Diberdayakan oleh Blogger.
.

Tampilkan postingan dengan label filsafat. Tampilkan semua postingan

Pesta Filsuf ke-2: Etika di Media


posted by Unknown on ,

No comments


PESTA FILSUF KE-2: ETIKA DI MEDIA
Azhar Rijal Fadlillah*



Minggu, 8 Januari 2012

Ada yang berbeda pada hari minggu di Tobucil, jika bisanya beranda tobucil di hari minggu diisi oleh para crafter untuk saling berbagi ilmu kreasi karya, tidak begitu dengan minggu ini. Minggu ini Madrasah Falsafah (MadFal) merayakan PESTA FILSUF ke-2 dengan tema Etika di Media.

Perayaan kali ini sedikit berbeda dengan pesta filsuf pertama, kali ini pemasalah (begitulah MadFal menyebutnya sebagai pengganti ‘pemakalah’) dibuka luas untuk umum, siapapun boleh memasukan tulisannya untuk kemudian ditelaah bersama dan ditentukan tiga tulisan terbaik yang akan menjadi pemasalah pada Pesta Filsuf, sesuai dengan semangat Merayakan Filsafat Dalam Keseharian yang diusung Madrasah Falsafah bahwa Setiap Orang Adalah Filsuf.




Presentasi dari Ketiga Pemasalah

Pemasalah pertama Syarif Maulana, seorang dosen logika di UNPAD, musikus sekaligus pengelola Klab Klasik yang juga pada taraf tertentu menggiati filsafat, membawakan masalah ‘Menonton Televisi’ Studi Fenomenologi Husserlian Terhadap Tayangan RCTI. Penelitiannya tersebut dilakukan selama kurang lebih 23 jam dalam tiga hari.

Pendekatan Fenomenologi ini mendekati objek sebagai mana objek dalam dirinya sendiri atau Lebenswelt kalau kata Husserl yang dalam bahasa sederhana berusaha melihat pengalaman sebagaimana adanya. “Saya bermaksud menghindari kekeliruan induksi dengan menggunakan metode pendekatan fenomenologi, seperti jika kamu bilang restoran paling enak di Bandung adalah Ampera, padahal kamu baru makan sekali di Ampera SukarnoHatta, memesan ayam goreng.” Tutur Syarif ketika membuka presentasi. Barangkali yang ditawarkan Syarif ada baiknya juga dalam memahami media hari-hari ini. Ketika kita baru menonton salah satu program RCTI, tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa RCTI tidak bermutu dan tidak mendidik. “Meskipun setelah penelitian saya selama 23 jam dalam tiga hari ini hasilnya sesuai dengan hipotesa saya itu lain soal, yang jelas, setelahnya saya langsung menjalani detox dengan menonton Godfather Trilogy

Dalam penelitiannya, Syarif mendapati bahwa dari sekian banyak sinetron yang ada di RCTI, penonton tidak membutuhkan visual, tidak jauh berbeda dengan drama radio bahkan pada tataran tertentu masih lebih baik drama radio. RCTI pun melakukan semacam pembodohan dengan mengkonstruksi stereotif citra diri manusia hari-hari ini. Cantik itu putih, mancung, langsing, berambut panjang, dan setertusnya merupakan stereotif yang berusaha dibangun RCTI melalui sinetron-sinetronnya. Yang tidak kalah pentingnya, sinetron seperti ini membatasi visual karena semua sudah serba diinterpretasikan dengan gamblang dan banal. Tidak ada lagi ruang interpretasi yang disisakan untuk penonton. “Ya bayangkan saja apa yang bisa kita dapat dari melihat adegan Nikita Willy mengenakan mukenamengangkat kedua tangan lalu berakata ‘saya sedang sedih ya Allah, tolong dekatkan saya dengan si A, kami harus berjodoh...’ dari petikan narasi itu saja jelas bahwa kesedihan dan harapan di artikulasikan dengan vulgar, tidak ada permainan mimik dan gestur, apalagi trik cara pengambilan gambar dan latar” ketus Syarif.

