Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for April 2014

Golongan Putih


posted by Unknown on

No comments

Malam ini seharusnya saya pulang ke kampung, dalam artian ke rumah orangtua untuk menggunakan hak politik di bilik suara. Seharusnya memang begitu, pun ujaran dosen-dosen di kampus, tokoh di televisi, wajah tak dikenal di koran-koran pagi, mereka menyerukan seluruh warga Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya. Lalu kenapa saya tidak?

Tentu ada sekian alasan yang dapat membangun tindakan untuk tidak hadir dalam pesta yang riuh itu. Pertama-tama, saya samasekali tidak anti-politik, saya bukan lagi seorang pemuda anarkis (sengaja saya beri tautan ke wikipedia, sebab sudah terlalu banyak orang yang keliru paham dan menyamakannya dengan tindakan fandalisme), tentu saya juga bukan terlalu malas untuk tidak hadir di bilik suara. Persoalannya ada pada pilihan yang ditawarkan. Sebagai seorang pria yang sedang belajar menjadi konsumen yang cerdas, saya sudah terbiasa melakukan riset sebelum memutuskan suatu tindakan konsumsi. Katakanlah saya membutuhkan sebuah figura dengan spesifikasi tertentu, lalu saya pergi ke Jonas, ternyata mereka sudah tidak menjual lagi figura, mereka kini hanya menjual paku. Apa lantas saya harus membeli paku karena tidak ada figura disana? yang saya butuhkan adalah sebuah figura, lalu mengapa saya harus membeli paku?

Pun demikian dengan keputusan politik, saya merasa tidak ada yang dapat mewakili kepentingan saya dari sekian calon yang ada, daripada saya lantas memilih sembarangan, lalu tidak bertanggungjawab atas pilihan itu. Ingat, ketika anda menitipkan kepentingan dan hak politik pada calon wakil rakyat, anda harus bertanggungjawab untuk mengawal tindak politiknya, setidaknya di tingkat akar rumput, di tingkat lokal. Demikian juga dengan yang merasa tidak bisa menitipkan kepentingannya pada kumis-kumis tebal dan wajah sumringah itu, harus mencari alternatif tindakan politik yang saya pikir tidak kalah terhormatnya. Misalnya dengan pemberdayaan komunitas-komunitas kecil yang terdekat, edukasi politik melalui tulisan, dan masih banyak lagi.

Silakan bagi teman-teman yang merasa kepentingannya dapat terwakilkan oleh beberapa orang yang wajahnya belakangan ini terpampang di jalan-jalan raya, terpaku di pohon-pohon rindang, membuat macet jalan raya ketika kalian terlambat ke kampus., silakan. Saya undur pamit, mundur teratur, sebab memang tidak ada yang dapat mewakili kepentingan saya dari wajah-wajah yang terhormat itu.

Mungkin, kelak. Jika Jonas telah kembali menjual figura, saya akan datang lagi untuk membelinya. Sementara hingga waktu itu datang, saya mungkin hanya akan berdiri di luar barisan, menyaksikan pesta yang sesungguhnya mereka tidak begitu paham, siapa yang ulangtahun? siapa yang nikahan? atau sunatan? Dapat dipastikan, mereka minum terlalu banyak dan mabuk.

Bahagia?


posted by Unknown on

No comments


Aku ingin kita bicara kebahagiaan. Sesuatu yang mustahil tidak diinginkan oleh semua orang, bahkan seorang sociopath sekalipun. Hal ini tentu agak klise, tapi sebagaimana banyak kalimat dan cerita-cerita klise lainnya, kadang-kadang mengandung banyak hal baik yang kadung menjadi karat karena terlalu sering diucapkan oleh banyak orang. Tapi hal itu tidak membuatnya menjadi kehilangan makna, bukan?

Aku yakin setiap orang memiliki versinya masing-masing tentang kebahagiaan, ada yang menganggap kebahagiaan itu adalah rasa puas atas pencapaian-pencapaiannya dalam hidup, ada yang mengira kebahagiaan itu adalah rasa damai dan tenang yang hadir tanpa prasyarat rumit, bahkan ada juga yang mengamini kebahagiaan itu adalah pemenuhan "kemungkinan maksimum" atas pencapaian finansial.

