Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for Maret 2012

Senja di KarimunJawa


posted by Unknown on

No comments


Kamu bangun dari tidur yang panjang, mengedarkan pandang ke seluruh sudut kamar. Riuh sekali kamar ini, kamu pikir. Gelas-gelas kopi bekas percakapan semalam bergerombol dengan bungkus mie instan dan asbak yang sudah terlalu gemuk oleh puntung kretek. Mereka berkumpul di sudut kamar. Dinding merah penuh coretan yang entah. Kamu sendiri tidak pernah mengerti coretan yang kamu buat, sebab kamu tahu betul manusia selalu meminta alasan atas apapun dan kamu tidak pernah mengerti alasan itu apa. Seperti perempuan yang tergolek malas di atas kasurmu, berbalut selimut. Kamu tidak pernah mengerti awal mulanya, tidak pernah mengerti alasannya. Kamu terlalu kacau.

Poster Fidel Castro sedang mengacungkan telunjuk berebut tempat dengan slogan-slogan atau mungkin quote dari mereka yang mengamini hidup ini hanyalah sebentuk ruang tunggu, sebuah peron yang amat besar. Hanya sedikit poster musik. Di sudut kiri kamarmu rak buku kecil itu terlihat sudah tidak sanggup menyimpan beban, ia gontai, rapuh! Disana bertumpuk karya-karya orang besar maupun yang belum menjadi besar. Kamu sedari dulu begitu percaya bahwa hidup ini sangat adil. Mereka yang bekerja keras, tentu menuai hasil, maka jika belum, kamu hanya menunggu dan melihat. Yang kamu baca juga sudah bukan Nietzsche, Sartre, Heidegger, Marx, Derrida, Foucalt, Zizek, dan antek-anteknya lagi. Mulai ada Anton Chekhov, Maxim Gorky, Hemingway, Iwan Simatupang, Seno Gumira Ajidarma, dan tentu saja Puthut EA di rak buku yang hampir jebol itu! Hampir runtuh! Persis seperti mentalmu yang terus digempur pasukan dari negeri entah, kamu tidak pernah beranjak. Kamu hanya berpindah. Kegalauan, oh galau, mahluk apa lagi itu?

Oh ya, apa kabar Philiph Kotler? Kamu hanya tertawa sambil melempar senyum sinis setiap kali aku mengusik masa lalu itu. Ada banyak asalan untuk tidak bersetia pada apapun, katamu.

Ah ya, kamu memang bukan filsuf atau sastrawan, tapi boleh kan pegawai bank memikirkan hidup lalu menuliskannya?

"Senja di Jakarta" diambil dari sini

Kamu sekarang duduk disini, dengan sebotol whisky yang tinggal seperempat. Mengadu padaku. Itulah kebiasaanmu, selalu merasa sanggup dan kuat. Setelah tersungkur, merengeklah kamu! Aku pikir air mata hidupmu khas sekali dengan jeritan kota. Orang-orang kota itu—mobil dan motor yang melaju tergesa-gesa—seperti memperlihatkan hatinya yang selalu gusar. Lihat saja kawasan Puncak selalu macet pada akhir pekan, kesunyian mulai ikut andil dalam riuh pasar. Apalagi yang masih bukan pasar? Apa lagi wahai Kotler? Hingga kesunyian pun harus dibeli. Ditukar dengan pundi-pundi yang kamu bangun dengan kegalauan itu. Semakin hari, kamu semakin kaya. Kamu semakin miskin gizi spiritual. Mengemisnya setiap senja menuju malam mampir, ketika kamu melepas dasi biru itu.

“Aku akan ke Jepara besok pagi” bentakmu setengah mabuk.
“pergilah, kamu sudah terlalu kusut dan kebanyakan uang. Titipkan salamku padanya”
“kamu ikut saja lah. Biar nanti kerjaanmu aku bantu. Sekarang temani aku, perjalanan ke Jepara selalu bukan perjalanan yang mudah, Ron. Nanti kamu bisa lanjut ke Surabaya sementara aku di Jepara. Pulangnya kita mampir ke tempat Desi, kabarnya toko buku yang ia rintis sudah maju. Aku pengen liat, kangen juga udah lama gak ketemu anak-anak Jogja”

Antonio, kamu tidak pernah bisa membuat aku menolak permintaanmu. Kamu terlalu baik, banyak hal yang sudah kamu berikan pada hidupku. Kalau berbakti pada orangtua hanya bisa kulakukan dengan membawakan kembang kamboja, mungkin memang hanya pada kamu aku harus membakti, teman yang sedari dulu selalu membukakan pintu. Memungut aku dari dinginnya jalanan, hingga kini aku sudah bisa memiliki sepetak kebahagian sendiri bernama rumah dan seorang istri yang cantik. Tapi kamu, Antonio. Lihatlah dirimu.

Kamu seorang teman yang baik, ah tapi lihat dirimu Antonio. Kamu pernah bercerita padaku, kamu hanya punya dua hari untuk dirimu sendiri; Sabtu dan Minggu. Tapi percayalah, itupun bukan untuk kamu. Kamu pergi ke Bandung, Puncak, atau bar seperti malam ini bukan demi dirimu sendiri. Sebab kamu melakukan semua ini agar kamu siap menghadapi Senin, menghadapi dasi biru itu lagi. Lalu kapan penanggal kalender di atas rak bukumu itu menunjukan hari milikmu? Sementara kamu dilucuti terus-menerus, mereka semakin kaya. Modalnya semakin bertumpuk. Yang lain, seperti aku misalnya, tambah miskin. Tambah melarat!

Sepertempat botol whisky kamu tenggak habis, malam kian gelap dan lampu kota semakin cantik. Mereka sudah benar-benar selesai bersolek. Para pengunjung bar mulai meninggalkan kursi. Kamu pulang, aku beristirahat. Jakarta tidak.

Kota sudah mulai bersiap kembali memulai hari yang baru. Kebisingan yang baru, demonstrasi yang baru, dan segala kriminalitas yang sudah siap menguntit siapapun yang lengah. Embun tidak ada di kota ini, bahkan mungkin cucuku nanti hanya akan mendengar embun dalam cerita-cerita romantik. Seperti aku yang hanya mampu mendengar ladang subur dan masyarakat yang sejahtera dengan segala budaya luhurnya di epik-epik purba. Yang tertinggal hanyalah patung, lukisan, sajak, cerita, dan lagu-lagu. Tapi karya seni macam apa yang bisa ditinggalkan kota yang terlalu sibuk seperti ini? Sebab hidup hanyalah sebentuk ruang tunggu. Manusia datang dan pergi, kehidupan tak pernah beranjak sedikitpun. Ia menetap, selalu ada, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi tidak ada. Sebab tidak mungkin dari ada menjadi tiada, dan juga sama tidak mungkinnya dari tidak ada menjadi ada. Berubah bentuk, mungkin. Lihat saja Jakarta hari ini. Lihat saja Yunani hari ini. Lihat saja dirimu hari ini!

“Ron, kita ketemu di Lebak Bulus saja ya. Aku pengen naik bis. Kereta selalu terlalu mengingatkanku. Kenangan sudah beranak-pinak dengan terlalu subur disana. Juga demit yang bersemayam di setiap gerbongnya selalu menyergapku dalam keadaan tidak siap.”
“Jam 8 di terminal ya.” Sambungan diputus, dengung nada telepon yang tersisa. Tanpa kicau burung dipagi hari, tanpa embun!

Pagi, bagi kami orang kota, hanyalah sebentuk persiapan-persiapan singkat menuju kerja. Selalu, sarapan yang singkat, sedikit membaca headline koran, sececap kopi dan rokok yang tidak pernah habis, juga sedikit kecupan istri. Sedikit, sedikit saja. Sebab efektivitas dan efisiensi sudah terlalu sering didengungkan di telinga kami. Sebab sedikit saja kami lambat, di akhir bulan istri sudah merengek meminta telivisi baru yang tidak terbeli. Mimipi-mimpi yang tidak tercukupi. Sementara Kotler dengan strategi pemasarannya semakin membuat kami kalap. Terlalu banyak yang tidak kami mampu beli, terlalu banyak mimpi yang seolah kami butuh.

Sialan! Internasionale dari ipod membentak! Merah dan marah! Sixth stanza habis melumatku. Aku hanya tersenyum, miris barangkali. Kenapa ada lagu ini di ipod? Aduuh…

Antonio memilih kursi di samping jendela, memasang headset. Aku disebelahnya sibuk dengan tablet. Melihat beberapa email yang hampir semuanya urusan pekerjaan. Semua pekerjaan ini mendesak, tidak bisa tidak, aku tertekan. Ah, dimana cinta itu bersembunyi? Dulu, emailku selalu dibanjiri pesan-pesan hangat yang syarat akan emosi. Aku merasa penuh, aku merasa utuh. Sekarang sudah berkeluarga urusannya kalau tidak televisi baru, ya mobil baru.

