Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for Desember 2011

Pembangkang


posted by Unknown on

No comments


Pembangkang
30 Hari Menulis #2

“Saat masih kecil, saya dilarang main bola oleh orangtua saya. Tapi saya bandel waktu kecil, akhirnya saya putuskan untuk berjualan keliling kampung  mengumpulkan uang biar bisa beli sepatu bola.”-Andik Firmansyah (Pemain Timnas Indonesia U-23)
Foto diambil dari sini


Begitu ucap seorang pemain muda Indonesia yang belakangan ini mendadak jadi sorotan publik karena prestasinya di timnas U-23 yang sangat menakjubkan. Terlebih lagi belakangan ini ia diundang oleh beberapa stasiun televisi swasta setelah pertandingannya (timnas U-23 melawan LA Galxy) dan mendapatkan jersey LA Galaxy dengan nama Beckham di punggung.
***

Saat-saat malas seperti ini, ditambah lagi hujan yang turun sepanjang hari di Lembang membuat aku bergolek di kasur sepanjang hari. Tidak banyak yang bisa dilakukan ketika malas sedang mengetuk pintu kamar, paling-paling hanya membuka laptop, melihat file-file, gambar, film, atau main game. Sesekali membaca koran yang isinya itu-itu saja. Membaca buku pun rasanya tidak mendapat apa-apa, serangkaian kata-kata yang tertulis disana seperti menolak masuk kedalam kepala. Aku menjerang air, kopi kutuang, air mendidih, kopi pun menguarkan aromanya yang bercampur udara sejuk Lembang sore hari menjelang malam. Sambil menunggu kopi menghangat, aku menyalakan televisi, si kotak berisi gambar warna-warni itu. Jarang sekali aku menonton televisi, bukan karena tidak ada waktu, tapi di tempat kostku memang sengaja tidak dipasang. Tapi ini Lembang, ini tempat bermalas-malasan!

Saluran kupindah-pindahkan, ah kok jam segini semuanya membosankan: sinetron! Akhirnya aku mengarahkan remote ke saluran nomor tiga di kotak warna-warni kamarku: Trans7 (aku sempat berpikir seharusnya aku menempatkan Trans7 di saluran nomor tujuh dan TVone di nomor satu) lalu menonton sang mentalis yang jadi presenter acara talkshow. Saat ini sang mentalis kedatangan tamu Andik Firmansyah. Obrolan yang kupikir sangat tidak penting itu terus mengalir deras. Bayangkan, apa hubungannya antara pemain bola timnas Indonesia U-23 dengan kehidupan kesehariannya yang di ekspose di media massa? Pacarnya di wawancara, ibunya, bapaknya, aku pikir kok sekarang semua serba di-artis-kan, dia kan atlit sepakbola, kalau sering-sering shooting gitu, kapan latihannya?

Hingga akhirnya pertanyaan klasik muncul, “Bagaimana dukungan orangtua atas karirmu?” Ya tentu saja jarang sekali orangtua (mungkin terlebih lagi di Indonesia) yang menginginkan anaknya berprofesi sebagai pemain sepakbola (apalagi profesi mentalis seperti sang presenter). Kan lebih baik dan keren jadi dokter, arsitek, pejabat negara, polisi, atau minimal jadi guru/dosen lah. Jadi nanti ketika ibu ditanya teman, tetangga, atau saudara, ibu bisa bangga: “Anak saya yang di RSCM kan sekarang lagi ngelanjutin spesialisasi di luar” atau “ya gampang lah, nanti biar anak saya yang di Polda yang urus” atau “saya kan baru pulang dari Bali nemenin anak saya rapat kerja, kan ada jatah tiket dan akomodasi buat keluarga juga”.

Tapi anehnya, beberapa (cukup banyak) orang sukses justru karena tidak mengikuti apa kata orangtuanya. Salahsatunya ya si Andik ini, diceritakan bahwa ia bahkan sempat berhenti sekolah selama satu tahun. Juga sang mentalis ini yang dulu sempat dimaki-maki orangtuanya “kalau kamu jadi pesulap, mau makan apa kamu? balon?!” tapi sekarang justru mereka inilah yang menopang sebagian besar kebutuhan keluarga. Andik sekarang sudah mampu membelikan rumah baru yang lebih layak bagi kedua orangtuanya, membiayai umroh, dan mungkin masih banyak lagi.