Pemasalah kedua, Soeria Disastra yang cukup dikenal sebagai seorang penyair dan penerjemah karya-karya sastra Tionghoa membawakan masalah Ketidakseimbangan Media di Indonesia. Ia menuturkan bahwa informasi bagi masyarakat kita hari ini adalah santapan wajib setiap harinya, jika ada ketidakseimbangan dalam penyampaian informasi tersebut maka media menyiapkan santapan yang tidak sehat. Maka dari itu, untuk tetap berada di jalurnya, media selalu membutuhkan etika. Pada kesempatan kali ini Soeria Disastra menyoroti masalah minimnya Seni dan Budaya dalam media kita, “Lihat saja contohnya di Pikiran Rakyat atau Kompas, bandingkan antara kolom politik ekonomi dan kolom seni budaya” baginya ini lah yang membuat karakter bangsa ini kehilangan arah, terkesan limbung dan kalut, akhirnya ‘mengikuti’ arus pasar merupakan jalan yang ditempuhnya, semata-mata alasan ekonomi atau politik.



“Pembangunan karakter dan integritas inilah yang sepertinya harus didahulukan” tutup Soeria Disastra.
Pemasalah terakhir Miraj Dodi Kurniawan, seorang peminat studi filsafat, pengamat media, dan pernah magang sebagai jurnalis Media Indonesia Biro Bandung mengangkat masalah ‘Media Diatas Rel Etika; Quo Vadis Media Massa’. Ia mengatakan bahwa dosa terbesar media ialah menyampaikan agitasi dan propaganda pihak/golongan tertentu dengan maksud dibelakangnya. Sebuah narasi besar yang tentu ditumpangi kepentingan kelompok kecil.
Persoalannya jadi kian meruncing justru ketika publik menganggap media massa sebagai satu-satunya saluran informasi dan dianggap benar tanpa mengkritisinya terlebih dahulu. Sementara harapan publik yang semakin membengkak itu, media justru semakin sering melakukan ‘buka-tutup’ informasi atau ‘angkat-tenggelam’ isu. Sejauh ini justru media yang katanya merupakan pilar keempat demokrasi itu menjadi penjahat demokrasi nomor satu.

Tanggapan dari Penanggap dan Sesi Diskusi

Rudi Setiawan, seorang dosen Fakultas Filsafat UNPAR yang juga penggiat Filsafat mengatakan bahwa manusia modern ditandai dengan cara berpikir yang kadang terlalu alergi dengan kecepatan, kebaruan, dan akurasi. Semua ingin serba cepat, siaran langsung televisi akan terasa lebih ‘berwibawa’ dibandingkan dengan siaran tunda, apalagi menyangkut siaran sepakbola. Semua ingin serba baru, isu-isu ekonomi politik budaya selalu diangkat terus menerus tanpa kedalaman. Juga akurasi, dengan angka-angka statistik yang pasti. Efeknya jelas langsung terasa pada publik sebagai penonton ‘modern’, kita semua terkepung oleh derasnya arus informasi masif hingga tidak memiliki ‘waktu reflektif’ yang digunakan untuk mengambil jarak dan mengkritisi setiap arus informasi yang ada. Hasilnya media pun memiliki kecenderungan dangkal dan artifisial sebagai alat survival di pasar konsumen.

Persoalan lainnya, masih menurut Rudi Setiawan adalah terjadi dilema besar media kita hari-hari ini. “Disatu sisi media idealnya berupaya memanusiakan manusia dengan kebebasan berekspresinya namun disisi lain kebebasan berekspresi dikekang dan dikebiri oleh batasan-batasan regulasi etik.”
“Bisakah kebebasan bereskpresi itu dibatasi? Melihat pengalaman para praktisi media yang bercerita tentang kasus Tukul dengan Bukan Empat Mata-nya dan mungkin masih banyak contoh kasus lainnya” sahut Bambang Q’ Annes.