Kamu sedari dulu begitu percaya pada kesendirianmu Antonio, sebab kamu selalu menemukan alasan dan banyak pembenaran untuk tidak bersetia pada apapun. Begitupun ketika aku akan menikah, kamu hanya tersenyum, aku menangkap itu senyum lirih. Entahlah. Baru setahun yang lalu aku menerima kabar darimu, kamu mengingkari kepercayaanmu. Kamu murtad. Katamu, kini kamu sudah menemukan perempuan yang layak dijadikan pasangan hidup. Pasangan untuk menanti di ruang tunggu yang terlalu sepi jika dihabiskan sendiri, katamu. Tapi sial, perempuan itu pergi bersama perahu kertas. Mengunjungi dunia entah, dunia gelap barangkali. Karena sampai saat ini tidak ada satupun ilmuwan yang berhasil mengungkapnya. Kemarin malam kamu datang padaku, menangis dengan kuat. Kencang sekali hingga kita menjadi pusat perhatian seisi bar. Kamu menegak habis sebotol whisky, kamu berteriak kemudian menangis kembali. Katamu, hidup harus tetap berlanjut, sebab hidup sudah cukup dengan bernafas. Tapi hingga kini kamu belum juga menemukan arti apa itu nafas. Entahlah, aku juga tidak mengerti.

Bis Shantika dengan lahap menyantap setiap tikungan, para penumpang mulai terlelap. Aku masih terjaga, melihat teduhnya mata tua yang duduk di sebrangku, seorang laki-laki matang dengan istri dan seorang anaknya. Sepertinya mereka akan pulang kampung, pikirku. Bis berhenti di salahsatu rumah makan—yang sudah bekerjasama dengan PO bis ini sepertinya—. Aku turun untuk makan, Antonio turun untuk rokok dan kopi. Saat makan, mataku masih belum bisa lepas dari lelaki bermata teduh itu. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang sangat istimewa darinya. Aku tidak tahu itu apa dan tidak mau tahu lebih jauh, hanya ingin melihat matanya. Mata itu, aku seperti dibawa ke sebuah dunia dimana rumahku berada di tepi danau yang dikelilingi pohon pinus dan gemericik hujan di sore hari. Semua terasa sejuk, teduh, damai.

Antonio masih khusyuk dengan rokok dan kopinya, sesekali ia melempar pandang pada keramaian yang tercipta di rumah makan ini. Pak sopir sudah masuk kembali ke bis. Pengumuman didengungkan, kami semua masuk dan bis kembali berlari menuju Jepara. Aku masih setia, tak mau berpaling. Beberapa kali aku kepergok tengah melihat lelaki bermata teduh itu, ia hanya melempar senyum, aku tangkap dengan senyum juga. Antonio masih melihat keluar melaui jendela, lalu terlelap.

Hiruk pikuk terminal Jepara yang terletak tidak begitu jauh dari pantai Kartini membuat malam begitu bergairah. Orang hilir mudik dengan barang bawaannya yang kebanyakan lebih dari satu tas. Mungkin sebagian besar dari para penumpang—yang tadi ada di bis—akan ke Karimun Jawa, sebuah objek wisata yang sangat indah. Antonio masih kusut karena baru terbangun dari tidurnya. Sementara lelaki bermata teduh itu kini hilang dalam kerumun. Itulah pertemuan singkatku dengan sesosok manusia yang mengantarku pada masa-masa kecil, pada sebuah kampung di selatan Pasuruan, sebelum akhirnya aku dibawa pamanku—seorang pencopet ulung—ke Jakarta, lalu ditemukan menggigil di jalanan oleh Antonio.

“Ron, kita cari penginapan dulu lah. Capek nih.” Matanya yang masih sedikit terlipat berjalan sempoyongan.
“oke-oke, aku ada penginapan langganan Ton, di dekat pantai Kartini. Enak disana, pemandangannya kalau malam cukup bagus.”
**

“ton, ayo bangun. Kita sarapan di pinggir pantai. Asik nih sambil liat sisa-sisa sunrise.”
“engga ah, aku pesen dari kamar aja. Males keluar. Oh ya, sekalian aku titip rokok ya Ron.”

Aku melangkahkan kaki keluar, hanya memakai celana pendek dan kaos oblong, menikmati roti isi dengan segelas kopi di pagi hari, beratapkan langit pantai Kartini. Ah bukan perjalanan yang buruk. Telepon genggamku berdering, sebuah dering untuk pesan yang masuk ke email. Dari teman lamaku di Surabaya, ia tahu aku sedang di Jepara dan meminta aku untuk mengunjunginya di Surabaya. Ada bisnis besar, katanya. Segera aku membalas dengan persetujuaan tanpa pikir panjang. Bagi orang kota sepertiku, tidak mungkin ada kata tidak untuk sebuah kesempatan bisnis. Untuk sebuah kesempatan mampu membeli mobil baru, atau paling tidak sebuah televisi baru. Aku kembali ke kamar, mengganti pakaian dan merapikan ransel.

“Ton, aku lanjut ke Surabaya ya. Si Boni tadi ngirim email. Ada peluang bisnis nih. Lumayan, siapa tau menjanjikan.”
“tiga hari lagi kita ketemu di sini ya. Oh ya, mana rokok? Asem nih.”
“aaah, lupa Ton…”
“dasar, giliran udah urusan duit aja lupa ama temen. Yaudah gih, hati-hati di jalan ya. Salam buat anak-anak sana!”

Aku meninggalkan penginapan dengan sebungkus harapan pada Surabaya. Langit Jepara masih bersahabat untuk pejalan kaki, aku berjalan menyusuri trotoar butut menuju terminal, membeli satu tiket menuju terminal Bungurasih, Surabaya—yang terkenal sebagai terminal paling padat itu.
Jakarta semakin jauh, tertinggal di belakang bersama tumpukan pekerjaanku yang belum selesai.
**

Aku merasa harus menghubungi Desy, sekadar menemaniku ke Karimun Jawa beberapa hari ini. Aku ingin berkemah disana, menyewa Landrover untuk menjilat seluruh pesisir pulau Menjangan. Aku ingin merasakan liburan yang benar-benar bebas. Denyut Jakarta yang melahirkanku, aku dilahirkan untuk membenci rahim itu. Boleh juga kan sesekali lepas dari kutukan itu?

Roni sudah sampai di kontrakan temannya, tadi ia mengirim pesan untukku.
Senja yang keemasan hadir di pesisir pantai Kartini, sebagian sinarnya menyinari kamar, mendesak masuk melalui jendela bagian atas. Sinar keemasan itu memilih bersetubuh dengan meja di kamar ini, membuntingi sepi yang menjadi begitu purba bagiku, si anak kandung urban.

Arloji Rolex di lengan kiriku menunjukan pukul 6 sore. Pintu kamar diketuk, aku melangkah menggapainya dengan sempoyongan. Hari ini aku belum keluar kamar, menikmati malas yang biasanya tak boleh hadir. Kubuka daun pintu, yang nampak adalah sosok perempuan kecil berambut sebahu yang diurai berantakan, mengenakan kaos putih polos dan celana jeans ketat. Kaki mungilnya dibalut sepatu Karrimor yang aku pikir sudah lebih dari dua bulan tidak dicuci. Ransel Eiger bersandar di pundak mungilnya. Ah Desy, kamu selalu cantik dan menggemaskan.

“Permisi, apa ini benar kamar yang ditempati penulis terkenal itu? Seorang bankir murtad yang menulis untuk membebaskan jiwanya?” ia tersenyum.
“Maaf mba, apa saya terlihat seperti penulis?”
“hmmmmm tidak”
“kalau begitu saya bukan penulis. Apa saya terlihat seperti seorang bankir muda yang sukses?”
“tidak juga” ia mulai memainkan rambut yang berantakan itu. Menggemaskan!
“berarti saya bukan seorang penulis dan sekaligus bankir muda yang sukses.”
“hhmmmm ya ya ya, anda terlihat seperti seorang pria paruh baya yang sedang kacau. Dari tampangnya sih, anda mungkin seorang bajingan yang memiliki banyak perempuan di berbagai kota.”
Hahahha kami berdua tertawa lepas.

“Antooooonn, kangeeeennn…” ia lompat memelukku, erat.
“Kamu kemana aja sih, semenjak lulus gak pernah main ke Jogja lagi. Udah banyak duit di Jakarta lupa Jogja deh. Huuuh.” Kamu semakin menggemaskan ketika menggerutu seperti itu, batinku.
“ia Des, aku sibuk cari uang. Hahahha”
“dasar, cemen! Nih udah aku beliin tiket ferry buat nyebrang besok pagi. Jam 7 udah bangun ya!”
“ok, gampang. Eh Des, kamu ga pesen satu kamar lagi? Masa mau tidur berdua? Ga takut diperkosa seorang bajingan niiih? Hahhaa” mendadak aku menemukan keceriaanku yang telah lama hilang. Ah Diana, semoga kamu bahagia dengan perahu kertas kita di dunia yang entah itu. Semoga.
“diiiih, Lu bukan selera gua kaleee… Lagian dari dulu kita sering tidur bareng dan gak pernah ada apa-apa. Di sekre lah, di gunung lah, di penginapan-penginapan murah lah, jijik banget sih loe sekarang!” kamu manyun. Tetap seperti dulu.
“hahaha iya iya, bercanda. Aku tidur di sofa aja deh.”
“selamat malam..”

