Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for Januari 2012

Kelas Filsafat Tobucil: Manusia Dalam Kajian Modern


posted by Unknown on

No comments



Kelas Filsafat Tobucil: Manusia Dalam Kajian Modern*

Gambar diambil dari sini

Menurut pemahaman yang paling awam, manusia bisa diartikan sebagai mahluk hidup yang berpikir. Benarkah manusia merupakan satu-satunya mahluk hidup yang berpikir? Dengan itukah spesies bernama manusia membangun peradabannya? Lantas bagaimana isu-isu modern pada kajian manusia dapat kita bedah?

Kelas filsafat hari ini cukup meriah meskipun tidak digawangi langsung oleh kedua mentornya, Rosihan Fahmi berhalangan hadir. Hari ini hanya ada Syarif Maulana yang berusaha mengupas manusia dalam prespektif modern.

Jauh sebelum zaman dikatakan modern, manusia telah mengenal semesta raya dengan caranya, zaman itu bisa ditandai dengan satu kata kunci: teosentris. Semua gejala-gejala alam seringkali dikaitkan dengan tangan tuhan yang ikut berperan, alih-alih tuhan jadi segalanya, tuhan jadi pusatnya. Puncaknya pada abad pertengahan dimana gereja berkuasa, praktis para pemikir zaman itu mengalami ‘mati suri’. Belum lagi holocaust yang menjadi dampak begitu digjayanya gereja (agama) saat itu membuat manusia menjadi geram dengan agama dan premis-premis supra-rasional. Dalam filsafat sendiri, lahirnya Descartes dengan cogito ergo sum nya digadang-gadang sebagai godam yang membangunkan para filsuf dari tidur panjangnya, Descartes sebagai bapak filsafat modern.

Manusia di era modern dijadikan pusat segalanya, antroposentris. Pemikiran-pemikiran besar dan penemuan-penemuan mutakhir pun mengalir dengan deras. Manusia menjadi bebas, bebas melakukan apapun tanpa takut lagi pemikiran dan penemuannya bertentangan dengan doktrin agama. Jika kita lihat kebelakang, kita bisa melihat bagaimana Copernicus yang dibakar gereja karena teori Heliosentrisnya.

Lahirnya kebebasan itu pun membawa konsekuensi logis bagi manusia, sejak era modern para tokoh besar mulai berani mengumumkan dirinya ateis di depan publik. Sebut saja lima tokoh ateist terbesar sepanjang zaman (Franz Magnis Suseno): Fuerbach, Marx, Freud, Nietzsche, Sartre. Kelima tokoh ini meskipun dalam ‘pembunuhan’ tuhannya memiliki berbagai argumen yang berbeda, namun nadanya kurang lebih sama. Bahwa manusia merdeka dan bebas maka tidak ada yang namanya tuhan. Nietzsche mengatakan lebih lanjut bahwa orang yang beragama berarti ia masih kekanak-kanakan yang ketika keinginannya tidak tercapai, ia akan merengek pada orangtuanya sebagai simbol kekuatan yang lebih besar.

Pembahasan berlanjut dengan terfokus pada gagasan-gagasan kelima tokoh ateis tersebut, Syarif Maulana mengupasnya satu-persatu dengan cermat. Membandingkannya dan mencari narasi besar yang menaunginya. Karena memang di era modern ini, semua isu memiliki grand narative yang dibangun demi otoritas kebenaran. Termasuk kita perlu mencurigai narasi besar itu, jangan-jangan memang kekuasaanlah yang justru paling berperan dalam membangun otoritas kebenaran tersebut. Rasio, sebagaimana sering dijadikan tuhan baru jangan sampai menjadi berhala seperti halnya tuhan di abad pertengahan. Karena sesungguhnya pengetahuan rasional tentang harga marmer seratus ribu di kota tidak membuat tukang batu di desa bisa menjual marmer kampung halaman dengan harga lebih daripada seribu.

Seperti halnya kelas filsafat sore ini di beranda Tobucil, jangan sampai Syarif Maulana lah yang memiliki kekuasaan atas kebenaran membuat para peserta lumpuh dan mati suri, karena sedari awal tujuan filsafat modern sesungguhnya hanyalah pembebasan dan memanusiakan manusia.