Nur Syawal sebagai pengamat media yang juga anggota Komisi Penyiaran Indonesia mengatakan “justru kuncinya ada di penerimaan publik yang cenderung bersepakat dengan isu-isu dan gagasan yang ditawarkan media, disitulah media menjadi kuat. Lalu jika kita berbicara tentang etika, etika siapa atau etika mana yang kita pakai? Maka pertanyaan saya justru di tataran etikanya, adakah/perlukah etika universal?”
“Bagi saya justru ketika jalan lembaga sudah tidak dapat ditempuh, ya ‘anarkis’ saja, buatlah semacam ‘media baru’ atau ‘media alternatif’ yang akan mencerdaskan publik dan menjadi konsumen yang selektif.” Masih menurut Nur Syawal yang akrab dipanggil Al.

Meskipun begitu, akses keuasaan gerakan-gerakan alternatif itu biasanya tidak kuat dan hasilnya tidak akan masif, jangan harap gerakan seperti ini bisa dalam satu minggu membuat RCTI bangkrut. Persoalan-persoalan seperti Universalitas, Manusia, Etika, Media, hangat dibicarakan siang ini. Bambang Q’ Annes menanggapi pertanyaan Al “Apakah harus universal? Bukankah universalitas mengingkari perbedaan yang partikular?”
Lalu ada pertanyaan menarik di awal sesi diskusi yang ditanyakan oleh Heru Hikayat menyoal siapa di balik pasar? Lalu apakah kritisisme harus selalu disebrang pasar? Juga Ma’mun yang berpendapat bahwa sinetron itu akan selalu ada selama ibu-ibu rumah tangga masih tidak berkegiatan di rumah. Pertanyaan Ma’mun ini dijawab dengan nada santai dan humoris oleh Iqbal “Jangan salahkan ibu-ibu, salahkan saja bapak-bapaknya yang tidak memberikan pilihan lain, kalau dirumah dipasang TV berbayar kan ibu bisa nonton BBC. Pasang internet dan varian media lainnya.” 

“Sebenarnya yang dimaksud pasar oleh media itu bukan kita (publik) sebagai penonton, kita jagan dulu ge-er karena yang mereka maksudkan itu adalah para pengiklan (korporasi). Dari survei yang dilakukan, rating program televisi itu untuk memudahkan para pengiklan membaca kondisi penonton. Mereka tidak akan peduli apakah program tersebut dianggap bagus oleh publik atau tidak. Kita (publik) tidak termasuk dalam lingkaran setan itu”
Kemudian suasana diskusi menjadi semakin cair ketika moderator, M.Syafari Firdaus yang akrab di panggil Daus membuka permasalahan ini pada seluruh peserta pesta filsuf yang hadir saat itu. Jual-beli argumen terjadi dengan riuh-rendah yang tentu saja diselingi humor-humor cerdas yang membuat siang itu tidak begitu terasa panas meskipun beranda Tobucil dipenuhi sesak pengunjung.

Barangkali universalitas itu sendiri merupakan dialog terus menerus, bukan sebuah konsepsi tertinggi yang mapan dan anti kritik, universalitas selalu tertunda dan selalu yang akan datang. Media, dalam hal ini memang cukup menjadi mengerikan ketika menampilkan wajah yang serba kontradiktif, tapi sejauh ini barangkali hanya jalan ‘mencerdaskan ibu jari’ (selektif memilih media dalam kasus televisi) saja yang dapat dilakukan, Iqbal berkata “Jangan pukul besi dengan besi, karatkan dengan air!”

Meski pertanyaan semakin banyak dan tidak terbendung, waktu sudah membawa acara pada akhirnya. Inilah barangkali MadFal, ketika pulang kita dibekali pertanyaan-pertanyaan yang semakin banyak, bukan jawaban.
Lalu saya pulang ke rumah dan mendapati ibu saya menonton televisi di kamar saya yang letaknya di lantai dua. Seorang master di bidang Manajemen Pendidikan itu sedang menonton “Boys And Girl Band Indonesia” sebuah acara pencarian bakatboyband dan girlband Indonesia.