Lampu dipadamkan, aku belum mau menutup mata. Hanya menghirup udara di ruangan ini yang mendadak begitu segar. Begitu mekar.
**

"Senja di Pelabuhan" diambil dari sini


Bunyi lonceng KMP Muria yang akan membawa kami ke Menjangan Besar sudah mengudara dengan gagah. Sedikit bising untuk pelabuhan sekecil ini. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam menyebrangi lautan biru, Fery akhirnya merapat. Kami turun dengan raut muka yang tak pernah bisa lepas dari batas horison, ingin rasanya titik batas itu runtuh. Sebab apa yang nampak selalu tidak cukup bagi mataku, mata yang sehari-harinya hanya melihat monitor dengan angka dan grafik yang membuat kepala pusing. Aku ingin berlari menuju tepi pulau ini lalu merasakan ombak menghantam tubuh lelahku. Aku ingin duduk malas di bawah pohon kelapa sambil menikmati senja yang perlahan menghilang. Aku ingin bercinta dengan Diana di semak-semak terdalam pulau ini, lalu memanjat pohon kelapa dan meminumnya bersama. Aku ingin.

Desy masih mengurus keperluan di bungalow tempat kami akan menghabiskan beberapa hari. Tidak ada kemah, juga Landrover. Mimpi orang kota yang selalu haus akan eksotisme alam. Setelah semua beres, kami istirahat sebentar di beranda sambil menunggu Pak Karim menjemput dengan perahu nelayannya. Kami akan berkeliling ke beberapa pulau kecil di sekitar sini, bermain dengan hiu di penangkaran, menikmati biota laut, lalu menyantap lobster di restoran terapung.

“den, mari kita berangkat. Anginnya lagi bagus buat keliling. Kalau kita berangkat dari sekarang, kemungkinan matahari tenggelam bisa dilihat dari restoran terapung itu den. Turis-turis suka sekali makan disana sambil melihat matahari tenggelam, sunset kalau kata orang kota, den.” Wajah riang yang dihiasi kretek itu menyapa kami dengan ramah.

“ayo des. Bawa kamera kan?”
“nah kan, Jakarta. Udah nikmati aja pemandangannya. Tak usah lah kau potong-potong itu panorama kedalam gambar.”
“iya-iyaaa” jawabku gemas. Aku sendiri heran, bukan hanya Desy. Mungkin ia merasa sudah tidak bersama Antonio yang tiga tahun lalu. Pekerjaan sialan!
“Pak Karim, nanti kita mampir di Menjangan kecil dulu ya. Saya pengen trekking, jalan-jalan ke dalam pulau gitu pak. Bapak bisa antar?”
“bisa den, aden udah bawa peralatannya?”
“udah pak, saya udah siapkan semuanya. Panggil saya Anton aja ya Pak, teman saya yang ini Desy namanya pak.”
“iya den…” jawabnya sambil tetap tersenyum

Sepanjang perjalanan, aku terus memburu Pak Karim dengan segerombol pertanyaan khas anak kota. Desy hanya senyum-senyum sambil menikmati Marlboronya. Menghembuskan asap itu bersama pandangannya yang entah menuju kemana. Mungkin pada momen-momen sedih dalam hidupnya. Nyala mata indah itu kini berubah lirih. Menyimpan gelora yang sebentar hidup sebentar padam. Jujur, kamu semakin cantik dengan mata yang menatap nanar itu Des, batinku.

Sebelum aku tertarik pada Diana dan perahu kertasnya, aku memang menyimpan ketertarikan padanya, sejak dulu. Meskipun ketertarikan itu tidak pernah mewujud dalam apa-apa, sebab aku tahu betul, perempuan ini lebih mengasyikan dipandang dengan sebuah jarak yang melahirkan debar-debar aneh, desir yang selalu mengerayangi punggungku malu-malu. Terlebih lagi aku memang tidak pernah mau jatuh cinta pada siapapun, tak mau bersetia pada apapun. Tidak, cukup sudah pada Diana dan perahu kertas yang pergi entah kemana.

“Den, bapak kadang-kadang suka aneh dengan orang-orang kota. Mereka datang kesini menghabiskan jutaan uangnya, untuk kotor-kotoran di lumpur pulau bagian dalam, main pasir, melihat kehidupan di dasar laut, berjemur, dan makan ikan laut. Setiap tamu bapak selalu saja mengeluh den, seperti den Anton ini. Katanya kota begitu melelahkan. Tapi mereka tetap saja kembali lagi ke kota ya den.”
“iya pak, soalnya di kota itu sumber penghasilan kami Pak.” Jawabku malu.
“betul den, karena ada orang-orang kota seperti den Anton ini bapak tetap bisa ngasih makan keluarga selama 20 tahun. Tempat ini juga semakin hari semakin ramai den. Katanya gara-gara udah masuk internet. Ah bapak gak ngerti den.”
“wah bapak udah 20 tahun jadi pengantar tamu disini?
“oh bukan den, sehari-hari bapak kerjanya ya sebagai nelayan. Kalau tamu lagi rame, cuaca bagus, bapak nganter tamu. Itupun baru lima tahun belakangan ini. Ya semenjak masuk internet itu katanya den. Hebat juga bapak pikir, tamu jadi rame terus gara-gara internet. Bapak jadi bisa beli perahu baru den…” ia tertawa, simpul kecil di ujung bibirnya yang menghitam seolah mengisyaratkan rasa syukur yang begitu dalam pada hidup yang sudah banyak memberi. Pada hidup yang tak lelah mengasihi.

“Bapak pernah ke kota, Pak? Ke Jepara misalnya?” sambar Desy.
“pernah, tapi hanya sampai Jepara saja. Bapak gak betah. Katanya banyak orang jahat di kota. Lagipula bapak sudah betah dengan laut den. Bapak lahir di laut, mati pun kepengen di laut.”
“Nah itu daratannya den, siap-siap sebentar lagi kita turun” Pak Karim bergegas mengayuh sampannya, lalu mematikan mesin yang sedari tadi mendesing, membuat pekak telinga.

Kami turun dari perahu Pak Karim yang di cat hijau bertuliskan Urip Iku Urup, sebuah peribahasa jawa yang artinya kurang lebih: Hidup itu nyala, hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitarnya.
Sepanjang perjalanan masuk ke bagian dalam pulau, kami disuguhi pemandangan luarbiasa. Rimbun dan basah, bau tanah sehabis hujan yang bercampur lumut. Matahari tak mampu leluasa membanjiri sinar kedalaman pulau ini. Aku masih terus memikirkan peribahasa jawa yang terpampang di perahu Pak Karim. Urip Iku Urup…

“eh Des, kabarnya toko bukumu sudah maju ya. Udah ada dua pegawai. Walah, aku kangen temen-temen di Jogja Des. Sepulang dari sini, aku ikut ke Jogja ya.”
“boleh, syaratnya cuma satu. Kamu jadi donatur kegiatan-kegiatan komunitas kami. Hahahha” ia tertawa renyah. Uuuhh, renyah!
“kan seperti katamu, aku tidak nampak seperti seorang bankir muda yang sukses. Ngapain minta donasi pada pria paruh baya yang tampak kusut dan kacau, bajingan yang memiliki banyak perempuan. Hahahha” aku hanyut dalam kembang bibirnya.

Pak Karim masih dengan kreteknya, memandu jalan di depan sambil sesekali mengingatkan kami kalau ada lubang dalam dan bahaya-bahaya lainnya. Bahaya bagi anak kota!
Kami istirahat sejenak di salah satu batang pohon yang baru tumbang, mungkin baru semalam. Melegakan tenggorokan dengan air mineral yang kami bawa, tentu saja kami berbagi dengan Pak Karim, sekadar menunjukkan bahwa orang kota pun mau berbagi.

“Ton,” suaranya mendadak pelan, sorot matanya melemparkan sesuatu.
“kenapaaa? Donasi? Gampaaaang.” Aku tetap berusaha melakukan pertahanan sebelum ia melakukan serangan mendadak. Bahaya, pikirku. Ia mungkin sudah tahu kelemahanku.
“Tooon,,,”
“bukan itu, aku…” suaranya semakin pelan, berat, dan sedikit manja. Sorot matanya semakin dalam. Sial, ia sudah tahu kelemahanku. Ia sudah ada di jantung pertahanan, sekali menembak ke gawang, mampuslah aku.
“apa sih? Ayo kita berangkat lagi, keburu sore” untung aku punya pertahanan berlapis.
“Antonioooo, dengerin aku.”
“Kita sudah kenal begitu lama, awalnya aku tidak pernah merasakan sesuatu yang istimewa darimu. Kamu hanya teman baikku. Tapiiii….” Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, jantungku sudah berdetak berpuluh kali lipat lebih kencang dari biasanya. Ini bukan Jakarta, tapi badanku penuh keringat. Ah sial, kamu semakin cantik dengan caramu menatapku. Tatapan yang belum pernah aku rasakan darimu, tatapan yang tidak aku inginkan. Aku ingin jarak, aku ingin tetap menjaga desir yang menggerayangi punggungku kala kita bertemu. Aku tidak ingin bersetia, ada cukup banyak alasan bagiku untuk tidak bersetia pada apapun, pada siapapun.

