telah begitu lama aku tidak memeberimu kabar. Mungkin aku telah membuatmu tidak lagi menganggapku sebagai murid, murid terkasihmu. Bukan tanpa sebab aku kini seolah lenyap dari muka bumi, bumi terkasihmu. Aku kini tengah mencinta, guru. Aku kini bukanlah murid yang engkau kenal lagi. Tidak ada lagi (entah sementara atau selamanya) aku yang kuat, tegar, tangkas, acuh kadang tak mau patuh pada yang tak perlu dipatuhi, dan aku yang mampu berdiri sendiri. Tidak ada lagi guru, tidak!

Bulan ini, di negeri ini sedang musim penghujan. Aroma tanah sehabis hujan seringkali mampir mengetuk bingkai jendela. Masuk melalui selusup rekahan-rekahan dinding kamar. Tak pernah aku melupakan aroma ini, aroma yang engkau kenalkan padaku, kala itu. Pun aroma ini lah yang selalu mengingatkanku pada mu, guru. Mungkin engkau bertanya-tanya, sedang dimanakah aku kini. Aku pun kelimpungan bila harus menjelaskan tempat beradaku. Disini, aku sungguh asing. Tak ada pembeda hari-hari, hanya siang-malam yang bersahutan di ketiak jendela, penanda hari yang terus berganti.
Aku kenal beberapa teman dalam dunia baru ini. Sungguh mengejutkan semua ini bagiku, semua tampak begitu mengherankan. Aku dihadapkan (“dilibatkan”?) dalam dunia yang sedang sakit. Dunia yang sedang mencari jalan pulang, jalan padamu; Grandwood. Seharusnya aku tidak merasa seheran ini, karena toh akupun pernah berada di dunia seperti ini- kala engkau menemukanku tersungkur, menggigil, hampir mati. Tapi ini berbeda, aku kini sungguh terlibat di dalamnya, memikul tanggungjawab berat di pundak rapuh ini. Tidak lain, ini dunia perempuan itu. Ia seorang perempuan yang menakjubkan guru, ia juga lah yang (kini) menyebabkan aku “terlibat” disini, di tanah asing ini.
(tuas gigi geligi kekurangan pelumas, sudikah engkau memberikannya untukku,guru?)

Aku sedari dulu memiliki keyakinan, engkau selalu hadir dengan cara yang tak pernah bisa kuduga. Menolong aku kala aku sudah tidak mampu melakukan segala urusan dengan tanganku sendiri. Tangan-tangan mu lah yang mampir, tidak mencampuri, hanya berberi. Itu yang aku suka darimu, tidak seperti tuhan-tuhan lainnya. Engkau sungguh penuh kasih. Amor Fati, Ego Fatum; itulah salah satu ajaran yang pernah kau sampaikan padaku. Aku selalu mengingatnya.
Pun kali ini. aku kembali bersimpuh, sujud tak berdaya. Aku kehabisan daya, guru..


Guru terkasih,
Engkau juga pernah mengajarkanku perihal cinta dan kasih:
“cinta dan kasih yang sesungguhnya dan pantas diperjuangkan adalah cinta kasih yang terus merela, berberi, tak ada henti. Cinta kasih yang memberi tenang dan nyaman, kala engkau bersamanya pun jauh darinya. Cinta kasih yang membuatmu tumbuh, mengakar, mendekati sulur akar-akarku.”

Aku rasa aku telah jatuh dalam rasa yang mereka namai cinta itu guru. Aku dibuai halusnya angin juga helai dedaun yang rontok diganyang angin. Ia merela, tanpa daya upaya melawan. Meski entah akan dibawa kemana, ia terus bersetia..
Ya. Aku berada di dunia seperti itu guru. Dunia ini sungguh begitu luas, sampai-sampai aku tersesat didalam keluasannya, kikuk mencari jalan pulang. Tapi bukankah dedaun itu pun akan bersedih ketika angin yang merontokannya dari pokok batang kayu tidak memberinya pasti, tidak memberinya tenang bahwa (sekalipun ia harus mati) ia akan menjadi humus dan bakal tunas baru. Dedaun itu tentu akan bersedih bukan, guru? Dedaun itu akan gelisah..
Aku kini menjadi bingung, ini cinta atau apa? Aku rela. Sungguh merelakan semua yang aku punya untuk ia. Tapi aku sungguh tidak pernah mendapat tenang, guru. Aku selalu gelisah. Ia terlalu berbahaya jika aku biarkan meruang begitu saja, ia terlalu memesona.
Tolong aku guru, beri aku kekuatan. Tolong..

