Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for Februari 2012

ketika darah memintal gerak


posted by Unknown on

No comments


Malam sudah terlalu tua kasih,
Tak ada tempat lagi untuk bersembunyi.
Dibalik gelapnya, demit sudah beranak-pinak.
Membuat gaduh gemuruh sejauh mata mampu memandang.

Kemudian kamu bersenandung,
Kemana lagi aku harus mencari sunyi? Memuja lirih.
Kemana lagi aku harus menetap?
Sembunyi dari derap yang tak henti.
Dari segala demit dan arwah yang tak lelah meminta mata untuk melihat.
Mereka terlalu purba untuk menjadi sajak yang selalu meminta jarak.

jika dengan darah saja tak cukup,
harus dengan apa lagi aku memacu detakmu?

Jatinangor, 28 Februari 2012


Begitulah Kamu


posted by Unknown on

No comments


Belajarlah untuk tidak menjadi ‘siapa-siapa’ jika kamu iri pada hadirku.

Gambar diambil dari www.deviantart.com

Sungguh, kawan… kamu sudah begitu penuh. Apalagi yang kamu cari? Sesekali dalam hidup mestilah kita berkata cukup pada arus deras itu, memegang ranting untuk istirahat sejenak. Tidak perlu terlalu terburu-buru. Siapa yang mengejarmu? Apa juga yang kamu kejar? Tidakkah kamu lelah dengan semua siasat ini?

Aku kenal betul siapa dirimu, bagaimana latar belakangmu, apa saja yang kamu lakukan dalam keseharianmu. Dulu, ketika kita tinggal berdekatan, kamu sering bercerita, aku mendengar. Kamu jenis manusia pekerja keras, pintar, tekun, dan yang paling penting kamu ambisius dan optimis. Sifat-sifat yang tidak dimiliki olehku. Dunia butuh banyak orang sepertimu. Aku sayang kamu, kawan.

Kini kamu terjatuh oleh kerikil yang sudah tentu tidak pernah kamu khawatirkan sebelumnya. Kamu begitu yakin, kemenangan ada ditanganmu. Kamu lupa, kadang dunia begitu congkak dan keji pada orang yang terlalu percaya. Kamu jatuh, itu sakit bukan?

Sudahlah, lihat dirimu sekarang. Kamu muda, tampan, banyak prestasi dan karya yang sudah kamu buat. Kamu rebahkanlah dulu punggung lelah itu. Sedari dulu aku sering mengingatkan, jangan terlalu banyak menonton Mario Teguh. Kamu melengos, kini jatuh lah kamu.

Jatinangor, 26 Februari 2012
Begitulah, kamu…

Kophilosiphia #2: Atas Nama Cinta


posted by Unknown on

No comments


Kophilosiphia #2: Atas Nama Cinta


Sejak awal kelahirannya, filsafat—secara harfiah—dapat diartikan mencintai kebijaksanaan. Seperti Thales yang disebut-sebut sebagai filsuf Yunani pertama (500 SM) mengatakan bahwa semesta ini berasal dari air. Tentu jika dilihat dari sisi konsepsinya, ia berusaha mencari causa prima dari sebuah fenomena. Tapi ada sesuatu yang menyebabkannya berpikir sampai sejauh itu, ia mencintai kebijaksanaan yang ia awali dari mencari suatu sebab pertama yang menjadikan semesta. Pada masa itu, filsuf Yunani kuno seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, dan jajaran filsuf masa itu memiliki proyek filsafat yang kurang lebih sama: mendefinisikan alam.

