Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for Oktober 2010

Perantauan


posted by Unknown on ,

No comments


Untuk wanita paruh baya  yang tertatih penuh harap dalam cemas
Di lereng gunung Tangkuban Perahu


Ketika seekor kucing eropa –sebut saja salah satu varietasnya; maincoon- di pelihara di Indonesia yang notabene memiliki iklim yang berbeda akan sangat berpotensi menimbulkan kekebalan tubuhnya hilang. Pasti dibutuhkan proses adaptasi untuk menyesuaikan dengan iklim setempat, jika kucing tersebut tidak dapat beradaptasi, maka dapat dipastikan ia akan mati. Jika pun ia mampu bersahabat dengan iklim yang baru namun belum tentu dengan budaya yang baru. Di Indonesia kita dapat dengan mudah melihat kucing dalam keseharian kita yang tentu saja dari segi postur, bulu, serta tingkah laku nya berbeda dengan si “maincoon”. Kesulitan yang sering terjadi ketika seekor kucing menempati tempat baru adalah beradaptasi dengan kucing lokal setempat. Pertengkaran yang berbuah luka bahkan kematian pun tidak dapat dielakkan.

Begitu lah sedikit gambaran mengenai proses adaptasi mahluk hidup, namun saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai kucing karena memang bukan kapasitas saya untuk menuliskan itu, meskipun saat ini saya sedang memelihara kucing jenis Persia yang sangat saya sayangi. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai “teman tidur” saya di tempat kost, tidak sebagai hewan peliharaan.

Belakangan ini saya mendengar berita yang cukup menarik mengenai adaptasi budaya serta proses asimilasi atau pun akulturasi budayanya. Karena sudah cukup lama saya tidak menyempatkan waktu untuk menggoreskan keyboard bagi blog pribadi saya yang nampaknya sudah kian usang, maka saya sempatkan untuk menulis kembali.
Sebelumnya, saya menegaskan bahwa kutipan cerita ini nyata dan didapat dari sumber yang tentunya dapat dipercaya. Selain itu, tentu saja bukan dengan maksud untuk mendiskreditkan pihak/budaya tertentu.

Cerita ini tidak akan pernah ada jika saya tidak mendengar kisah mengenai “Asrama Papua” dari teman kost’an saya –sebut saja Josh- dan dilengkapi juga oleh ibu kost yang ikut memperluas perbincangan malam ini. Kopi dan LA Lights pun melengkapi perbincangan kami malam ini yang dimulai dengan pemaparan asal usul Asrama Papua. Perbincangan dimulai dengan sejarah kost’an yang saya tinggali yang ternyata tempat kost saya saat ini dulunya –sebelum terjadi refungsionalisasi- adalah Asrama Papua yang menampung mahasiswa-mahasiswa asal Papua yang sedang melanjutkan studi nya di Bandung. Pada saat itu, kost’an ini tidak pernah lengah dari kebisingan yang memekakan telinga, bau alkohol 40%, serta wanita yang bermalam bersama penghuni kost’an. Ulah nya ternyata tidak hanya terjadi di dalam kost’an, namun lebih parah dari itu. Mereka (Mahasiswa-mahasiswa Papua) sering kali membuat geram warga setempat. Sudah bukan fenomena asing lagi bila terjadi pencurian, perkelahian, serta keluhan dari para penjual makanan (terutama dari tukang sate dekat kost’an) yang selalu dirugikan dengan “makan gratis” penghuni asrama papua. Bahkan kabarnya, uang sewa kost pun selalu menunggak berbulan-bulan lamanya –terlebih lagi tidak dibayar-. Ulah para penghuni asrama Papua ini bukan tanpa tindak lanjut, meski sudah seringkali mendapat teguran warga setempat bahkan hingga pernah suatu kejadiaan yang dibawa ke ranah hukum. Namun mereka terlalu “kuat” dan “kebal hukum” –barangkali meminum obat antihukum; seperti para pejabat dan pengusaha?-

