Diberdayakan oleh Blogger.
.

Kelas Filsafat Tobucil: Ideologi


posted by Unknown on

No comments


Kelas Filsafat Tobucil: Ideologi
Oleh: Azhar Rijal Fadlillah

Gambar diambil dari sini

Hujan yang cukup deras mengguyur Bandung sore ini tidak membuat kelas filsafat sepi. Rudi, Grace, Harun dan Ami sebagai mentor tetap semangat hadir untuk membicarakan suatu tema yang suka tidak suka merupakan tema penting bagi pemetaan perkembangan arus pemikiran dunia. Rosihan Fahmi kali ini hadir sendiri sebagai mentor yang akan memandu kelas filsafat, sementara Syarif Maulana kabarnya sedang sakit atau barangkali menjaga agar tidak sakit karena tanggal sakral baginya tinggal hitungan hari. Lalu, apa kiranya yang membuat keputusan Ami untuk tetap mengajar meskipun hujan deras, sementara Syarif dan beberapa peserta kelas filsafat lainnya memutuskan untuk menjaga kondisi di rumah? Apakah suatu keputusan ideologis atau semata-mata hanya pertimbangan skala prioritas? Jika sebuah alasan ideologis, apa sebenarnya ideologi itu sehingga mampu menggerakan manusia hari-hari ini?

Melalui kacamata paling awam, kita seringkali memahami ideologi dan agama dengan suatu kerangka pandang yang barangkali sama. Tidak jarang kita melihat kisruh dua kepentingan yang saling bertolakbelakang di media massa—yang sejauh pengamatan awam saya—merupakan ‘perang ideologis’ bahkan ‘perang ideologi-agama’. Mungkin kita bisa menengok kembali bagaimana kerasnya Front Pembela Islam (FPI) dalam setiap aksinya. Atau yang masih hangat, Alex Aan—begitu ia dipanggil— yang dihajar massa karena mengaku dirinya ateis. Juga masih banyak lagi konflik-konflik horizontal yang terjadi antar elemen masyarakat lainnya hari-hari ini.

Maka dari itu, mari kita lihat lebih dekat. “Ideologi, sejak kemunculannya merupakan suatu sistem pemikiran dan atau gagasan yang dibakukan melalui suatu kerangka ilmiah. Secara sederhana, ideologi dapat kita artikan sebagai ajaran, paham, atau –isme. Sementara Agama, sejak lahirnya sudah memberanikan diri merangkul segenap aspek kehidupan manusia. Agama pada titik ini bisa diartikan sebagai way of life yang tentu saja di dalamnya terdapat beberapa sisi ideologis juga.” Begitu tutur Ami saat membuka kelas sore ini.

Beberapa filsuf mendefinisikan kelahiran ideologi sebagai bentuk resistensi terhadap paham-paham agama yang mereka anggap sudah dekaden, tidak memanusiakan manusia, mandek pada suatu tatanan paham yang bersumber pada eksistensi supra-rasional. Apalagi semenjak renaissance, manusia modern semakin alergi dengan sesuatu yang tidak rasional. Di masa inilah ideologi mengalami puncaknya setelah sekian lama masa inkubasi di abad pertengahan, dimana gereja (agama) begitu berkuasa sehingga membuat para pemikir mati suri.

Sejak masa itu, kita bisa mengenal dan melihat bagaimana ideologi menjadi begitu jumawa. Semua berebut posisi—alih-alih legitimasi—untuk menjadi pemegang tunggal otoritas kebenaran. Bahkan di masa ini juga lah agama seolah kalah pamor dibanding ideologi-ideologi besar seperti kapitalisme, marxisme, eksistensialisme, positivisme, dan segerombolan geng-geng berkuasa nan jumawa lainnya.

Lalu Ami melanjutkan dengan pembahasan beberapa arus besar ideologi yang sempat (dan masih) berkuasa hingga saat ini. Ijal, seorang peserta yang merangkap sebagai notulen untuk blog tobucil menambahkan contoh menarik tentang rasionalitas, “Saya ingat petikan dialog didalam buku Ayu Utami; Bilangan FU bahwa harga marmer seratusribu di kota tidak membuat tukang batu marmer di Sewugunung dapat menjual marmernya lebih dari seribu. Harga seratus ribu di kota bagi tukang batu di Sewugunung adalah sesuatu yang tidak rasional, begitupun sebaliknya. Kita kadung percaya pada suatu suprastruktur yang terspesialisasi, seperti ketika akan naik pesawat, kita—orang yang mengatakan dirinya rasional dan modern—tidak pernah khawatir akan kemampuan pilot. Pada titik ini, jika memakai kerangka rasional, kita sudah tidak bisa dikatakan rasional lagi. Ini kembali pada ‘percaya’, menggantungkan sesuatu pada hal diluar diri.” Lalu, apa sebenarnya yang dinamakan rasional itu?

Ami menambahkan cerita nyata dari temannya yang seorang misionaris sempat kuliah diluar negeri yang dibiayai oleh gereja. Ketika ia pulang ke Indonesia, ia ditempatkan di Gunung Halu, Cililin- Kab.Bandung Barat untuk berbaur dengan petani setempat (lebih tepatnya buruh tani). Setelah dua tahun disana, ia mengalami banyak peristiwa ‘irrasional’ yang mempertemukannya dengan petualangan spiritual. Setelah selesai tugasnya di Gunung Halu, Ami dan kawan-kawan lainnya sempat mengunjungi ke rumah misionaris tersebut. Hal pertama yang keluar dari mulutnya adalah “ideologi apa lagi yang kalian bawa? sudahlah!”

Ketika cara berpikir kita dibentuk melalui suatu institusi pendidikan yang sama, maka yang dinamakan rasional akan sama pula. Bagi sebagian kalangan terpelajar, adalah tidak rasional melihat pawang hujan mampu mencegah atau menggeserkan hujan. Tapi bagi pawang hujan, adalah tidak rasional melihat kaum terpelajar melalukakan tindakan anarkis di jalanan untuk membela masyarakat tertindas. Mereka akan bertanya “Masyarakat mana yang dibela?” karena ketika kaum terpelajar itu sibuk orasi, buruh dan petani tetap adem saja di ladang dan pabriknya. Itu semua tidak rasional bagi kalangan tertentu dan sangat rasional bagi yang lainnya.

“Ya memang, setiap pola penalaran punya cara rasionalisasinya sendiri.” Begitu simpul Ami sambil menghisap Dji Sam Soe nya yang bagi sebagian orang tidak rasional untuk menghabiskan cukup banyak rokok kretek dalam beberapa jam saja.
Lalu jika begitu, jangan-jangan agama—sebagaimana dipandang hari ini oleh beberapa orang yang anti-agama— menjadi buruk karena kurang luasnya cara pandang yang mengakibatkan kekeliruan kesimpulan. Kekeliruan menemukan rasionalisasi yang tepat.

Maka barangkali benar adanya bahwa manusia yang tidak berpikir akan tumpul, yang berpikir tanpa metode dan perspektif yang tepat akan limbung, dan manusia yang cerdas adalah mereka yang mampu menggunakan metode dan perspektif sesuai dengan kajiannya.

Begitupun Syarif, baginya akan lebih rasional untuk istirahat dirumah saat cuaca sedang buruk. Karena beberapa hari lagi ia akan melepas masa lajangnya. Selamat jalan Syarif, semoga galaunya sembuh oleh pernikahan ya.


Jalan Aceh 56, 5 Februari 2012
--------------------------------------

Leave a Reply

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...