“Tapi aku merasa sangat nyaman Ton, aku sangat penuh saat bersamamu. Aku ingiiin…” ia memelukku, erat. Ia menatapku dari jarak yang sangat dekat, air matanya menetes. Oh Tuhan, tolong. Ia mencium keningku, sambil tetap memeluk erat pinggangku. Semakin erat. Air matanya mengalir deras. Aku tidak tahu rasa apa yang ada dibaliknya, juga rasa yang ada pada diriku.

Senja keemasan akhirnya berhasil merangsek masuk disela-sela pepohonan, memilih kami berdua yang sedang bersitatap. Wajahmu, dipilih senja. Punggungku. Kita dipilin senja keemasan, menuju dunia yang selalu tidak pernah akrab untuk dibiarkan sepi sendiri di dalam hati.

Aku masih tidak mengerti apa yang ada dibalik rasa ini. Ah manusia memang selalu mencari alasan dibalik suatu peristiwa dan aku hampir selalu tidak pernah menemukan alasan final atas sebuah peristiwa yang terjadi. Oleh sebab itu aku tidak pernah mau bersetia.

“Aku juga begitu, Des… bersamamu.” Astaga, aku mengucapkan itu. Itu berarti? Kamu memelukku semakin erat, air matamu kini membasahi punggungku, merayap turun hingga pinggang. Kamu kembali menatapku dalam-dalam, memasuki dunia sepiku yang sudah lama tak kubiarkan ada yang mengetuknya. Seperti Diana, tapi kamu memiliki daya tatap yang lebih besar, sorot yang dalam. Pertahananku ambruk seketika. Semburat jingga tumpah, membanjiri mega-mega.
**

Satu jam kemudian, kami sudah kembali di bibir pantai dengan tangan yang berpegangan. Serta senyum tipis menyungging di masing-masing bibir kami.
“langsung pulang ke penginapan aja ya pak. Kami sudah lapar.”
“iya den, lagipula sudah terlalu sore dan angin mulai kencang. Kita terlalu lama di dalam.”
Sesampainya di Menjangan Besar, kami memesan dua kursi untuk menyantap hidangan laut. Tentu dengan mega-mega yang sedari tadi sudah ditumpahi semburat jingga. Musik mengalun pelan, kami hanyut dalam suasana senja itu. Hingga aku lupa dengan rasa lobster saus kecap yang paling aku sukai melebihi apapun di dunia ini.

Telepon genggamku berdering, nomor dari Jakarta. Aku permisi sebentar untuk menerima telepon. Suara di sebrang menyerangku tanpa ampun, bicara tak kenal lelah. Sempat ku lihat Desy yang duduk sendiri menghadap laut lepas berlatar langit keemasan, ia tersenyum. Aduuuuh, manis sekali.

“gimana? Kamu bisa ke kantor besok siang?!” sambungan diputus tanpa menunggu jawaban dariku. Selalu, semenjak efektivitas dan produktivitas di dengungkan setiap hari sebagai mantra-mantra di telingaku, aku tidak pernah bisa mempunyai waktuku sendiri. Selalu hanya sebentar, sambil lalu. Hanya peregangan otot untuk kembali bekerja, mengabdi pada kapital.

Aku kembali menghampirimu, senyummu semakin merekah. Namum telepon kembali berdering sebelum aku sampai di kursi, nomor lain , dari Jakarta lagi.

“Toooon, kamu kemana sih? Kamu pergi gitu aja… aku kangeeeenn Antoooonnn..” suara manja itu serempak dengan gemuruh ombak, memecahkan seluruh ingatanku. Aku lupa pada perempuan di Jakarta sana. Aku kembali jatuh ke dalam deras sungai yang sama.

Sial! Telepon genggam dibanting. Aku berlari sekuat tenanga, menggapai pantai, menikam ombak. Berlari, hanya berlari.

"Senja di KarimunJawa" foto oleh Diana Suciawati


Sebab semenjak efektivitas dan produktivitas di dengungkan setiap hari sebagai mantra-mantra di telingaku. Semenjak luka yang membentuk sebongkah mahluk bernama galau dalam diriku. Aku harus terus berlari, terus berlari, berharap gelombang kegalauan itu akan surut, tertinggal di pantai lalu.

Desy hanya memicingkan mata, menggelengkan kepala.
Antonio, Antonio, kamu masih kacau seperti dulu…
***


Jatinangor, masih dicuri sepotong malam
19 Maret, 2012
ARF

KLAB BACA: Johnny Mushroom dan Cerita Lainnya


posted by Unknown on ,

No comments


Gambar diambil dari sini

Rabu sore ini ada yang berbeda di meja beranda tobucil. Sore yang biasanya hanya dihadiri oleh para ‘pembaca’ dan ‘penikmat’ karya, hari ini klab baca berkesempatan berbincang langsung dengan penulisnya. Zaky Yamani, seorang wartawan Pikiran Rakyat yang mendapatkan gelar Master of Art and Journalism dari Ateneo de Manila University, Filipina pada tahun 2008 yang lalu.

Sesuai dengan tema bulan Maret sebagai bulan baca absurditas, pada kesempatan pertama, cerpen berjudul Insomnia Bersama Johnny Walker yang dilanjut dengan Saturday Night’s Lullaby dibacai bersama-sama dengan cara ‘membaca nyaring’—suatu kebiasaan membaca yang sudah jarang, bahkan mulai ditinggalkan para pembaca—satu persatu diantara yang hadir sore itu. Disela-sela proses membaca, kita seringkali tersenyum tipis, tertawa malu, hingga terbahak-bahak sebab tidak bisa menahan rasa yang didapat ketika membaca. Tidak jarang juga kita menemui sejenis tawa yang lain, sebentuk cara menertawakan diri sendiri melalui tokoh dalam kumpulan cerpen ini. Sebuah cerpen yang tanpa pretensi apapun dalam penulisannya, bertutur ringan, dan menampakkan fenomena urban sebagaimana adanya.

“Hanya serupa upaya pemetaan antropologis masyarakat urban pada suatu masa, tidak ada tendensi mengajarkan apalagi berpesan hal-ihwal moral” sambar Tarlen ketika Zaky menjelaskan latar belakang peristiwa yang membidani lahirnya kumpulan cerpen ini. Ada yang menarik dalam penjelasan Zaky mengenai Insomnia Bersama Johnny Walker, tulisan itu dibuatnya ketika ia hangover sehabis meminum si Johnny di kamarnya, sendiri. Ia baru sadar ketika terjaga paginya dan melihat di layar laptop sudah ada beberapa paragraf. Tidak ada proses editing, paling-paling hanya membetulkan ‘selip kata’. “Psikedelik banget lah!” tambah Tarlen.

“Saya pikir, kumpulan cerpen ini bisa hadir seperti ini tidak lepas dari pergaulan saya dengan teman-teman. Keseharian saya. Sebab, jika saya—atau para pembaca—cermati kembali, seluruh cerpen dalam Johnny Mushroom adalah ekstraksi keseharian yang mengendap.” Zaky menjelaskan maksudnya. Mungkin, bagi para pembaca yang selalu menantikan ‘hikmah’, pesan moral, narasi besar, atau embel-embel fiksi lainnya—yang seringkali dianggap wajib ada dalam setiap cerita—akan kecewa dan segera meremehkan ‘daya magis’ Johnny Mushroom

Dalam kumpulan cerpen ini, Zaky memarkirkan dulu etika dan soal-soal moralitas pada tempatnya, lalu dengan mabuk ia mengendarai fenomena-fenomena urban, membawanya pada agora, tempat masyarakat berkumpul. Menunjukkan realitas yang seringkali terpinggirkan, terlipat oleh gempita sebuah komoditas kota.
Sebab realitas kadang lebih absurd dari cerita fiksi paling gelap seperti sisifus-nya Albert Camus sekalipun.
Pertemuan ditutup dengan quote pembuka dalam buku Johnny Mushroom, kami membacanya dengan kepala yang mulai limbung, mabuk.

“Taukah kau dimana kita hidup?” tanya seorang kakek kepada cucunya. Si cucu menggelengkan kepala. Dia tak paham maksud pertanyaan itu. Si kakek memberikan jawaban, “Ditengah keramaian dunia yang mejadi akar dari segala kesepian kita.”  –Zaki Yamani


Yang menulis notulensi ini, sumpah! Tidak sedang mabuk atau dalam pengaruh mushroom. Hanya ditemani kopi dan Lucky Strike.

Azhar Rijal Fadlillah, 15 Maret 2012
-------------------------------------

*KLAB BACA pertemuan selanjutnya masih akan membicarakan karya-karya bertema serupa, sementara ini pilihan masih condong ke tulisan-tulisan di majalah aktuil.
*Mengenai proyek ‘tulisan berantai’, deadline nya per-satu minggu ya. Minggu pertama Stefanus Ping Setiadi yang mendapat mandat untuk membuka cerita. Selamat menyelami bangkai ingatan yang menyerupai karya fiksi.
Sampai bertemu dua minggu lagi.