Tentu, kalian bisa menambahkan daftar versi kebahagian kalian masing-masing yang akan sangat beragam dan kita tidak perlu berdebat soal itu. Tapi, ini adalah tulisanku, maka ini adalah versiku.
***

Ketika aku masih mengenakan seragam putih-merah dengan tas punggung yang kedodoran, aku merasa bahwa kebahagiaan adalah ketika aku dapat bermain sepuasnya tanpa harus terganggu oleh teriakan seorang ibu menyuruh anaknya makan, mandi, mengerjakan PR, atau tidur. Saat itu, aku membayangkan hidup yang penuh dengan permaian, kemenangan-kemenangan diatas tangisan anak-anak lainnya yang kalah karena dicurangi. Tapi waktu berjalan membawa pengertian yang berbeda, ketika aku beranjak remaja, seragamku menjadi putih-biru. Kebahagiaanku tidak lagi sama, aku merasa bahwa kebahagiaan itu adalah ketika aku bisa menjadi laki-laki paling populer di sekolah. Ketika semua siswa tahu namaku dan sederet "prestasi" yang aku raih. Kenakalan-kenakalan remaja menjadi sederet agenda kecilku menuju pengukuhan sebagai lelaki paling populer di sekolah. Dan saat aku mulai mengenakan celana panjang untuk pergi ke sekolah, aku merasa ada yang salah dengan kebahagiaan kecilku, aku rasa kebahagiaan itu adalah melanggar segala aturan. Di fase ini, segala hal yang terlihat "mapan" mesti dibongkar, tidak untuk ditaati, diacuhkan, dijatuhkan. Dengan sekejap, seorang lelaki yang dulunya hanya senang mencurangi temannya ketika bermain petak-umpet, kini menjadi pemberontak ulung. Kebingungan memahami dan mencari diri yang sebenarnya ada pada fase ini. Hampir semuanya dicoba, hampir segalanya dijajal, tidak peduli hal tersebut akan membawa dampak apa dikemudian hari, just livin' for today!

Pada semester-semester awal kuliah, seperti yang lainnya, aku pun terbius roman-roman puitik ala mahasiswa sebagai agent of change. Meledak-ledak dengan kalimat retorik, menyangkal ini-itu, membenarkan kesalahan yang orang-orang lakukan, berdebat adu argumentasi dengan sekarung teori-teori yang sebenarnya tidak pernah tuntas dibaca. Untungnya, dalam kasusku, aku segera diselamatkan dari buih-buih racun itu oleh sekelompok manusia yang menasbihkan dirinya sebagai pencinta kebijaksanaan. Tidak berlangsung cukup lama setelah fase agent of change itu, aku mengalami fase kemuraman. Segala hal tampak menjadi hitam, tidak memiliki rasa. Pada masa itu, dunia ini terlihat seperti tidak pernah memberi sedikit saja harapan, setetes saja kebaikan, setitik saja ketenangan. Semua yang aku lihat adalah salah, adalah marah, adalah gelap yang tidak pernah membawa kemungkinan apapun didepan yang jauh disana. Aku skeptis tingkat akut.

Lagi-lagi, fase itu pun tidak berlansung lama, aku segera menyadari bahwa menjalani hidup seperti itu bukanlah kebahagiaan. Setiap malam menyuntuki buku-buku "aneh" yang kebanyakan tidak tersedia di rak Gramedia, bangun selalu ketika matahari hendak turun, mata merah, tulang punggung serasa tertarik kebelakang, kepala pusing, hendak pecah. Membuncah!

Lalu sebenarnya apa kebahagiaan itu?
adakah spesies kebahagiaan yang mampu bertahan dari lumatan waktu?

Menyadari pola hidupku adalah seperti menyadari percepatan demi percepatan. Semua berlangsung begitu cepat dan semakin cepat setiap harinya.
***

Saat ini aku harus membayar tunggakan sks akibat fase skeptis tingkat akut itu. Kembali menyuntuki mantra-mantra moderenitas tentang efektivitas dan efisiensi. Setelah aku hitung, ternyata tidak ada kemungkinan sedikitpun aku bisa lulus kurang dari 6 tahun. Teman-teman yang lain sudah sibuk bicara pilihan mobil mana yang akan mejeng di carport rumah modern minimalisnya, aku masih tersangkut di kampus sialan ini. Temanku yang lainnya sudah mengunjungi tempat-tempat yang jauh, memposting fotonya, menulis catatan perjalanannya. Ada juga yang sudah berkeluarga. Mereka sudah memulai babak baru dalam hidupnya.
Aku penasaran juga, apa mereka sekarang sudah "bahagia"?

Mungkin, kebahagiaan tidak bisa dipertanyakan seperti itu. Tidak juga bisa dirumuskan dengan sederet indikator-indikator tertentu. Setiap orang punya versi kebahagiaannya masing-masing. Dan aku yakin, "bahagia" adalah ketika aku dapat menikmati hari ini. Sebab jangan-jangan kebahagiaan itu tidak pernah bersembunyi terlalu jauh, jangan-jangan ia ada di halaman belakang rumah kita.

Dan sepertinya, saat menulis tulisan ini aku sedang bahagia.
Sepertinya....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...