Azhar Rijal Fadlillah
25 Januari 2012
-------------------------------

*) Tulisan ini sebagai notulensi Kelas Filsafat Tobucil tanggal 24 Januari 2012 dengan tema 'Manusia dalam Kajian Modern'
*) Tulisan ini juga dimuat di blog Tobucil N Klabs

Pesta Filsuf ke-2: Etika di Media


posted by Unknown on ,

No comments


PESTA FILSUF KE-2: ETIKA DI MEDIA
Azhar Rijal Fadlillah*



Minggu, 8 Januari 2012

Ada yang berbeda pada hari minggu di Tobucil, jika bisanya beranda tobucil di hari minggu diisi oleh para crafter untuk saling berbagi ilmu kreasi karya, tidak begitu dengan minggu ini. Minggu ini Madrasah Falsafah (MadFal) merayakan PESTA FILSUF ke-2 dengan tema Etika di Media.

Perayaan kali ini sedikit berbeda dengan pesta filsuf pertama, kali ini pemasalah (begitulah MadFal menyebutnya sebagai pengganti ‘pemakalah’) dibuka luas untuk umum, siapapun boleh memasukan tulisannya untuk kemudian ditelaah bersama dan ditentukan tiga tulisan terbaik yang akan menjadi pemasalah pada Pesta Filsuf, sesuai dengan semangat Merayakan Filsafat Dalam Keseharian yang diusung Madrasah Falsafah bahwa Setiap Orang Adalah Filsuf.




Presentasi dari Ketiga Pemasalah

Pemasalah pertama Syarif Maulana, seorang dosen logika di UNPAD, musikus sekaligus pengelola Klab Klasik yang juga pada taraf tertentu menggiati filsafat, membawakan masalah ‘Menonton Televisi’ Studi Fenomenologi Husserlian Terhadap Tayangan RCTI. Penelitiannya tersebut dilakukan selama kurang lebih 23 jam dalam tiga hari.

Pendekatan Fenomenologi ini mendekati objek sebagai mana objek dalam dirinya sendiri atau Lebenswelt kalau kata Husserl yang dalam bahasa sederhana berusaha melihat pengalaman sebagaimana adanya. “Saya bermaksud menghindari kekeliruan induksi dengan menggunakan metode pendekatan fenomenologi, seperti jika kamu bilang restoran paling enak di Bandung adalah Ampera, padahal kamu baru makan sekali di Ampera SukarnoHatta, memesan ayam goreng.” Tutur Syarif ketika membuka presentasi. Barangkali yang ditawarkan Syarif ada baiknya juga dalam memahami media hari-hari ini. Ketika kita baru menonton salah satu program RCTI, tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa RCTI tidak bermutu dan tidak mendidik. “Meskipun setelah penelitian saya selama 23 jam dalam tiga hari ini hasilnya sesuai dengan hipotesa saya itu lain soal, yang jelas, setelahnya saya langsung menjalani detox dengan menonton Godfather Trilogy

Dalam penelitiannya, Syarif mendapati bahwa dari sekian banyak sinetron yang ada di RCTI, penonton tidak membutuhkan visual, tidak jauh berbeda dengan drama radio bahkan pada tataran tertentu masih lebih baik drama radio. RCTI pun melakukan semacam pembodohan dengan mengkonstruksi stereotif citra diri manusia hari-hari ini. Cantik itu putih, mancung, langsing, berambut panjang, dan setertusnya merupakan stereotif yang berusaha dibangun RCTI melalui sinetron-sinetronnya. Yang tidak kalah pentingnya, sinetron seperti ini membatasi visual karena semua sudah serba diinterpretasikan dengan gamblang dan banal. Tidak ada lagi ruang interpretasi yang disisakan untuk penonton. “Ya bayangkan saja apa yang bisa kita dapat dari melihat adegan Nikita Willy mengenakan mukenamengangkat kedua tangan lalu berakata ‘saya sedang sedih ya Allah, tolong dekatkan saya dengan si A, kami harus berjodoh...’ dari petikan narasi itu saja jelas bahwa kesedihan dan harapan di artikulasikan dengan vulgar, tidak ada permainan mimik dan gestur, apalagi trik cara pengambilan gambar dan latar” ketus Syarif.