Larung Perahu Kertas


posted by Unknown on

No comments

Ada banyak peristiwa yang terjadi dalam ruang tunggu yang begitu besar ini. Bahkan terlalu besar bagi perempuan mungil sepertiku. Tidak begitu banyak juga yang bisa kulakukan dalam penantian panjang ini, aku asing di kota kecil yang memiliki satu terminal tua, satu stasiun, dan satu pelabuhan di pesisir selatan kota ini. Aku juga tidak memiliki banyak teman di kota ini, hanya ada satu, teman semasa kecilku, teman ketika kita berdua menghabiskan senja di sungai belakang kampung dengan membuat perahu-perahu kertas, lalu menghanyutkannya bersama deras air yang entah menuju ke muara yang mana.


Gambar diambil dari sini

Antonio, setahuku kamu sekarang sudah merantau ke kota, sebuah kota besar yang bisa diukur dengan salah satu indikatornya: kriminalitas. Kamu kuliah di jurusan filsafat. Ah, entah apa lagi mainanmu sekarang. Apa juga itu filsafat, aku tidak tahu pasti, hanya saja dari televisi, aku sering melihat orang berbicara tentang filosofi. Mulai dari filosofi hidup bersahaja, filosofi bermain sepakbola, hingga di salah satu rak buku teman kontrakanku ada buku berjudul filosofi kopi. Lalu apa yang kamu lakukan di kampus bersama profesor-profesor beruban itu? Akan jadi apa kamu? Aku tidak habis pikir, akan kerja apa setelah lulus nanti. Kenapa tidak kuliah di jurusan akuntansi, kedokteran, hukum, atau manajemen saja? Dasar Antonio, dari dulu kamu tidak pernah berubah.

Derit roda kereta beradu dengan rel yang sudah renta dimakan usia sesekali memecah hening. Angin bulan Maret, ah ia selalu mengantarkan dingin yang menusuk hingga sumsum tulang belakangku. Apalagi bagi perempuan kecil sepertiku. Aku masih duduk di bangku peron yang lengang. Hanya sesekali orang berlalu, beberapa memicingkan mata, menandai sesuatu yang asing barangkali. Perempuan, memegang sebotol Heineken dan mengapit sebatang Country mungkin memang asing bagi kota sekecil ini. Apalagi tengah malam dan sendiri, disampingnya hanya ditemani ransel yang aku sulap menjadi rumah keduaku.

Aku masih terduduk. Masih belum bundar niatku, akan pergi kemana malam ini. Di kota ini, kota yang selalu menyergapku dengan badai kenangan purba, aku menekuri sejarah pernah begitu kejam pada seikat kebahagiaan kecil bernama keluarga. Ibu bapakku habis ditelan rimba. Pada suatu pagi ketika aku hendak berangkat mengenakan seragam merah-putih dengan ingus bergelantungan, mereka dijemput truk dengan paman-paman berseragam yang membawa pentungan dan senapan. Aku hanya ingat ucapan terakhir mereka “Diana, pulangnya ke rumah paman Lukas ya. Ibu sama bapak mau ke kota dulu.” Semenjak saat itu, ingatanku selalu berupaya membenci truk, seragam, dan kota.


Antonio, apakah kamu masih ingat hari itu? ketika pulang sekolah dijemput oleh paman Lukas, kamu juga ikut menginap dan menetap di rumahnya. Lalu hari-hari kita tidak pernah luput dari permainan-permainan nakal di belakang rumah. Banyak keonaran kita yang membuat seisi kampung geger. Atau kamu sudah lupa? Seperti buku-buku sejarah anak sekolahan yang seringkali lupa mencantumkan peristiwa-peristiwa seperti itu? Antonio, mendadak aku begitu rindu kenakalanmu. Seringai tipis yang bergelayut di raut wajahmu setiap kali melempari kaca Pak Ahmad dengan buah tomat. Aku dengar-dengar kamu juga sekarang masih menjadi pelempar yang tangguh ya? Kamu melempari gedung-gedung di kota dan beradu mulut bahkan otot dengan para petugas berseragam itu. Tentu saja bukan dengan tomat segar lagi kan? Bukankah di kota sulit sekali menemukan tomat langsung dari tangkainya? Ah Antonio, dimana kamu? Bagaimana kabarmu? Apakah janggut dan kumismu—yang sedari dulu selalu kamu impikan—sudah tumbuh? Aku rindu. Tak tahu harus berpulang kemana, selain sejarah yang kita pintal berdua di sepanjang aliran sungai yang kini sudah mulai mengering. Kota ini sudah tak seindah dulu dan kamu masih juga belum memberi isyarat kita akan bertemu.

Malam masih gelap dan angin bulan Maret belum juga jinak pada tubuh kecilku.
“Masih setia dengan Country?”

Suhu tubuhku mendadak panas, angin bulan Maret segera bersembunyi dibalik toilet peron. Malam menjadi begitu gempita dengan gemuruh kecil suara-suara yang tiba-tiba menjadi terdengar. Ruang tunggu yang tadinya terasa sangat besar tiba-tiba menjadi terlalu kecil untuk menampung semua kelibat kenangan. Segerombolan pasukan rindu. Aku hapal betul suara ini—suara yang terakhir kudengar setahun yang lalu melalui gagang telepon umum di stasiun kecil kota sebelah, aku sangat akrab dengan bau parfum Aqua Bvlgari ini. Selalu, bagiku nama, wajah, dan gerak-gerik bisa dengan mudah lupa. Tapi bau parfum yang bercampur aroma tubuh seseorang tidak pernah bisa, selalu membekas. Menempati sebagian ruang dalam diri bernama ingatan.

Segera sepasukan kenangan menyergap tanpa aba-aba. Bayangan tentang seragam merah-putih, sungai, perahu kertas, tomat. Seragam putih-biru, rokok, playstation, upacara bendera sialan. Seragam putih-abu, bir, film panas, kafe-kafe, bukit, sungai yang sama, dan tentu saja kisah cinta pertama kita di atas ranjang yang berderit—di rumah kosong yang ditinggalkan Pak Ahmad.

“Kamu juga masih setia dengan pisau lipat victorinox yang selalu menggantung di sakumu itu”

Setahun yang lalu, percakapan terakhir melalui gagang telepon yang aku ingat hanya restumu untuk merantau, entah kemana, karena sambungan segera terputus tanpa sebab yang jelas. Lalu kamu menghilang tak jelas kabarnya. Kamu selalu meninggalkan sebentuk lubang dalam diriku berupa ketidakjelasan. Itu yang paling aku benci dan cintai dari kamu, Antonio!

Kamu tidak pernah jelas dalam hal apapun. Sulit didefinisikan, sulit membacamu. Selalu yang kudapati hanya serangkaian kalimat tak terbaca, paragraf pincang tanpa makna. Sebuah wacana tanpa pretensi apapun. Sebuah perjalanan tanpa tujuan. Mungkin hidupmu sudah cukup, begitu penuh dengan hanya bernafas. Ya, bernafas dengan segala daya hidupmu yang besar itu.

Kemudian percakapan di peron menjadi semakin tak tentu arahnya, seperti hidupmu. Semua momen yang bergerak lambat kembali hadir disini, melalui Aqua Bvlgari yang bercampur dengan aroma tubuhmu. Menghasilkan suatu paduan sempurna, menggambarkan peta perjalanan pada punggungmu—yang aku yakin tidak pernah mudah. Tentu saja disela-sela itu kita berpelukan dan saling berpagut, aroma cengkehmu ada pada nafasku.

Malam sudah sembunyi dibalik pintu, begitu juga angin bulan Maret yang kian malu menampakan wajahnya kembali. Peron mulai disibukan dengan segala aktivitas pagi yang selalu bergegas, entah untuk apa mereka semua berlari, mengejar waktu yang sebenarnya tak pernah lebih cepat dari bayangmu. Dan ruang yang tak pernah lebih luas dari sebuah peron, sebuah penantian.
**

Gambar diambil dari sini

Aku memutuskan untuk lebih lama tinggal di kota kecil ini, kini sudah bundar. Semata-mata hanya ingin menelusuri jalan-jalan yang berkerak debu, sungai-sungai yang tak sederas dulu, dan perahu kertas yang kini selalu berlari berkejaran dengan sampah plastik hitam. Tentu saja denganmu, Antonio.

“lebih baik kita makan dulu di kedai itu Na. kata temanku, bubur ayam disana enak.”
“kalau kata temanku, salahsatu (bekas) penghuni kota ini yang enak dan lebih enak dinikmati di penginapan itu, Ton.” Ia tertawa, atau lebih tepatnya menyeringai dengan mimik khasnya yang aku sendiri sebal sekaligus nyandu. Lalu kita makan bubur dan segera merapat ke penginapan tua di salahsatu sudut kota. Ia bercerita banyak hal padaku, tentang kota, gedung-gedung, demonstrasi, buku, film, perjalanan, teman-teman barunya, dan tentu saja kuliahnya di jurusan filsafat—yang sumpah mati untuk satu hal ini aku tidak mengerti dan tidak mau mengerti.