Guru terkasih,
Aku kini sedang menyukai (tergantung?) pada kopi hitam. Pahit. Ia mengajarkanku tentang hidup- yang memang pahit. Mengendapkan sari-sari jauh di dasar, aku akan mengetahui sari-sari pahit itu ketika aku sudah sampai di dasar. Ketika –yang mereka namakan “cinta” itu sudah aku selami sampai ke akar. Aku menemukannya; pahit percintaan.
... salahkah aku bila aku meragukan cinta ia, guru? Meragukan kesungguhannya. Seperti sungguh-ku yang ingin terbalas. Aku ingin tenang dan nyaman menjalani semua ini guru.
Aku pun tahu, memang tidak (tidak pernah!) mudah untuk menjadi pendampingku, tapi aku selalu yakin ia pasti bisa guru. Aku tidak ingin berpaling lagi guru (barangkali lebih tepatnya: sudah tidak bisa!) dari ia. Aku sungguh telah “mati” dalam dekap hangatnya. Adakah dia akan mengerti, guru?
(temaram sinar berpendar kemuning, lamat-lamat dicemburi sudut perapian; tempat para pengabdi bersemadi. Menanti datangnya bayang sebagai penanda. bahwa gelap telah mampir disini, di taman ini...)
Akankah ia singgah di taman ini, guru? Aku bersetia menanti.


Yang Terkasih, Grandwood,
Andai saja dia perempuan biasa, aku pun akan dengan mudah melewati semua ini dan mungkin surat ini tak akan pernah teralamatkan untukmu, guru. Surat racauan dari murid yang tak tahu malu ini; murid dungu-mu.
Tapi dia dengan segala keluarbiasaannya menjadikan semua ini rumit, ya aku menyadarinya sedari dulu. Ini keputusanku untuk meninggalkan yang pasti (dan telah benar-benar mengabdikan cinta kasihnya untukku, juga mengerti semua tingkah dungu-ku) untuk sesuatu yang tak menjanjikan apa-apa. Aku berjudi kala itu. Aku pertaruhkan semua milikku, di meja itu. Menghadapi muka dunia yang muram dan rumit.
Kini, aku kembali menemui raga ini berpenyakitan, guru. Ya seperti biasanya, ketika aku banyak sekali yang dipikirkan, kepalaku terasa sakit, pusing. Entah secara medis penyakitku ini dinamakan apa, tapi temanku menamainya: Galau stadium 4.
Mendekati kematian barangkali...



Pasirpogor, 8 April 2011

di jendela ini, hujan tak pernah reda.


posted by Unknown on

No comments


di jendela ini,
hujan tak pernah reda.
tak lelah menghujam bisu. pada tubuhtubuh perindu hadirmu.
berbiak di sudut jendela.
mereka-reka bayang surga.


di jendela ini,
tak pernah ada amarahmu.
kita gema dalam pesta semesta. mengencani satu per satu berkahnya.
kadang digarami pada bekas luka.
namun aku tak akan pernah jera.
silakan dera terus tubuh ini, aku berterima.


di jendela ini,
kau mengetuk malu, kemayu. namun dengan gebu yang satu.
aku menjadi-jadi. larung diterbangkan angin.
lalu hilang entah kemana.


di jendela ini,
berkat pasukan airmu, akarakar menjalar.
kuat mencengkram bumi.


di jendela ini,
bulirbulir pasukan air begitu lembut.
lamatlamat menjamah genting. mesra.
menghamili bumi.
melahirkan aroma tanah sehabis hujan...