Baru ketika Socrates hadir di tengah-tengah agora, militansinya berdialog dengan siapapun tidak diragukan lagi. Ia sudah tidak membicarakan alam, ia bicara moralitas dan manusia itu sendiri. Sebuah filsafat yang lebih dekat pada keseharian manusia dan sifatnya lebih praktis. Hingga akhirnya ia harus mati demi mengubah mitos menjadi logos. Seperti yang ditulis Plato dalam Menon: Dialog Sokrates Tentang Sifat-Sifat Dasar Kebajikan bahwa Socrates sudah meninggalkan semangat zamannya yang masih berkutat pada definisi alam, bagaimana alam itu terbentuk, dan seterusnya. Sokrates adalah filsuf pertama yang membicarakan moralitas dengan intens. Disini pula kita bisa lihat dengan jelas bagaimana filsafat benar-benar dilakukan demi cinta pada kebijaksanaan.

Diecky lalu menjelaskan bagaimana filsafat hari-hari ini disikapi sebagai suatu sikap dan tindak keseharian. Ia menceritakan Syarif yang belakangan ini sempat ‘bermusuhan’ dengan salah satu ‘teman maya’nya di jejaring sosial. Syarif yang intens menuliskan filsafatnya di blog ternyata mendapati ‘musuh ideologis’, hingga pada suatu waktu orang yang tidak suka pada gagasan-gagasannya mengajak ‘duel intelktual’ secara terbuka. Dari fenomena ini kita bisa melihat bagaimana filsafat bisa menjadi permusuhan, bukan lagi atas nama cinta.
“Lalu apakah cinta itu sendiri? Apakah cinta harus selalu dipertentangkan dengan benci?” begitu tanya Iqbal.

Echi menimpali “Sebenarnya cinta itu tidak harus dipertentangkan dengan benci, cinta boleh saja dipertentangkan dengan ketidakpedulian. Karena benci bisa jadi merupakan manifestasi lain dari cinta. Boleh jadi, apa yang dilakukan ‘musuh’ Syarif itu semata-mata demi cintanya pada filsafat.”

Hujan diluar sudah mereda, cinta merapat menjadi nyata ketika Syarif datang dengan senyum khasnya. Ia lalu menceritakan pernikahannya yang baru saja berlangsung sebagai bentuk ‘politisasi’ cinta, lembaga normalisasi cinta, kalau kata Syarif. Sama halnya dengan filsafat yang dipolitisasi menjadi sekadar ilmu yang saling berebut kuasa kebenaran.

Echi mengambil inisiatif dan meminta izin untuk membacakan puisinya, seluruh ruangan menjadi gelap, mata ditutup. Ia menggambarkan dengan penuh rasa bagaimana cinta yang begitu besar dan gerak yang begitu nyata pada diri cinta, begitu impresif dan penuh darah. Cinta yang sudah penuh bagi dirinya sendiri, cinta yang mapan. Ia tidak memerlukan lagi siapa subjek dan objeknya. “Semua sublim dalam gerak yang saling bertaut,” sahut Ami.

“Kenapa cinta harus selalu digambarkan dengan compang-campingnya hidup? Apakah mereka berdua saudara kandung yang tak bisa tidak, harus selalu berdampingan?” Ijal menanyakan dengan sinis.

Cinta bukan perkara memiliki, cinta sudah cukup untuk cinta itu sendiri. Ia sudah penuh pada dirinya. Seperti Daus yang menjelaskan dengan cara mempertanyakan “apakah cinta itu dicari atau ditemukan?” semua bersepakat bahwa cinta memang ditemukan. Sampai pada titik itu, kita harus terlebih dahulu menyakini bahwa cinta itu ada, tidak mungkin kita menemukan sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Maka sangat masuk akal mengapa cinta selalu bergandengan dengan compang-campingnya hidup. Karena kita sudah begitu yakin cinta itu ada, hanya perlu ditemukan. Karena cinta sudah selalu ada pada dirinya. Kalau mencari, bisa jadi tidak ditemukan dan itu jelas bukan cinta.

Seperti tulisan ini, yang berusaha menggenapi pertemuan dengan sebuah catatan. Alasannya tidak lebih daripada cinta. Karena setiap pertemuan selalu meninggalkan jejak, mengendapkan cerita yang terlalu sayang untuk dibiarkan sunyi dalam pikiran masing-masing.