Mungkin (mungkin ya!), jika Andik mengikuti perintah orangtuanya sekarang ia masih duduk manis mendengarkan dosen yang sedang berbusa-busa bicara (atau lebih tepatnya membaca) buku-buku tebal yang ia sendiri mungkin tidak mengerti. Lalu Andik turun ke jalan sebagai bukti nasionalismenya, demonstrasi anarkis. Atau jika tidak menjadi aktivis, ia akan segera lulus dengan predikat cum laude. Tersenyum manis ketika berfoto mengenakan toga, sementara didepan kampusnya jalanan macet akibat wisuda. Jauh didepannya, negara ditambah lagi satu calon pengangguran. Kalau bernasib cukup baik (anggaplah demikian dengan predikat cum laude nya) ia akan mampu diserap pasar tenaga kerja, lalu bekerja di salahsatu perusahaan asing di Jakarta, ia meninggalkan Surabaya, ia meninggalkan lapangan hijau, mimpinya saat masih kecil.

Hari-harinya akan sibuk oleh kertas dokumen, suntuk menghadapi ribuan file di komputer, pulang malam hari dengan kemacetan khas Jakarta. Seminggu sekali Andik menyempatkan liburan dengan pergi ke mall, diskotik, atau bersantai dengan perempuan di villa nya di Puncak. Setahun sekali ia menyempatkan pulang ke Surabaya, membawa bukti kesuksesannya di Jakarta. Menjelang usia 27 tahun ia menikah dengan rekan kerjanya, memiliki dua anak yang disekolahkan di rumah (private school), hunian nyaman di Kemang, Bentley sebagai ‘kekasihnya’ mengantri di jalanan padat Jakarta.

Bukankah ini potret kesuksesan? Ya, Andik sukses sebagi mesin pembuat uang! Tapi setiap kali ia menyaksikan pertandingan sepakbola melalui kotak warna-warni layar LCD nya ia mengingat, masa kecilnya yang bermandikan keringat di lapangan hijau (sebenarnya coklat), berteriak, lalu pulang dengan atau tanpa kemenangan. Ia semakin jauh dari Surabaya, dari sepakbola, dari Bonek yang berteriak histeris ketika Persebaya berlaga.

Ah aku terlalu jauh berpikir, nyatanya ia sekarang ada di kotak warna-warni itu mengenakan jersey timnas U-23. Andik bocah bandel, ia tidak menurut pada orangtuanya. Andik tahu betul, kapasitas dirinya akan maksimal ketika berhadapan dengan si kulit budar di lapangan hijau. Meski telah banyak juga yang sukses atas dorongan orangtuanya, tapi bukan berarti pembangkang itu akan gagal dalam hidup. Andik hanyalah salahsatu contoh pembangkang yang sukses.

Tidaklah juga semua mesti menjadi pemain bola, atau semua mesti jadi dokter. Keduanya tidak dapat dibandingkan, bagaimanapun juga peran itu tidak meninggikan atau merendahkan seseorang. Seorang anak manusia ditinggikan ketika ia mampu menjalani perannya dengan sebaik mungkin. Maka tidak pantas juga kita terburu-buru menilai anak yang pembangkang itu durhaka dan akan gagal dalam hidup. Karena jangan-jangan untuk menemukan diri memang perlu pembangkangan atas desakan dan dorongan yang belum tentu benar juga. Jika sama-sama tidak tentu, kenapa harus memilih ketidakpastian pilihan orang lain?

Kotak warna-warni itu kumatikan, laptop kunyalakan, kusulut sebatang rokok, hey selamat malam para pembangkang! Bagaimana kabarmu hari ini? Belum di usir dari rumah?


Lembang, 14 Desember 2011
ditemani rintik dan kopi.

Hujan dan Sayuran


posted by Unknown on

No comments


Hujan dan Sayuran; Antara Dingin dan Hangatnya Kenangan.
30 Hari Menulis #1 

Sore hari yang idealnya bisa dinikmati dengan cuaca cerah lengkap dengan matahari yang bersiap pulang ke peraduannya, atau jika pun hujan hanya sekadar rintik mesra. Tidak, tidak begitu dengan sore ini. Sore ini hujan lebat disertai angin kencang juga banjir di beberapa ruas jalan menemani kita. Hal ini bertambah sulit ketika harus berkendara menggunakan sepeda motor.

Gambar diambil dari sini

Sekitar pukul 14.00 kita memutuskan untuk berangkat dari Jatinangor ke rumahmu, kita mampir di Griya Jatinangor untuk membeli beberapa sayuran, kamu masak hari ini. Kamu cantik kala ini. Setelah beberapa jenis sayuran hijau segar di dapat, kita melanjutkan perjalanan. Baru sampai di bilangan Cileunyi, hujan tiba-tiba deras tanpa aba-aba. Kita basah, kita dingin, kita menggigil. Lalu tanpa aba-aba juga, badai kenangan itu mampir. Kita ingat sekitar lima bulan yang lalu ketika pulang dari Ujung Genteng- Sukabumi sekitar pukul 00.00 kita basah kuyup dan tetap harus melanjutkan perjalanan dari Sukabumi ke Bandung. Bukan Sukabumi yang dibayangkan orang banyak, Ujung Genteng terletak di ujung barat daya kabupaten Sukabumi. Dari Bandung jauhnya sekitar 360km, kurang lebih seperti perjalanan pulang pergi Bandung-Jakarta. Kita bisa, kita kuat.