...terimakasih hujan, kau hantarkan haru dalam bisu. perempuan pertamaku.



Philein, Za
hujan tak pernah reda.
Siliwangi, 21 Maret 2011

Perempuan senja; mata penuh penanda.


posted by Unknown on

No comments


...saat hujan mampir mengetuk jendela kamarku, berbiak di sudut bingkainya, aku masih tertidur.
tak lelah ia dera jendela dengan maksud membangunkanku, sesekali gemuruh yang mampir.
tak pelak lagi aku jera mengabaikan seruannya, dengan berat aku membuka mata. melihat keluar perlahan.
ah kiranya memang benar aku harus terjaga. maka segera ku jerang air dan menyiapkan secangkir kopi.
air pun mendidih, kopi ku sambut.
aku sulut sebatang rokok,
dan selamat pagi dunia...
***


senja ini, aku disadarkan hujan: aku kini tidak sendiri.
ia.
perempuan cantik yang menemani hidupku, bukan sekadar kekasih yang mencinta hadirku.
ia selalu penuh pesona, bergairah, penuh darah. aku terbakar olehnya.
Dengan perawakan dan penampilan yang sederhana,
ia mengada sebagai perempuan yang justru tidak sederhana-- penuh pesona.
aku mengagumi sekaligus memuja setiap lekuk tubuhnya, pun cantik pribadinya.
ketika aku harus menatap kedua matanya--mata penuh penanda. ia selalu cantik, rumit, dan penuh kedalaman.
sepasang mata itu mengisyaratkan hidupnya yang penuh dengan makna, kini aku bersama kedua mata itu.
berbagi dan berberi setiap jengkal pengalaman hidup. aku terpana. melihat berbagai warna yang berbeda.
hidupku bersamanya sungguh penuh gairah.

 entah apa sebenarnya yang ada dibalik sepasang mata itu kala tajam memandangku,
mata itu seperti malam yang pucat, gelap. kadang juga seperti senja yang merapat, penuh gairah.
mata itu juga seringkali memberi teduh, tenang aku kala menatapnya. bercinta dengan pendar kemuning sorot matanya.

kali ini, (lagi-lagi) mata itu hadir menghantuiku. tepat di sudut bingkai jendela.
ia menatapku tajam. seperti biasa, penuh kedalaman.
namun kali ini sungguh aku tidak mampu menerka apa yang mata itu ingin sampaikan.
terlalu rumit untuk aku eja secepat ini, beri aku waktu lebih untuk mempelajarinya.
pun butuh lebih banyak penanda.


yang aku tahu, mataku kini tak akan mampu lagi melihat mata-mata lainnya.
ia sudah mati, dalam hangat tatapmu... perempuan senja.


Pasirpogor, 26 Maret 2011

kadang melupa


posted by Unknown on

No comments


dan kita terduduk.
mengepal rekahan ego. memilin. mengolah rasa.
hanyut oleh denyut waktu.
kadang melupa.


kita masih terduduk.
terjaga oleh punggung-punggung malam.
sedari dulu.
kadang melupa.


kita masih terduduk.
hangat oleh pendar lampu jalanan.
bercerita tentang kerikil-kerikil pemecah gelas.
kadang melupa.


kita masih terduduk.
nafas yang terberi oleh asap rokok.
terselip di bibir-bibir gemetar.
 ---


apakah di luar sudah malam, sayang?
kadang kita melupa...




Feb, 26-2011
Philein, Za

di batas kota


posted by Unknown on

No comments


tinggalkan aku kala umpatan menjadi lalapan santap malam.
kembali lah saat semua mereda.
bawakan aku secangkir kopi, seperti biasa.
dengan aromanya yang menguntit hela nafas.
kita curi jeda.
dibawah temaram lampu malam.


saat semua mereda, kita merenda.
menyulam benangbenang kusut.
perlahan.
aku menikmati rumit ini.


disini,
di batas kota penuh lampulampu.
ku tulis sajak untuk mu.
menanti kopi siap mengepung malam.