Maha benar filsuf, dengan segala cintanya.

Jatinangor, 17 Februari 2012
Azhar Rijal Fadlillah

KLAB BACA: Obituari Karya Puthut EA ‘Tanto Tani’


posted by Unknown on ,

No comments

Tanto Tani, dari sebulir padi hingga segenggam arti.




Meskipun diluar udara dingin bekas hujan yang tadi mampir, pertemuan pertama Klab Baca hari rabu, 8 Februari 2012 cukup hangat. Teman-teman yang hadir diantaranya ada Ijal, Ping, Desy, Tarlen, Adi, Dini, Nanda dan tiga orang dari Klab Klasik—yang kebetulan saat itu janjian bertemu di Tobucil—‘dipaksa’ ikut agar pertemuan pertama terkesan gempita.




‘Mas Tanto’, sebuah obituari karya Puthut EA terbilang berhasil menghidupkan kembali klab ini dari ‘mati suri’nya yang cukup lama. Ijal, selaku moderator membuka pertemuan dengan perkenalan satu persatu peserta dan memaparkan secara singkat mengapa klab ini dihidupkan kembali, lalu Tarlen melanjutkannya dengan sejarah Tobucil yang ternyata berawal dari Klab Baca. “Dulu, sebelum Tobucil terbentuk, saya dan beberapa teman lainnya yang suka buku mengadakan pertemuan rutin untuk membicarakan dan mengapresiasi cerpen, novel, atau karya-karya tulis lainnya. Setelah itu, barulah terbentuk Tobucil. Jadi, Klab Baca dulu, baru Tobucil.” Papar Tarlen, Founder sekaligus pengurus Tobucil N Klabs.

Kami membaca dengan suara keras dan gaya yang berbeda-beda secara bergantian. Hal ini juga salah satu upaya menghidupkan kembali cara baca dengan suara terbuka yang harus kita akui, kita sudah kehilangan kebiasaan itu. Ternyata dampaknya cukup baik, selain membaca, kita juga belajar untuk mendengarkan oranglain. Setelah semua selesai dibaca, satu persatu mengeluarkan pendapatnya tentang karya tersebut. “Bagi saya, ini gaya penulisan obituari yang baik. Jarang sekali ada penulis yang mampu menulis obituari dengan gaya seperti ini.” Ungkap Adi, segera setelah pembacaan karya ini selesai. “Biasanya, penulisan obituari sangat kental dengan emosi yang meluap-luap. Hasilnya, pembaca hanya akan mendapati sebuah ‘tangisan’ atas kehilangan. Tidak lebih. Berbeda dengan karya Puthut ini, ia cukup bisa membuat obituari mengalir. Puthut berhasil memaparkan momen-momen penting selama hidup Mas Tanto, memperlihatkan ‘hal-hal kecil’ yang telah dilakukan dan ditinggalkan Mas Tanto. Dengan untaian yang proporsional, kita seakan begitu mengenal Mas Tanto melalui tulisan ini.” Lanjut Tarlen dengan semangat.

“Energi itu kekal” begitu tulis Puthut. Ia seolah ingin menyampaikan pada publik bahwa apa yang ditinggalkan Mas Tanto masih mengalir dalam dirinya dan orang-orang yang kenal dengan Mas Tanto.

Nanda yang baru datang juga menimpali obrolan “Dalam tulisannya yang ini, Puthut sangat terlihat cair. Tidak seperti cerpen-cerpennya yang meskipun bernada keseharian, seringkali membuat kita mengerinyitkan dahi. Diksinya pun pas, tidak menggunakan metafor seperti yang biasa ia lakukan pada cerpen-cerpennya.”

Lalu, ada semacam kesadaran baru bahwa menulis obituari sepertinya harus mulai dibiasakan di kultur kita, karena dengan begitu, yang ditinggalkanpun akan sedikit berlega (mungkin) karena menyadari betapa sudah banyak yang dilakukan oleh almarhum. Karena jangan-jangan tujuan hidup hanyalah itu, memberi makna dan meninggalkannya untuk orang-orang setelah kita.




