Diberdayakan oleh Blogger.
.

Kophilosiphia #2: Atas Nama Cinta


posted by Unknown on

No comments


Kophilosiphia #2: Atas Nama Cinta


Sejak awal kelahirannya, filsafat—secara harfiah—dapat diartikan mencintai kebijaksanaan. Seperti Thales yang disebut-sebut sebagai filsuf Yunani pertama (500 SM) mengatakan bahwa semesta ini berasal dari air. Tentu jika dilihat dari sisi konsepsinya, ia berusaha mencari causa prima dari sebuah fenomena. Tapi ada sesuatu yang menyebabkannya berpikir sampai sejauh itu, ia mencintai kebijaksanaan yang ia awali dari mencari suatu sebab pertama yang menjadikan semesta. Pada masa itu, filsuf Yunani kuno seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, dan jajaran filsuf masa itu memiliki proyek filsafat yang kurang lebih sama: mendefinisikan alam.

Baru ketika Socrates hadir di tengah-tengah agora, militansinya berdialog dengan siapapun tidak diragukan lagi. Ia sudah tidak membicarakan alam, ia bicara moralitas dan manusia itu sendiri. Sebuah filsafat yang lebih dekat pada keseharian manusia dan sifatnya lebih praktis. Hingga akhirnya ia harus mati demi mengubah mitos menjadi logos. Seperti yang ditulis Plato dalam Menon: Dialog Sokrates Tentang Sifat-Sifat Dasar Kebajikan bahwa Socrates sudah meninggalkan semangat zamannya yang masih berkutat pada definisi alam, bagaimana alam itu terbentuk, dan seterusnya. Sokrates adalah filsuf pertama yang membicarakan moralitas dengan intens. Disini pula kita bisa lihat dengan jelas bagaimana filsafat benar-benar dilakukan demi cinta pada kebijaksanaan.

Diecky lalu menjelaskan bagaimana filsafat hari-hari ini disikapi sebagai suatu sikap dan tindak keseharian. Ia menceritakan Syarif yang belakangan ini sempat ‘bermusuhan’ dengan salah satu ‘teman maya’nya di jejaring sosial. Syarif yang intens menuliskan filsafatnya di blog ternyata mendapati ‘musuh ideologis’, hingga pada suatu waktu orang yang tidak suka pada gagasan-gagasannya mengajak ‘duel intelktual’ secara terbuka. Dari fenomena ini kita bisa melihat bagaimana filsafat bisa menjadi permusuhan, bukan lagi atas nama cinta.
“Lalu apakah cinta itu sendiri? Apakah cinta harus selalu dipertentangkan dengan benci?” begitu tanya Iqbal.

Echi menimpali “Sebenarnya cinta itu tidak harus dipertentangkan dengan benci, cinta boleh saja dipertentangkan dengan ketidakpedulian. Karena benci bisa jadi merupakan manifestasi lain dari cinta. Boleh jadi, apa yang dilakukan ‘musuh’ Syarif itu semata-mata demi cintanya pada filsafat.”

Hujan diluar sudah mereda, cinta merapat menjadi nyata ketika Syarif datang dengan senyum khasnya. Ia lalu menceritakan pernikahannya yang baru saja berlangsung sebagai bentuk ‘politisasi’ cinta, lembaga normalisasi cinta, kalau kata Syarif. Sama halnya dengan filsafat yang dipolitisasi menjadi sekadar ilmu yang saling berebut kuasa kebenaran.

Echi mengambil inisiatif dan meminta izin untuk membacakan puisinya, seluruh ruangan menjadi gelap, mata ditutup. Ia menggambarkan dengan penuh rasa bagaimana cinta yang begitu besar dan gerak yang begitu nyata pada diri cinta, begitu impresif dan penuh darah. Cinta yang sudah penuh bagi dirinya sendiri, cinta yang mapan. Ia tidak memerlukan lagi siapa subjek dan objeknya. “Semua sublim dalam gerak yang saling bertaut,” sahut Ami.

“Kenapa cinta harus selalu digambarkan dengan compang-campingnya hidup? Apakah mereka berdua saudara kandung yang tak bisa tidak, harus selalu berdampingan?” Ijal menanyakan dengan sinis.

Cinta bukan perkara memiliki, cinta sudah cukup untuk cinta itu sendiri. Ia sudah penuh pada dirinya. Seperti Daus yang menjelaskan dengan cara mempertanyakan “apakah cinta itu dicari atau ditemukan?” semua bersepakat bahwa cinta memang ditemukan. Sampai pada titik itu, kita harus terlebih dahulu menyakini bahwa cinta itu ada, tidak mungkin kita menemukan sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Maka sangat masuk akal mengapa cinta selalu bergandengan dengan compang-campingnya hidup. Karena kita sudah begitu yakin cinta itu ada, hanya perlu ditemukan. Karena cinta sudah selalu ada pada dirinya. Kalau mencari, bisa jadi tidak ditemukan dan itu jelas bukan cinta.

Seperti tulisan ini, yang berusaha menggenapi pertemuan dengan sebuah catatan. Alasannya tidak lebih daripada cinta. Karena setiap pertemuan selalu meninggalkan jejak, mengendapkan cerita yang terlalu sayang untuk dibiarkan sunyi dalam pikiran masing-masing.


Maha benar filsuf, dengan segala cintanya.

Jatinangor, 17 Februari 2012
Azhar Rijal Fadlillah

Leave a Reply

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...