Philein, Z.A
Cibiru, Feb 25-2011

rindu tercuri waktu


posted by Unknown on

No comments


lagi-lagi aku harus meratapi turunnya bulan pucat,
bersama malam yang terduduk. bersetia sebagai wanita penghibur.
mengintip dari samar-samar tirai merah.
menguntit pagi yang datang mengetuk jendela.
merindu tiga pagi...-


kala waktu meruang. menjadi kian nakal.
sesumbar juga mengumpat.
memaksa tubuh mu berbaring, bersetubuh dengan ranjang.
menghamili bulir-bulir mimpi.
melahirkan dengkur seksi.


menahan rindu yang tak berjarak.
selamat malam sayang.


Siliwangi, Feb, 26-2011

sarapan pagi dengan secangkir kopi dan mangkuk rindu


posted by Unknown on

No comments


"...dan waktu yang tercuri memberi jeda.
dengan cangkir kopi seperti biasa.
semua mereda, merenda.
memberi semangat. mengeja hari- menanti senja yang rontok. diganyang malam.
memesan rindu yang tertahan.
menanti kamu,
bersandar lelah pada papan kayu."
-Philein, Za



"tak ada yang salah pada senja bukan? dan aku selalu merindu sorot matamu..."
-Layla



"kamu memberi semua yang aku butuh dalam hidup.
maka tak ada alasan bagiku untuk tak sabar menanti.
seperti senja yang selalu bersetia.
menanti surya pulang ke peraduannya.
membawa semburat jingga.
penanda haru,
kamu segera di peluk-ku."
-Philein, Za




beranda Tobucil, Feb 27-2011
sarapan pagi dengan cangkir kopi dan mangkuk rindu.***

lelaki itu telah mati


posted by Unknown on

2 comments


lelaki.
penikmat langit senja yang mengintip di ketiak jendela.
perindu bau tanah setelah di gerayangi bulir-bulir pasukan air.
mencintai sepi yang ganjil.
haru yang tabu.


lelaki.
pemburu aroma kopi kala malam mengepung ruang, menghamparkan langit kelamnya.
menyembunyikan pendar bulan di balik rumah berupa tanah.
bersetubuh dengan ruang hampa tanpa udara.
pada semesta mereka mengadu. sesumbar penuh nafsu.


lelaki.
tetap terduduk di meja kayu berhias pohon sikamor di sampingnya.
mengeja absurd nya helaan nafas.
sembari memberi jeda, pada biak-biak cinta.
desir-desir tak terkata.
hanya dusta bila bicara.
cukup membiarkan tubuh merasa.


lelaki.
peziarah luka,- yang selalu datang membawa kembang kamboja.
terduduk menikmati sayatsayat biola liar.
sekadar mengingat, bahwa derita selalu ada.
mengada bersama hidup.
mengada sebagai penanda;
bahwa aku masih manusia.
dan pulang dengan sebiduk memoar, perjuangan melawan lupa.
menyimpannya di pandora memori, sesekali menoleh untuk mengingat.
menikmati kembali bau busuk luka.
memesan rasa sakit yang pincang.
rasa sakit yang tak bertuhan.
rasa sakit yang tak hedak berbicara, terus berdusta.


lelaki.
penanti yang bersetia.
duduk bersandar pada bangku kayu berlumut, menciumi jengkal-jengkal maut.
menghiasnya dengan nanar di mata.
memandangnya melalui panci imaji- yang tak pernah tanak termasak.
namun tetap bersetia. kembali membawa balok-balok kayu.
menatanya sebagai tungku, membakar penantian.
membiarkannya menjadi abu.
terbang tersibak angin senja.
membawanya pada malam yang ringkih.
pucat.
tua.
mati.-


lelaki.
kini ia sadar.
ia telah mati; dalam tatap mata perempuan senja.
pendar cahaya rumit hidupnya.
kini ia telah mati.


"ah!
betapa lengangnya rasa, bersanding dengan nadinya."
(itu ucap terakhir dari bibir gemetarnya)


"bangunkan aku ketika engkau hendak pergi.
maka aku bersiap untuk benar-benar mati."





Philein, Za
Siliwangi, Feb 27-2011

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...