11 Februari 2012,
Azhar Rijal Fadlillah
-------------------------------------
*Untuk tulisan asli Puthut EA, ‘Mas Tanto’ bisa langsung dilihat di website pribadi Puthut http://www.puthutea.com

Kelas Filsafat Tobucil: Ideologi


posted by Unknown on

No comments


Kelas Filsafat Tobucil: Ideologi
Oleh: Azhar Rijal Fadlillah

Gambar diambil dari sini

Hujan yang cukup deras mengguyur Bandung sore ini tidak membuat kelas filsafat sepi. Rudi, Grace, Harun dan Ami sebagai mentor tetap semangat hadir untuk membicarakan suatu tema yang suka tidak suka merupakan tema penting bagi pemetaan perkembangan arus pemikiran dunia. Rosihan Fahmi kali ini hadir sendiri sebagai mentor yang akan memandu kelas filsafat, sementara Syarif Maulana kabarnya sedang sakit atau barangkali menjaga agar tidak sakit karena tanggal sakral baginya tinggal hitungan hari. Lalu, apa kiranya yang membuat keputusan Ami untuk tetap mengajar meskipun hujan deras, sementara Syarif dan beberapa peserta kelas filsafat lainnya memutuskan untuk menjaga kondisi di rumah? Apakah suatu keputusan ideologis atau semata-mata hanya pertimbangan skala prioritas? Jika sebuah alasan ideologis, apa sebenarnya ideologi itu sehingga mampu menggerakan manusia hari-hari ini?

Melalui kacamata paling awam, kita seringkali memahami ideologi dan agama dengan suatu kerangka pandang yang barangkali sama. Tidak jarang kita melihat kisruh dua kepentingan yang saling bertolakbelakang di media massa—yang sejauh pengamatan awam saya—merupakan ‘perang ideologis’ bahkan ‘perang ideologi-agama’. Mungkin kita bisa menengok kembali bagaimana kerasnya Front Pembela Islam (FPI) dalam setiap aksinya. Atau yang masih hangat, Alex Aan—begitu ia dipanggil— yang dihajar massa karena mengaku dirinya ateis. Juga masih banyak lagi konflik-konflik horizontal yang terjadi antar elemen masyarakat lainnya hari-hari ini.

Maka dari itu, mari kita lihat lebih dekat. “Ideologi, sejak kemunculannya merupakan suatu sistem pemikiran dan atau gagasan yang dibakukan melalui suatu kerangka ilmiah. Secara sederhana, ideologi dapat kita artikan sebagai ajaran, paham, atau –isme. Sementara Agama, sejak lahirnya sudah memberanikan diri merangkul segenap aspek kehidupan manusia. Agama pada titik ini bisa diartikan sebagai way of life yang tentu saja di dalamnya terdapat beberapa sisi ideologis juga.” Begitu tutur Ami saat membuka kelas sore ini.

Beberapa filsuf mendefinisikan kelahiran ideologi sebagai bentuk resistensi terhadap paham-paham agama yang mereka anggap sudah dekaden, tidak memanusiakan manusia, mandek pada suatu tatanan paham yang bersumber pada eksistensi supra-rasional. Apalagi semenjak renaissance, manusia modern semakin alergi dengan sesuatu yang tidak rasional. Di masa inilah ideologi mengalami puncaknya setelah sekian lama masa inkubasi di abad pertengahan, dimana gereja (agama) begitu berkuasa sehingga membuat para pemikir mati suri.

Sejak masa itu, kita bisa mengenal dan melihat bagaimana ideologi menjadi begitu jumawa. Semua berebut posisi—alih-alih legitimasi—untuk menjadi pemegang tunggal otoritas kebenaran. Bahkan di masa ini juga lah agama seolah kalah pamor dibanding ideologi-ideologi besar seperti kapitalisme, marxisme, eksistensialisme, positivisme, dan segerombolan geng-geng berkuasa nan jumawa lainnya.