Hari-hari kita menjelma kisah sejarah masa lalu yang belum tunai digenapi, yang menyisakan rongga pada carik-carik kenangan. Kita menutupnya, kita menggenapi dengan patahan-patahan cerita yang sempat hilang di kota satu terminal tua, satu stasiun, dan satu pelabuhan ini. Sebelum akhirnya perpisahan itu harus datang kembali. Suatu pagi di kedai kopi dekat penginapan, kita memesan dua cangkir kopi tubruk arabika lampung, ditemani musik The Krogis, Everybody’s Got To Learn Sometimes yang melantun pelan melatarbelakangi kotak warna-warni yang sengaja di mute. Telepon genggam Antonio berdering mematahkan lirik lagu itu, sekaligus mematahkan sisa-sisa harapku. Ia harus kembali ke kotanya, ada urusan genting di dalam organisasinya. Pagi itu juga ia segera bergegas menuju stasiun dimana kita bertemu. Punggung lapang itu, ah Antonio. Ia menghilang bersama deru kereta, derit roda, dan angin bulan Maret yang kembali menyayat kulit-kulit punggungku, merangsek hingga rusuk belakangku.

Aku kembali asing, duduk di ruang tunggu dengan asap country dan sebotol heineken. Juga ‘rumahku’ yang paling bersetia menemani jejak-jejak langkah. Aku kembali diselimuti malam, digauli dengung purba tentang cinta yang tak pernah tunai. Mendengung dan berpuing. Kembali dibiarkan sunyi di dalam.

Ada banyak peristiwa dalam ruang tunggu yang begitu besar ini. Cukup banyak juga momen-momen yang bergerak lambat. Kadang singgah, kadang hanya melintas. Namun diantaranya kamu selalu mencatat. Aku menyusun dirimu, kamu membuat komposisi hidupku. Menandai begitu banyak peristiwa yang menyusun kesendirian dari masing-masing kita. Semuanya berpilin menjadi puing-puing yang berserak di berbagi kota yang kita singgahi.
**

Kamu masih tetap seperti dulu Antonio, hari ini angin bulan Maret sudah tidak mengepungku. Karena hari ini sudah Januari, Januari di tahun yang baru. Hampir setahun yang lalu terakhir kita bertemu di stasiun sebuah kota dengan sungai yang sudah tak sederas dulu. Di kedai kopi dengan lagu Everybody’s Got To Learn Sometimes, kamu pergi dan hingga kini tak ada kabar. Untung saja aku sempat menyimpan alamat emailmu, karena kamu tidak pernah mau dihubungi lewat telepon genggam. Aku dikepung rindu yang sudah meluber ke seluruh ruang ini, Antonio. Kemana lagi kamu Aqua Bvlgari?

Kutulis email untukmu, Antonio. Semoga kamu selalu diberkati dengan nafas yang tetap menyimpan daya hidup yang besar itu. Semoga.

“…kini aku mungkin tak punya semangat lagi untuk melanjutkan kebahagiaanku, sungai itu sudah hampir benar-benar kering. Aku sudah tak bisa mengalirkan perahu kertas, keresek hitam sudah terlalu banyak, volume airnya semakin sedikit. Entah lari kemana air itu, aku tidak mengerti. Senja ini aku akan mencoba mendatanginya sekali lagi, membuat dua perahu kertas, yang satu kutulis atas nama mu. Tolong hubungi aku sekali saja, Antonio, telepon aku! Aku ingin mendengar suaramu agar perahu ini bisa sampai di muara yang entah dengan daya hidup yang besar sepertimu” (dari: diana_pincang@yahoo.com)

“Perjalanan kita mungkin akan terhenti di stasiun berikutnya. Di suatu tempat yang benar-benar asing bagi kita. Kemudian tubuh kita tercerai berai, menguap ke seluruh sudut penantian, bergumul dengan mereka yang terduduk menanti. Kita mencatat, menyusun, memberi arti, lalu kemudian mati… Aku segera menghubungimu, Diana. Senja ini, mengantar perahu kita menuju muara segala semesta.” (dari: antonio47@gmail.com)

Aku melangkahkan kaki menuju sungai itu. Senja ini, senja keemasan di langit. Terdengar angin membisikan berita dari sebuah kota. Antonio, kamu begitu terasa dekat ketika aku berada di sungai ini. Sungguh jika hidup adalah sebentuk penantian berupa ruang tunggu, kamu merupakan ruang tunggu yang cukup nyaman untuk ditinggali.

Meskipun kini airnya sudah sejengkal. Aku membuat perahu kertas berwarna coklat untukmu, warna kesukaanmu. Dan hitam untuk perahuku. Kutuliskan namamu di perahu itu. Angin semakin kencang ketika telepon genggamku bergetar. Nomor tak dikenal, suara itu! Antonio!

ah, perahu kertas itu...
Angin bertambah kencang, membuat suara di sambungan telepon tak terdengar jelas. Aku hanya mampu mendengar suaramu “aku akan mengunjungimu besok, dikotamu…” kemudian sambungan terputus dan aku terpeleset bersama perahu kita. Badanku terpelanting diantara ranting, semak, dan bebatuan.

Sungai menjadi kemerahan, perahu kita pergi entah ke muara yang mana.
Entah.
***


Jatinangor, Ditemani kopi hitam dan Lucky Strike,
14 Maret 2012
ARF

Antonio dan Sepotong Kepala


posted by Unknown on

No comments


Hari ini hari sabtu, hari ke tiga di bulan Desember. Sabtu pagi pukul 06.00


Embun mulai luruh oleh matahari yang tersumbul malu-malu diantara ranting pohon oak, sementara sisa gigil semalam telah berganti mekarnya teratai violet. Bangun pagi—setidaknya bagiku—merupakan suatu kegiatan yang paling sulit kulakukan, yang jarang dan sesekali. Hanya jika ada kegiatan penting yang harus kulakukan saja aku mau untuk bangun sepagi ini. Sabtu ini juga tentu saja sabtu yang besar dan akan menjadi sabtu yang bersejarah. Aku teringat V for Vendeta: “Remember, remember, on the fifth november…”  yang kemudian aku ganti menjadi “ingat, ingat, ini tiga Desember…”. Sabtu ini mungkin saja menjadi sabtu yang mengubah hidupku. Untuk selamanya. Aku siap, apapun resikonya!

Sambil menunggu air panas untuk secangkir kopi, aku mandi dulu. Sambil menyanyi tentunya. You Gotta be Wrong Sometimes dari O.A.R:

We got more than a lifetime, To make it all feel right.
So don’t apologize, You gotta be wrong sometimes.
We got more than a lifetime, To live inside these lines, We were right all along.
You gotta be wrong, Gotta be wrong sometimes.

Badan sudah segar, kopi siap, rokok kusulut, hey bagus juga sepertinya bangun pagi. Hey, selamat pagi Indonesia!

Segera aku bergegas mempersiapkan apa saja yang harus dibawa dan apa saja yang belum ada untuk sejarah besar nanti malam, momen penting bagiku, momen yang hanya datang sekali. Yang pertama dan aku ingin yang terakhir kalinya juga. Hanya sekali dalam hidup. Antonio sudah ada disini sejak aku mandi dan sarapan, sengaja ia menunggu di halaman agar aku tidak tahu bahwa ia sudah menunggu. Ia begitu tahu, aku paling tidak suka dikejar waktu. . Kami pergi menggunakan landrover tua yang sudah jarang dipakai, milik pakde yang dulunya anggota Wanadri. Sikuning, begitu aku menyebutnya yang sehari-hari hanya ngendon saja di halaman, paling-paling seminggu sekali pakde memanaskan mesinnya sekaligus mengisi bensin, ngasih minum dan ngajak jalan-jalan sikuning, kata pakde.

Deru mesin tua itu mulai terdengar kasar, Antonio yang memegang kemudi, aku duduk disampingnya sambil menyulut sebatang Lucky Strike merah kesukaanku. Mobil melaju kencang ditemani teriakan Marc Roberge, seorang vokalis O.A.R yang suaranya agak serak-berat. Dakota, Irish Rose, Heaven, mengiringi kami menuruni bukit-bukit sebelah utara kota Jogja. Disela-sela itu, aku menekuri horison yang terbentang bebas didepan mataku, betapa hidup ini begitu sempit pada mata dan terlalu luas pada hidup itu sendiri. Betapa mata manusia selalu terbatas pada horison, pada titik nadir, pada keluasan perspektif, pada emosi tertentu. Ah manusia, apalagi yang bisa dilakukannya selain bersetia pada apa yang ia anggap benar? Sekalipun ternyata itu sebuah kesalahan dan membawa petaka seumur hidup. Ah manusia, apalagi yang mampu dikerjakannya tanpa sebuah kesetiaan dan keberanian? Aku rasa tidak ada.

“kita mampir ke Kaliurang dulu ya, ada temanku disana yang udah nunggu, nanti dia yang antar kita ke penjualnya” Antonio memotong lamunanku.
“oke, sekalian mampir di warung dulu deh, aku mau beli rokok, udah abis nih”

Antonio adalah jenis anak muda yang tidak banyak berpikir, baginya cukup sekali saja memikirkan apapun. Ia lebih suka lincah bergerak, apapun resikonya dia selalu bisa terima. Sikuning pun dipaksa berlari sekuat tenaga, lagi-lagi ia tidak memikirkan dan peduli akan resiko masuk jurang atau menabrak truk dari arah berlawanan. Baginya, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan sunyi dalam pikiran. Semua harus menjadi gerak, apapun resikonya.