Singkat cerita, setelah kurang lebih dua tahun lamanya ulah-ulah yang meresahkan itu mereka lakukan, sebagian dari mereka meninggal yang kabarnya akibat overdosis minuman keras (Dalam hal ini mereka mungkin lupa meminum obat antimati; seperti yang diminum para mistikus Banten barangkali?) dan sebagian lainnya masuk rumahsakit akibat aksi frontal dan spontan dari warga setempat yang sudah semakin geram dengan ulahnya, sisanya ada yang di nikahkan karena menghamili (kabarnya bahkan hingga tiga wanita yang dihamili), dan ada juga yang lari entah kemana(barangkali karena kompatriotnya sudah musnah!).

Yang menarik dan perlu dicatat adalah adanya salah satu dari mereka yang bertahan hingga dua tahun setelah kehancuran asrama papua, Ia memang sedikit berbeda dengan yang lainnya. Kabarnya, hanya ia yang kuliahnya lancar hingga saat tulisan ini saya buat. Namun sayangnya saya tidak dapat menuliskan lebih lanjut mengenai orang tersebut karena begitu saya menempati kost’an ini orang itu sudah pindah ke tempat lain. Bahkan namanya saja saya tidak tahu, tapi mendengar riwayat singkatnya, saya rela menyandangkan predikat “Supertramp”-figur idola saya di film Into The Wild (bagi yang belum menonton filmnya, saya rekomendasikan untuk ditonton; maka kalian akan mengerti maksud saya menyandangkan predikat itu padanya)padanya- . Tidak masalah seberapa banyak tawaran hipokritnya dunia muda, peliknya hidup di perantauan, serta kebebasan yang selalu mengiringi setiap tindak tanduk di perantauan, Ia tetap konsisten terhadap komitmennya untuk menjadi kebanggaan orangtua- terlebih lagi masyarakat Papua yang tergolong rendah tingkat pendidikannya.

Dialah maincoon yang adaptif, yang mampu beradaptasi dengan budaya lokal sempat. Lebih jauh lagi, dia lah pria sejati yang mampu menjadi dirinya ketika desakan ilusi glamouritas merayu masa mudanya. Ia tetap konsisten dengan apa yang semula ia tuju untuk merantau ke Bandung, meninggalkan wanita tua renta yang penuh asa dan harap dalam cemas nya melepas anaknya di perantauan. Hanya satu motif wanita tua itu, demi hari esok yang lebih baik bagi anaknya yang dapat ia hantarkan berita nya ke tanah Papua.

Bagaimana dengan maincoon yang lain? mereka kini bersemayam menggigil dengan jari jemari dan gigi geligi yang kaku di dalam tanah 2X1 meter –yang tepat diatasnya ditaburi bunga dan ditangisi wanita tua renta-.
Sekali lagi saya tegaskan, tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan ras/budaya tertentu (Papua), karena toh yang menjadi soal bukan darimana ia berasal, namun bagaimana ia bersikap dan menempatkan diri dalam tatanan masyarakat multikultur –Indonesia tercinta ini.


Hari-hari mendatang, Bandung akan terus di datangi maincoon-maincoon lainnya untuk melanjutkan studinya di berbagai universitas terkemuka. Mari kita saksikan, berapa banyak lagi wanita tua renta yang akan menangisi anaknya dan berapa banyak wanita tua renta yang senyum dengan rona bahagia mendapati kabar bahagia dari anaknya di perantauan.



Cibiru, 30 Oktober 2010
Dalam lelah ta’ berkesudahan,
Azhar Rijal Fadlillah

Rindu Pada Asali


posted by Unknown on ,

No comments


“Selalu ada kerinduan untuk kembali pada asali karena selain mendambakan nostalgia historis, itu pun akan mengingatkan siapa kita dan dari mana kah kita.”