Pemasalah kedua, Soeria Disastra yang cukup dikenal sebagai seorang penyair dan penerjemah karya-karya sastra Tionghoa membawakan masalah Ketidakseimbangan Media di Indonesia. Ia menuturkan bahwa informasi bagi masyarakat kita hari ini adalah santapan wajib setiap harinya, jika ada ketidakseimbangan dalam penyampaian informasi tersebut maka media menyiapkan santapan yang tidak sehat. Maka dari itu, untuk tetap berada di jalurnya, media selalu membutuhkan etika. Pada kesempatan kali ini Soeria Disastra menyoroti masalah minimnya Seni dan Budaya dalam media kita, “Lihat saja contohnya di Pikiran Rakyat atau Kompas, bandingkan antara kolom politik ekonomi dan kolom seni budaya” baginya ini lah yang membuat karakter bangsa ini kehilangan arah, terkesan limbung dan kalut, akhirnya ‘mengikuti’ arus pasar merupakan jalan yang ditempuhnya, semata-mata alasan ekonomi atau politik.



“Pembangunan karakter dan integritas inilah yang sepertinya harus didahulukan” tutup Soeria Disastra.
Pemasalah terakhir Miraj Dodi Kurniawan, seorang peminat studi filsafat, pengamat media, dan pernah magang sebagai jurnalis Media Indonesia Biro Bandung mengangkat masalah ‘Media Diatas Rel Etika; Quo Vadis Media Massa’. Ia mengatakan bahwa dosa terbesar media ialah menyampaikan agitasi dan propaganda pihak/golongan tertentu dengan maksud dibelakangnya. Sebuah narasi besar yang tentu ditumpangi kepentingan kelompok kecil.
Persoalannya jadi kian meruncing justru ketika publik menganggap media massa sebagai satu-satunya saluran informasi dan dianggap benar tanpa mengkritisinya terlebih dahulu. Sementara harapan publik yang semakin membengkak itu, media justru semakin sering melakukan ‘buka-tutup’ informasi atau ‘angkat-tenggelam’ isu. Sejauh ini justru media yang katanya merupakan pilar keempat demokrasi itu menjadi penjahat demokrasi nomor satu.

Tanggapan dari Penanggap dan Sesi Diskusi

Rudi Setiawan, seorang dosen Fakultas Filsafat UNPAR yang juga penggiat Filsafat mengatakan bahwa manusia modern ditandai dengan cara berpikir yang kadang terlalu alergi dengan kecepatan, kebaruan, dan akurasi. Semua ingin serba cepat, siaran langsung televisi akan terasa lebih ‘berwibawa’ dibandingkan dengan siaran tunda, apalagi menyangkut siaran sepakbola. Semua ingin serba baru, isu-isu ekonomi politik budaya selalu diangkat terus menerus tanpa kedalaman. Juga akurasi, dengan angka-angka statistik yang pasti. Efeknya jelas langsung terasa pada publik sebagai penonton ‘modern’, kita semua terkepung oleh derasnya arus informasi masif hingga tidak memiliki ‘waktu reflektif’ yang digunakan untuk mengambil jarak dan mengkritisi setiap arus informasi yang ada. Hasilnya media pun memiliki kecenderungan dangkal dan artifisial sebagai alat survival di pasar konsumen.

Persoalan lainnya, masih menurut Rudi Setiawan adalah terjadi dilema besar media kita hari-hari ini. “Disatu sisi media idealnya berupaya memanusiakan manusia dengan kebebasan berekspresinya namun disisi lain kebebasan berekspresi dikekang dan dikebiri oleh batasan-batasan regulasi etik.”
“Bisakah kebebasan bereskpresi itu dibatasi? Melihat pengalaman para praktisi media yang bercerita tentang kasus Tukul dengan Bukan Empat Mata-nya dan mungkin masih banyak contoh kasus lainnya” sahut Bambang Q’ Annes.