Lalu Ami melanjutkan dengan pembahasan beberapa arus besar ideologi yang sempat (dan masih) berkuasa hingga saat ini. Ijal, seorang peserta yang merangkap sebagai notulen untuk blog tobucil menambahkan contoh menarik tentang rasionalitas, “Saya ingat petikan dialog didalam buku Ayu Utami; Bilangan FU bahwa harga marmer seratusribu di kota tidak membuat tukang batu marmer di Sewugunung dapat menjual marmernya lebih dari seribu. Harga seratus ribu di kota bagi tukang batu di Sewugunung adalah sesuatu yang tidak rasional, begitupun sebaliknya. Kita kadung percaya pada suatu suprastruktur yang terspesialisasi, seperti ketika akan naik pesawat, kita—orang yang mengatakan dirinya rasional dan modern—tidak pernah khawatir akan kemampuan pilot. Pada titik ini, jika memakai kerangka rasional, kita sudah tidak bisa dikatakan rasional lagi. Ini kembali pada ‘percaya’, menggantungkan sesuatu pada hal diluar diri.” Lalu, apa sebenarnya yang dinamakan rasional itu?

Ami menambahkan cerita nyata dari temannya yang seorang misionaris sempat kuliah diluar negeri yang dibiayai oleh gereja. Ketika ia pulang ke Indonesia, ia ditempatkan di Gunung Halu, Cililin- Kab.Bandung Barat untuk berbaur dengan petani setempat (lebih tepatnya buruh tani). Setelah dua tahun disana, ia mengalami banyak peristiwa ‘irrasional’ yang mempertemukannya dengan petualangan spiritual. Setelah selesai tugasnya di Gunung Halu, Ami dan kawan-kawan lainnya sempat mengunjungi ke rumah misionaris tersebut. Hal pertama yang keluar dari mulutnya adalah “ideologi apa lagi yang kalian bawa? sudahlah!”

Ketika cara berpikir kita dibentuk melalui suatu institusi pendidikan yang sama, maka yang dinamakan rasional akan sama pula. Bagi sebagian kalangan terpelajar, adalah tidak rasional melihat pawang hujan mampu mencegah atau menggeserkan hujan. Tapi bagi pawang hujan, adalah tidak rasional melihat kaum terpelajar melalukakan tindakan anarkis di jalanan untuk membela masyarakat tertindas. Mereka akan bertanya “Masyarakat mana yang dibela?” karena ketika kaum terpelajar itu sibuk orasi, buruh dan petani tetap adem saja di ladang dan pabriknya. Itu semua tidak rasional bagi kalangan tertentu dan sangat rasional bagi yang lainnya.

“Ya memang, setiap pola penalaran punya cara rasionalisasinya sendiri.” Begitu simpul Ami sambil menghisap Dji Sam Soe nya yang bagi sebagian orang tidak rasional untuk menghabiskan cukup banyak rokok kretek dalam beberapa jam saja.
Lalu jika begitu, jangan-jangan agama—sebagaimana dipandang hari ini oleh beberapa orang yang anti-agama— menjadi buruk karena kurang luasnya cara pandang yang mengakibatkan kekeliruan kesimpulan. Kekeliruan menemukan rasionalisasi yang tepat.

Maka barangkali benar adanya bahwa manusia yang tidak berpikir akan tumpul, yang berpikir tanpa metode dan perspektif yang tepat akan limbung, dan manusia yang cerdas adalah mereka yang mampu menggunakan metode dan perspektif sesuai dengan kajiannya.

Begitupun Syarif, baginya akan lebih rasional untuk istirahat dirumah saat cuaca sedang buruk. Karena beberapa hari lagi ia akan melepas masa lajangnya. Selamat jalan Syarif, semoga galaunya sembuh oleh pernikahan ya.


Jalan Aceh 56, 5 Februari 2012
--------------------------------------

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...