Hilir mudik memang sudah dan selalu menjadi tradisi masyarakat kita ketika menjelang Hari Raya Iedul Fitri. Para perantau yang mengadu nasib di kota-kota besar kembali ke kampung halamannya – merindu sanak keluarga. Tak ayal hal ini membuat lonjakkan mobilitas penduduk di hari lebaran yang memiliki ekses cukup kompleks. Mereka dengan berbagai cara tersendiri mengunjungi keluarganya di kampung halaman untuk sekadar berkumpul, bercengkrama, bernostalgia, bermaaf-maafan, seraya merayakan hari kemenangan umat muslim. Tak peduli berapa kilometer jarak yang harus ditempuh, pun dengan segala keterbatasannya para pemudik itu berbondong-bondong menuju kampong halamannya – tempat mereka berasal.

Ternyata hal ini tidak hanya menuai dampak buruk kemacetan lalu lintas, intensitas kecelakaan yang meningkat tajam, hingga pemborosan materil. Mudik ini juga ternyata memberikan angin segar pada kondisi stabilitas perekonomian Indonesia. Dengan berpulangnya para perantau ke kampong halamannya, mereka secara tidak langsung membantu mendistribusikan kekayaan. Banyak sekali pihak-pihak yang diuntungkan dengan tren mudik setiap tahunnya ini, sebut saja para supir kendaraan umum, pedagang pinggir jalan, penjual oleh-oleh khas daerah, penjual makanan, penjual baju, serta sektor-sektor ekonomi rill lainnya. Hal ini mengangkat sekaligus mendistribusikan perekonomian kita yang cenderung jawa-sentris, setidaknya setahun sekali masyarakat pedesaan, perkampungan yang jauh dari ibu kota, serta daerah luar pulau jawa dapat merasakan barang-barang mewah yang notabene hanya mungkin didapatkan di kota-kota besar. Kapan lagi mereka yang berada di pelosok negeri ini dapat merasakan makanan-makanan mewah dengan citarasa tinggi, pakaian-pakaian branded, serta merasakan pertumbuhan ekonomi kita (yang katanya) selalu megalami peningkatan di setiap tahunnya. Mereka mungkin tidak akan pernah merasakannya bila budaya mudik ini tidak mewabah di Indonesia. Terlebih lagi, tren mudik ini membawa muatan nilai-nilai semangat modernitas yang dibawa perantau ke kampung halamannya. Imbasnya, masyarakat desa yang buta informasi akan termotivasi untuk bekerja dan berinovasi, lambat laun perekonomian desa pun akan menggeliat bangkit.

Namun terlepas dari ekses tren mudik, saya mencermati ada sesuatu yang menjadi motif para pemudik tersebut untuk selalu menyempatkan pulang kampung. Mereka (para perantau) ingin menunjukkan bahwa usahanya di perantauan tidak sia-sia, hal ini dapat dengan mudah kita lihat gejala nya. Lihat saja fenomena pemudik yang cenderung memaksakan pulang kampung dengan menggunakan sepeda motor, hal ini tidak serta merta mempermudah jalannya mudik, malah lebih banyak dampak buruknya. Namun ada simbolisasi kesuksesan yang perantau ingin tunjukkan pada keluargannya di kampung halaman, sebut saja motor. Selain itu memang sudah menjadi kodrat manusia untuk selalu merindukan “rumah”nya.

Mereka yang hobi travelling ke luar negeri pun selalu kembali pulang ke rumah, mereka yang berlayar hingga ke belahan dunia manapun selalu berhasrat ingin pulang ke rumah, dan manusia yang sudah nyaman hidup di dunia ini-dengan segala glamouritasnya pun akan kembali pada asali, pada Tuhan-nya. Mungkin memang ada semacam pattern pada jiwa manusia yang selalu rindu untuk pulang. Untuk berkaca siapa diri kita dan dari mana kita berasal. Kemudian kembali pada asali dengan kebesaran jiwa.


Every day there’s a boy in the mirror asking me what are you doing here,
Finding moment, previous motifs
Growing increasingly unclear
I travelled far and I burned all the bridges
I belived as soon I hit land
All the other options held before me
Wither in the light of my plan

A song for someone who need somewhere
to long for…..
Cause I no longer know, where home is.
(“Homesick” –King of Convenience-)


Cibiru,
16 September 2010
Azhar Rijal Fadlillah

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...