Seketika kita kembali dari ingatan hangat, lalu menggigil di bilangan Soekarno-Hatta. Aku melihat beberapa mobil melintas, ada yang menyusul, ada yang tersusul. Mereka sepertinya baik-baik saja di dalam sana, mungkin sambil mendengarkan radio atau menyetel musik yang melantun hangat. Beberapa pengendara motor memilih berteduh di warung-warung kopi untuk menunggu hujan mereda. Kami dijalan, aku membetot gas, kamu tetap gigil. Ada juga yang terlihat memanjakan ingatan dengan melamun, mungkin yang terlintas adalah segenap bayang gelap tentang yang lalu, tentang masa-masa sedih yang membuat mata mereka ‘didewasakan’ waktu. Sekaligus membuatnya semakin kuat, sedih adalah proses kreatif yang membentuk diri. Tidak ada kata yang lebih pantas untuk mereka yang berani menatap wajah kesedihan itu selain para pemenang. Tidak masalah bagi mereka yang kandas membina hubungan, yang gagal dalam pekerjaan, yang telak ditinju kerasnya perkawinan yang berujung pada perceraian, juga yang termarginalkan kerasnya sistem kapitalistik dan akhirnya berujung di jalanan menjual keringat bagi orang-orang yang duduk-duduk malas di ruang ber-AC. Tidak masalah, sungguh mereka sedang belajar untuk kembali bangun. Saat mereka kembali melihat semua itu dalam lamunannya, mereka sadar semakin kuat. Ah sampai juga kita di jalan Nanjung, dekat rumahmu. Aku membetot gas, kamu tetap gigil.


Kopi, rokok, dan Persib cukup hangat sore ini. Kamu memasak, kamu cantik. Bahwa kenangan memang hangat kita bersepakat untuk itu, tapi kesadaran itu tidak membuat kuyup menjadi hangat. Gigil tetap gigil, bahwa hujan memang dingin. Tapi kita pernah melalui yang jauh lebih sulit dari kondisi ini, maka kita kuat. Kenangan, disadari atau tidak mampu benar-benar mendewasakan spiritualitas mental. Seperti halnya kopi dan rokok sore ini mampu mengusir gigil itu, mengajarkan kita bahwa dibalik hujan deras dan kuyupnya tubuh, asalkan secara mental kita siap, secara spiritual kita siap, rasa-rasanya tidak butuh mobil mewah yang menawarkan ‘hangat’ alih-alih prestise dan status sosial. Kita kaya sedari jiwa.


Rumahmu, 12 Desember 2011
Menanti masakan…

Seraut Kusut di Penghujung Tahun


posted by Unknown on ,

4 comments

Setelah semua menjadi suntuk, suntuk yang kian mengukuhkan diri di tahun yang tinggal menghitung hari, hari yang akan membawa pada penanggal baru, pada tahun yang masih hijau. Setelah semua masa kemalasan, kemarahan yang meledak-ledak, emosi yang tidak menentu, juga gairah yang jarang mampir untuk berpihak. Semua menyuruk pada satu resolusi baru, mengenal atau mungkin mengingat kembali, dimana kini aku berdiri?


Cuci dulu muka dan  juga dengan sedikit air yang akan membasahi rambut, agar segar, agar mekar. Kemudian melihat seonggok daging dan segumpal darah yang mengalirinya, aku melihatnya di depan cermin berbingkai plastik warna kuning, tepat di samping kanan pintu kamar mandi. Setelah semua menjadi suntuk, wajah berbayang itupun menampakkan raut lelahnya atau mungkin raut malas.
---------------------------


Kamu, tidak lah lain dari seorang anak muda tanggung yang sedang serba kekurangan, selalu kehausan. Seperti yang kamu sering bicarakan, bahwa di dalam dirimu ada semangat yang begitu besar yang tidak akan tersalurkan dalam kehidupan yang tenang. Kamu penuh onar dalam daging yang menggumpal itu, duri-duri yang seringkali mencuat di saat-saat tertentu, biasanya saat-saat genting dalam hidupmu. Kali ini pun barangkali kamu kembali terluka oleh onar itu. Aku datang seperti biasa, untuk mencabut duri-duri atau memasukannya kembali kedalam dirimu, jauh di dalam, agar kamu punya cukup waktu dan cukup siap untuk kembali merasa seperti ini. Setidaknya dengan begitu, kamu punya cukup pengalaman untuk menyembuhkan onar itu. Meskipun kamu selalu bilang itu tidak cukup.