Antonio adalah seorang alumnus Fakultas Filsafat UGM, kakak tingkatku, tiga tahun diatas. Meskipun begitu, aku tidak kenal dengannya semasa kuliah dulu. Aku kenal Antonio ketika melakukan perjalanan ke Surabaya, ketika aku bertandang ke sebuah pameran yang kebetulan dia panitianya. Sehari-harinya ia berjualan jamu di kios dekat kontrakannya. Jamu, ya jamu sebagai tampak depan, dibalik itu semua, ganja, shabu, dan segala jenis narkotika tersedia. Disamping pekerjaannya menjual ‘jamu’, ia juga bekerja sambilan sebagai ‘malaikat maut’. Sampai saat ini masih tinggal di Surabaya dengan beberapa kawannya, mengontrak sebuah rumah kumuh di gang kecil pinggiran kota. Sejak pertemuan pertama kami, aku sudah bisa membaca Antonio dari gerak-geriknya, dari cara berpakaian yang serampangan, dan bicara yang sekenanya. Hari ini, hari ketiga di bulan Desember, aku benar-benar membutuhkan orang seperti Antonio. Membutuhkan mata tajam tapi dingin, dalam tapi kosong. Seorang yang berdarah dingin. Seorang yang siap mati untuk apapun yang ia anggap benar. Seorang pionir yang selalu berada di garis terdepan, pasang badan!

Kami sudah sampai di Kaliurang, temannya Antonio sudah menunggu di mulut gang, lalu mengantar kami ke sebuah kafe kecil yang aku sendiri aneh, sepagi ini kafe sudah buka. Ketika aku masuk, langkah pertama aku merasa memasuki bagian dunia lain dari Jogjakarta, sebuah dunia yang terlipat diantara gegap-gempita komoditas kultural kota Jogja. Langkah kedua aku dibawa pada bayangan film Leon, ketika Leon (Jean Reno) mendatangi sebuah kafe kecil milik temannya, Tony (Danny Aiello). Suasana kafe italia begitu kental terasa dengan segala transaksi ‘bawah meja’-nya. Langkah ketiga aku dibawa pada suasana mencekam, di hadapanku berdiri dua orang bertubuh kekar—yang saat itu aku pikir adalah body guard Salim— memegang AK-47 ditangannya, sementara asap rokok beraroma cengkeh khas Indonesia mengepul dari kedua bibir mereka. Langkah keempat aku terlempar pada dunia yang sama sekali asing bagiku, perempuan-perempuan nakal berbusana seksi duduk menikmati Cognac Remy Martin di belakang Salim. Astaga, itu kan minuman asal Prancis yang harganya jutaan itu, aku dari dulu belum kesampaian meminumnya, paling-paling pernah mencoba yang ‘palsu’, itupun hasil patungan dengan teman-teman satu kontrakan semasa kuliah dulu dan mabuknya minta ampun. Pada langkah kelima aku terpental dari semua lamuan ketika suara ‘berat’ Salim menyapa.

“Mau yang laras panjang atau pendek? Butuh berapa banyak amunisinya? Pisau nya mau Victorinox, commando, atau cukup sangkur Ak-47?”
“emmmhhhh saya gak ngerti mas. Eh Ton, yang mana nih? Aku ndak mudeng.”
“Pake Barreta 92 ditambah Victorinox cukup Lim. Repot nyembunyiinnya kalau pake laras panjang. Kita mau main rapih”
“Oh oke, tunggu ya.” Salim kemudian memberi tanda pada body guardnya untuk mengambilkan pesanan kami.
“Uangnya di transfer aja ya Lim?”
“ah santai lah, diganti pake barang lu aja. Gua lagi butuh. Kayak biasa ya Ton. Lu tau kan selera gua.”
“owkay fellas…”

Obrolan pun berlanjut mengenai senjata, wanita, dan narkoba. Uuh, sebuah obrolan yang ‘cowok banget nih’ tapi aku tidak mungkin terlibat dalam pembicaraan ini. Aku tidak mengerti apa-apa. Aku memilih untuk pamitan keluar sebentar, dengan langkah yang sedikit bergetar, meskipun aku sudah mencoba bersikap wajar, tetap saja lutut ini tidak bisa diajak bekerja sama. Aahh akhirnya sampai juga di pintu keluar dan hhmmmmmhhh diluar udara masih sejuk, jogja belum bersolek dengan segala keunikannya, dengan semua turisnya—yang kebanyakan kurang ajar itu—juga dengan mobil-mobil yang memadati jalanan. Kaliurang masih sepi dari para pengunjung yang ingin menikmati alam jogja.
“semua beres Ron, sekarang kita cek lokasi”

Kami melanjutkan perjalanan menuju selatan Jogja, ke arah Wonosari, Gunung Kidul. Menurut informasi yang aku dapat, target kami akan berada di pantai Krakal-Gunung Kidul mulai malam ini dan menginap dua malam di Hotel Sunset Beach yang letaknya tidak jauh dari pantai. Rencana ini terbilang mendadak, seperti sambal aku pikir, tapi bukankah yang dadakan lebih akan lebih pedas?

Semua rencana ini bermula dari kekesalan-kekesalan kecil yang terbilang sepele. Lalu semakin lama semakin menjadi. Kekesalan mulai memanas semenjak kelakuan kurang ajar Soni—target kami—yang saat itu tengah ‘main gila’ dengan salah satu temanku di Komunitas Lingkar Budaya. Aku sudah cukup lama kenal watak Soni semenjak masih kuliah di UGM. Ia selalu berlagak paling tahu, paling benar, dan seenaknya pada perempuan. Disamping itu, sikap premannya sering membuat kami—mahasiswa fakultas filsafat UGM—geram. Dulu, semasa kuliah, aku sempat ribut dengannya, urusan perempuan. Tapi bukan perkara sepele, ia meniduri pacarku di sekertariat kampus. Tidak lama setelah kejadian itu, ia berulah lagi saat laga futsal antar jurusan. Kekesalanku memuncak ketika ia menghancurkan komunitas yang kami bangun dengan darah dan keringat. Harus kuakui, ia memang pintar dan cerdik, namun justru itulah yang membuat ia mampu merusak komunitas. Pengetahuan, memang selalu seperti pisau bermata dua, tergantung siapa yang memegangnya, ia akan selalu berbahaya dan bahkan membahayakan dirinya sendiri.

Semuanya terdengar sepele, tetapi tidak jika melihat langsung bagaimana rusaknya Novi—teman komunitas kami—yang ia perkosa dan pukuli setelahnya. Malam, 3 Desember tahun lalu, Novi datang ke sekertariat dengan kondisi yang menghawatirkan. Tubuhnya penuh lebam, telinganya rusak seperti bekas dipopor senjata jaman orba, payudaranya disayat pisau lipat, dan luka di kepalanya membuat Novi mengalami cacat seumur hidup. Bau amis yang tertinggal di sekertariat memang sudah tidak dapat tercium, setahun telah berlalu. Tapi dendam dan ingatan kami tidak pernah hilang. Seperti bekas luka Novi yang akan selalu ia bawa hingga mati. Seperti komunitas kami yang meskipun sudah tidak ada, semangat dan daya hidup “Lingkar Budaya” selalu ada pada masing-masing diantara kami.

Bagaimanapun juga kelakuan Soni tidak akan pernah bisa dibenarkan, kekerasan atas nama apapun harus musnah dari bumi manusia ini. Jika proses peradilan dan ahli hukum sudah tidak bisa diandalkan, biarkan kami menjalankan hukum kami sendiri, hukum yang paling purba di bumi manusia: hukum rimba. Semenak itulah aku teringat pada Antonio—seorang ahli hukum. Hukum rimba!—dan segera menghubunginya untuk melanjutkan proses peradilan yang tidak pernah tunai itu. Tepat hari ini, hari ketiga di bulan Desember. Hukum akan ditegakkan, bukan atas nama keadilan dan kemausiaan yang tertuang dalam Pancasila itu. Tapi atas nama dendam dan darah yang telah tertumpah. Selain tidak mengamalkan ajaran Pancasila, kami juga bersepakat untuk tidak mengikuti ajaran Kristus: “tampar pipi kiri, berikan pipi kanan”. Tidak, kami mengubah ajarannya: “tampar pipi kiri, pistol dikepalamu! Pisau di penismu!”
**


Hari ini masih hari sabtu, masih hari ketiga di bulan Desember. Sabtu pukul 17.30.

Senja menghadirkan langit keemasan di selatan kota Jogja, di langit pantai Krakal. Angin berdesau membisikan cerita purba dari negeri yang memang sering lupa. Penderitaan serupa pernah terjadi dalam skala besar. Perempuan-perempuan (juga laki-laki, tua-muda) diperkosa, disiksa, dan dibunuh dengan cara yang paling keji. Atau ada yang hilang dan tidak pernah tahu dimana rimbanya. Novi salah satu dari sekian banyak anak yang kehilangan ibunya pada masa itu. Ketika itu Novi masih kecil, masih bermain barbie di sepetak kebahagiaan bernama halaman rumah. Seminggu dua minggu ibunya tak pulang, lalu terdengar berita ibunya ditemukan di sungai dengan kepala penuh luka tusuk, sekujur tubuh penuh lebam, dan rusuknya sudah tak berbentuk. Aku begitu percaya, ada banyak novi-novi lainnya, yang merengek pada ayahnya “pah, mamah kemana? Kok gak pulang-pulang?” hanya saja Novi yang ini nasibnya lebih pahit. Kekerasan yang terjadi pada ibunya kini terjadi pada dirinya, sejarah berulang melalui tangan yang berbeda.