Nur Syawal sebagai pengamat media yang juga anggota Komisi Penyiaran Indonesia mengatakan “justru kuncinya ada di penerimaan publik yang cenderung bersepakat dengan isu-isu dan gagasan yang ditawarkan media, disitulah media menjadi kuat. Lalu jika kita berbicara tentang etika, etika siapa atau etika mana yang kita pakai? Maka pertanyaan saya justru di tataran etikanya, adakah/perlukah etika universal?”
“Bagi saya justru ketika jalan lembaga sudah tidak dapat ditempuh, ya ‘anarkis’ saja, buatlah semacam ‘media baru’ atau ‘media alternatif’ yang akan mencerdaskan publik dan menjadi konsumen yang selektif.” Masih menurut Nur Syawal yang akrab dipanggil Al.

Meskipun begitu, akses keuasaan gerakan-gerakan alternatif itu biasanya tidak kuat dan hasilnya tidak akan masif, jangan harap gerakan seperti ini bisa dalam satu minggu membuat RCTI bangkrut. Persoalan-persoalan seperti Universalitas, Manusia, Etika, Media, hangat dibicarakan siang ini. Bambang Q’ Annes menanggapi pertanyaan Al “Apakah harus universal? Bukankah universalitas mengingkari perbedaan yang partikular?”
Lalu ada pertanyaan menarik di awal sesi diskusi yang ditanyakan oleh Heru Hikayat menyoal siapa di balik pasar? Lalu apakah kritisisme harus selalu disebrang pasar? Juga Ma’mun yang berpendapat bahwa sinetron itu akan selalu ada selama ibu-ibu rumah tangga masih tidak berkegiatan di rumah. Pertanyaan Ma’mun ini dijawab dengan nada santai dan humoris oleh Iqbal “Jangan salahkan ibu-ibu, salahkan saja bapak-bapaknya yang tidak memberikan pilihan lain, kalau dirumah dipasang TV berbayar kan ibu bisa nonton BBC. Pasang internet dan varian media lainnya.” 

“Sebenarnya yang dimaksud pasar oleh media itu bukan kita (publik) sebagai penonton, kita jagan dulu ge-er karena yang mereka maksudkan itu adalah para pengiklan (korporasi). Dari survei yang dilakukan, rating program televisi itu untuk memudahkan para pengiklan membaca kondisi penonton. Mereka tidak akan peduli apakah program tersebut dianggap bagus oleh publik atau tidak. Kita (publik) tidak termasuk dalam lingkaran setan itu”
Kemudian suasana diskusi menjadi semakin cair ketika moderator, M.Syafari Firdaus yang akrab di panggil Daus membuka permasalahan ini pada seluruh peserta pesta filsuf yang hadir saat itu. Jual-beli argumen terjadi dengan riuh-rendah yang tentu saja diselingi humor-humor cerdas yang membuat siang itu tidak begitu terasa panas meskipun beranda Tobucil dipenuhi sesak pengunjung.

Barangkali universalitas itu sendiri merupakan dialog terus menerus, bukan sebuah konsepsi tertinggi yang mapan dan anti kritik, universalitas selalu tertunda dan selalu yang akan datang. Media, dalam hal ini memang cukup menjadi mengerikan ketika menampilkan wajah yang serba kontradiktif, tapi sejauh ini barangkali hanya jalan ‘mencerdaskan ibu jari’ (selektif memilih media dalam kasus televisi) saja yang dapat dilakukan, Iqbal berkata “Jangan pukul besi dengan besi, karatkan dengan air!”

Meski pertanyaan semakin banyak dan tidak terbendung, waktu sudah membawa acara pada akhirnya. Inilah barangkali MadFal, ketika pulang kita dibekali pertanyaan-pertanyaan yang semakin banyak, bukan jawaban.
Lalu saya pulang ke rumah dan mendapati ibu saya menonton televisi di kamar saya yang letaknya di lantai dua. Seorang master di bidang Manajemen Pendidikan itu sedang menonton “Boys And Girl Band Indonesia” sebuah acara pencarian bakatboyband dan girlband Indonesia.

Saya hanya menggerutu dalam hati “mah, ijal anter ibu jarinya ke sekolah yuk”
---------------------------------


*)tulisan ini juga dimuat di laman blog tobucil n klabs
**)penulis adalah seorang penggiat madrasah falsafah yang juga pada taraf tertentu menggiati filsafat dengan tekun

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...