Aku melihat kamu kini sudah begitu berubah, kamu semakin rumit dan kusut. Sesekali kamu memang butuh pelumas agar benang kusut itu tidak semakin membuatmu kalut. Mungkin kamu lupa, bahwa diatas segala kebesaran dan kesempurnaan hanya ada kesederhanaan, kamu lebih suka menyebutnya kebersahajaan. Aku yakin se yakin-yakinnya, kamu lupakan itu. Kamu terlalu besar sekarang bahkan utuk kujamah, aku semakin kecil bahkan untuk kau lihat. Tapi lubang dalam dirimu pun semakin membesar, nganga itu semakin menyalak dengan kobaran api bencimu yang sangat aku kenal itu. Panasnya sungguh aku akrabi, karena sedari dulu akulah yang memadamkannya, meski kadang aku juga yang memberi kayu bakar dan minyak tanahnya.


Mungkin kamu juga sudah lupa bahwa untuk bertahan hidup tidaklah perlu saling menyikut, untuk kaya dalam hidup barulah perlu saling berebut. Tapi bukankah kamu berjanji akan selalu mengingat bahwa urusan kenyamanan finansial itu hanya sebuah titik pembiasaan. Ketika kini aku merokok dengan rokok seharga enam ribu per bungkus dan kamu sebelas ribu perbungkus bukankah kita berdua sama-sama merasakan 'kebahagiaan' itu? Perbedaannya hanyalah soal kamu dibiasakan dengan standar rokok yang enak itu seharga sebelas ribu dengan label merek yang kamu setiai itu, sementara aku membiasakan dengan rokok yang enam ribu. Bukankah kita berdua sama-sama 'bahagia'? Kita pernah membicarakan ini sebelumnya, dimana media menjadi titik kritik kita saat itu. Mereka mencoba menjejali kita dengan segudang 'kesenangan' dan opini yang membentuk publik. Saat itu, kita menyepakai bahwa kekuatan media hari-hari ini tak ubahnya seperti kekuatan dogma agama. Kamu bahkan bilang, jika pada setiap hati kita dibelah dan dilihat isinya, mungkin yang ada disana bukanlah lagi berbagai isme, agama, spiritualitas, atau kepercayaan-kepercayaan yang arif, tapi medialah yang bercokol dan beranak pinak disana.


Apa jangan-jangan kamu sudah menjadi bagian dari korban mereka? Ah tentu tidak, atau belum. Buktinya televisi di kamar kost mu masih setia menjadi 'barang antik' yang berdebu meskipun cara hidupmu sedikit banyak sudah seperti iklan-iklan di layar kotak warna-warni itu. Entah dari mana kamu belajar. Kamu lebih kompromis saat ini, tidak sekeras dulu, meskipun tetap murung dan kusut. Tapi jelas tampak bahwa kamu kehilangan keberanianmu yang dulu sangat aku kagumi.


Kamu jangan terlalu pesimis, masih banyak kesempatan-kesempatan yang menunggumu. Tentu kamu tidak ingin keputusanmu menjadi penyesalan, seperti keputusanmu tiga tahun lalu yang membawamu kesini. Itu semua akibat sifat pengecutmu, akibat kelemahanmu yang penakut dan pecundang sialan itu. Masih banyak kerja-kerja kecil yang akan berdampak besar jika dilakoni dengan kesungguhan dan ketulusan, masih ada harapan-harapan kecil di setiap tikungan yang selalu terlewatkan olehmu akibat kekusutanmu.


Segera rapikan tas punggung kusammu, bawalah secukupnya, buang yang tidak perlu. Lalu tentukan, berangkat sekarang atau lanjutkan kesialanmu di ruang persegi yang semakin berlumut ini. Dan maaf, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus pergi menjemput sisa-sisa harap itu, karena jangan-jangan hanya harapan itulah yang tersisa untukku, untuk kita, untuk spesies bernama manusia.
---------------------------


Belum kering air mukaku, kini sudah basah kembali oleh seraut kenangan tentang harap itu. Kusadari, aku terlalu lama menunda, terlalu lamban bersikap. Hingga air yang kujerang untuk kopi itu telah kembali dingin dan aku harus menjerangnya kembali sambil bergolek malas di atas kasur lapuk yang membawaku pada kesia-siaan ini. Pada penanda tahun yang tak pernah kenal kompromi dan negosiasi, waktu terus berjalan dengan atau tanpa aku menyadarinya.



Jatinangor, 3 Desember 2011
Selepas kepergian kawan lama.





Gambar Diambil dari Sini



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...