Senja seolah mewartakan bahwa warnanya dan bau amis angin pantai adalah darah-darah manusia. Seolah mengingatkan negeri yang pelupa, bahwa darah pernah menjadi bagian dari negeri ini. Menjadi cara untuk berkuasa.

Pantai Krakal sangat sepi, dilihat dari parkiran dan penginapannya, mungkin hanya kami pengunjung malam ini. Aku dan Antonio segera memasuki losmen kecil di belakang hotel Sunset Beach. Memilih kamar dengan sudut pandang yang tepat ke arah kamar no 10, kamar yang akan ditempati Soni dan perempuannya. Ah, perempuan mana lagi yang akan kedapatan sial. Antonio segera mengeluarkan beberapa peralatan kerjanya sementara aku disuruh makan di losmen itu sambil berbincang-bincang dengan pemilik losmen dan tamu lainnya, agar terlihat biasa saja. Aku memesan lobster bakar saus kecap, dengan segelas orange punch. Musik Coldplay, Yellow melantun pelan, lagu ini mengingatkanku pada momen indah bersama Bunga. Aku ingat video clipnya, ah pantai. Baru kali ini aku menjumpai pantai dengan debar yang tak biasa. Sedari tadi kakiku masih gemetar, menyadari apa yang akan aku lakukan sesaat lagi. Aku terus menenangkan diri, menghisap rokok dalam-dalam, menghembuskannya keudara. Lalu hilang bersama angin pantai.

Antonio masih bersiap dengan segala peralatannya, ia paham betul siapa targetnya hari ini. Seorang yang tidak bisa dianggap sepele. Ia keluar, mengisyaratkan aku harus segera meninggalkan meja makan untuk menemaninya melihat-lihat kondisi sekitar, sekaligus mencari posisi terbaik dan jalan keluar paling aman tentu saja. Aku disuruhnya memindahkan parkir mobil ke arah jalan raya, agar mudah untuk keadaan darurat, katanya. Ia terus melangkah, menuju depan hotel dan memesan es kelapa muda di warung sebrang hotel sambil menggali informasi tentang lokasi sekitar pada penjaga warung.

Ketika aku memindahkan sikuning, diluar dugaan Soni sudah datang dari arah jalan raya. Aku hapal betul mobil Honda Civic-nya. Mobilnya semakin mendekat, ia tentu saja tidak mungkin mengenaliku dalam gelap seperti ini, apalagi aku memakai landrover pakdeku. Jarak pandang semakin terlihat jelas bagiku, dan Deg! Deg! Ia memarkirkan mobilnya, membukakan pintu untuk perempuan yang ada disampingnya Deg! Deg! Deg!, perempuan itu keluar Deg! Deg! Deg! Deg! Mereka berdua jalan bersama dan duuuuaarrrrr!! Ia bersama Bunga! Perempuanku! Aku melihat sekeliling, tidak ada halilintar, aku melihat kedalam, ya! Hatiku. Aku mencoba menahan emosi, menahan getar pada sekujur tubuh yang sudah basah oleh keringat dingin. Aku harus tenang, ingat! Kemenangan selalu berpihak pada yang mampu mengatasi dirinya.

Setelah mereka berdua masuk kedalam hotel, aku mengambil langkah-langkah kecil menyusuri jalan melingkar, menuju Antonio. Aku menceritakan semuanya dan Antonio hanya tersenyum.
“emangnya apa yang kamu pikir tidak bisa dilakukan si Soni itu? Hah? Cuuuhhh!” ia tetap tenang dengan Marlboro di sela-sela bibir hitamnya.
Seluruh dunia serasa gelap, runtuh, dan pecah!

“Rencana berubah, kita lakukan sekarang Ton! aku sudah tidak sabar.”
“weeess, kemasi barangmu Ron! Masukan semua ke mobil. Kita ketemu di parkiran hotel itu”
Aku segera lari menuju losmen, mengambil semua yang ada. Masih sempat terpikir olehku, apakah aku sudah gila? Aku akan membunuh seseorang. Apa yang aku lakukan ini benar? Bukankah negara ini negara hukum? Meskipun sistem peradilan yang sampai saat ini belum juga mengadili Soni, tidak semestinya kan aku melakukan ini?

Tak jauh dari losmen, sekelompok anak muda yang aku perkirakan berumur 20tahunan baru saja tiba dan menginap di losmen ini. Mereka membicarakan organisasi kampus, perempuan, seks, kuliah, tugas, masa depan. Ah mereka segar, mereka penuh optimisme. Aku pernah kuliah, tapi tidak dengan optimisme. Semua sudah selesai, aku bergegas menuju sikuning untuk menyimpan semua barang dan menuju pelataran parkir hotel Sunset Beach. Disana, Anotnio tidak ada! Aku mencoba meneleponnya, terputus. Lalu kuputuskan untuk mendekat ke tempat dimana kami tadi bersepakat untuk bertemu. Ada secarik kertas tulisan tangan:

Susul aku ke koridor room 10. Sekarang!
-Antonio

Tanpa pikir panjang, aku berjalan masih dengan kaki yang gemetar, melewati resepsionis, ruang-ruang hotel ini tampak gelap dan menyeramkan, tak ada seorangpun disini, penerima tamu pun tak ada. Ada apa dengan hotel ini? Di salahsatu ruangan, aku melihat foto Soni berbingkai figura coklat tua ukiran jepara menghiasi dinding. Ah dia mungkin pemilik hotel ini, atau bapaknya! lalu aku menyusuri kamar-kamar yang tampak tak pernah terisi dan itulah room 10. Tapi Antonio tidak ada disana. Aahhhh permainan apa lagi ini?!

Kini tubuhku sudah ada tepat di depan kamar no 10, tidak ada suara apapun dari dalam. Kakiku semakin bergetar, keringat dingin menguasai tubuhku. Aku gemetar!
Braaakkkk pintu dibuka dan pistol sudah ditodongkan ke kepalaku, Soni dengan senyum khasnya menyambut. Dengan gerakan kepala, ia menyuruh aku untuk masuk kedalam kamar. Aku masuk, kulihat seluruh sudut kamar, Bunga ada di kasur. Tidak memakai baju, hanya ditutupi selimut. Ia juga tidak menyadari aku ada disini karena matanya ditutup oleh Soni, ia pikir ini sejenis permainan mengasyikan yang sengaja dibuat Soni. Kualihkan pandangan sambil tetap mengikuti instruksi untuk berjalan menuju kursi sebelah kasur yang menghadap ke jendela.

Aku melangkah perlahan, sangat pelan, sungguh gemetar. Disudut kamar mandi kulihat sosok Antoni sudah tak berkepala! Kepalanya menggelinding berlumur darah ke arah kloset. Hampir saja aku berteriak sebelum mulutku segera dibekap oleh Soni. Kemudian aku duduk dan diikat pada kaki-kaki kursi. Soni melepas pakaiannya dan melempar senyum kearahku. Ia bercinta dengan Bunga dihadapanku. Darah dari kepala Antoni masih menggenang, kini mulai menjalar hingga pintu toilet, bau amisnya sungguh mengingatkanku pada peristiwa setahun lalu.

Langit Krakal diluar sudah gelap, tapi tak akan pernah segelap hatiku malam ini. Malam mengendap, debur ombak menghantam, angin bersiul, mereka orgasme. Mereka melakukannya didepanku! Darah itu kini sudah sampai di kakiku, menyentuh perlahan, memberi kabar kepergiannya yang tragis.

“sayang, aku mau main tembak-tembakan dong. Kamu tembak aku ya ke arah jendela. Tapi matanya harus tetep ditutup. Harus kena yaaa.”
“mana sini pistol-pistolannya”

Bunga menerimanya, mulutku segera diplester! Ia mengarahkan pistol itu kearahku, aku menutup mata pelan-pelan. Darah itu kini sudah membanjiri seluruh ruangan. Merayap perlahan hingga pintu keluar.
Mungkin harus berakhir begini. Setidaknya sekali dalam hidup, aku pernah berusaha mengejar dan bersetia pada sesuatu yang aku anggap benar. Tidak peduli hal itu memang benar dan akan berhasil.

Mataku terpejam, seluruh ruangan terasa gelap. Kakiku sudah tidak gemetar, keringatku hilang. Bau amis darah Antonio kini sudah menyesakkan seluruh ruangan. Ah Tuhan, bersembunyi dimana keadilan itu?

Diluar malam mengendap. Masih di hari sabtu, masih di hari ketiga bulan Desember, tapi yang berbicara bukan lagi seorang lelaki pengecut.
kini, darah itu...
***

Meracau dengan kopi dan Lucky Strike, 12 Maret 2012
ARF


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...