Saya hanya menggerutu dalam hati “mah, ijal anter ibu jarinya ke sekolah yuk”
---------------------------------


*)tulisan ini juga dimuat di laman blog tobucil n klabs
**)penulis adalah seorang penggiat madrasah falsafah yang juga pada taraf tertentu menggiati filsafat dengan tekun

Eksistensialisme Sartre


posted by Unknown on

2 comments


Eksistensialisme Sartre


Tuhan telah lepas
dan meninggalkan

sebentuk lubang dalam
diriku

(Jean-Paul Sartre)


Dekade 60-an abad lalu praktis menjadi milik Sartre. Saat itu dunia dilanda demam yang membuat hampir tiap orang mengenal namanya, dan berbondong-bondong mentahbiskan diri mengikuti alur pikirannya. Mungkin inilah kali pertama filsafat menjadi sebuah gaya hidup yang populer.


Filusuf Prancis ini sejak kecil tenggelam di lembar demi lembar buku, mengenal nama-nama sebelum mengenal dunia. Ia yang sejak remaja tak lagi mengenal Tuhan, menghambakan diri pada kesusastraan, dan mendapat penghargaan Nobel susastra pada tahun 1964, namun
ditolaknya dengan alasan akan mengurangi kebebasannya, dan enggan diidentikkan dengan kaum borjuis serta kapitalis. Pada sekitar periode itu pula ia menjelma sebagai eksistensialis nomor wahid, dan juru bicara humanisme yang paling depan. Pemikirannya membentangi tema-tema susastra, politik, kemanusiaan, kebebasan, dan lainnya.

Masalah “Ada”
  “Eksistensi mendahului esensi”, begitulah selalu filusuf-filusuf eksistensialis berkata, ”dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Karenanya
masalah “Ada” merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi eksistensialisme.
Bagi Sartre manusia menyadari Ada-nya dengan meniadakan (mengobjekkan) yang lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni kesadaran manusia yang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan “kesadaran akan sesuatu”. Baik kita ajukan contoh: Saat ini saya menyadari tengah duduk dalam sebuah forum diskusi, bersama dengan orang lain, serta benda-benda lain, sekaligus menyadari bahwa saya berbeda dengan orang lain, dan juga bukan sekedar benda. Saya meniadakan (mengobjekkan orang dan benda lain). Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre. Untuk memperjelas masalah ini, filusuf bermata juling ini menciptakan dua buah istilah; être-en-soi, dan être-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-Adanya manusia dengan cara beradanya benda-benda. Benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi) nya, sifatnya être-en-soiDengan sifatnya yang seperti ini benda-benda tidak mempunyai potensi di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak punya potensi untuk melampui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena esensinya mendahului eksistensi. Sementara manusia, dengan Ada yang bersifat être-pour-soi,
eksistensi yang mendahului esensi, selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini, dan menyadari Ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia
mati. Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimanan keberadaan benda-benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-Ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain. Dari konsepsi inilah Sartre kemudian mendapatkan pendasaran logis terhadap ateismenya.


Ateisme Sarte

Sudah kita bahas di atas tentang hubungan antara dua cara meng-Ada. Ada-nya benda, tidak mempunyai kesadaran, tidak memiliki potensi, dan tak ada hubungannya dengan Ada manusia yang dihayati lewat kesadaran, dan dengan cara meniadakan, atau menjadikan yang lain sebagai benda. Dalam konsepsi agama, Adam (manusia) diciptakan Tuhan dengan mengemban tugas tertentu. Dalam bahasa Sartre sebelum ia bereksistensi, ia lebih dulu direncanakan esensinya. Tapi pada kenyataannya, pola esensi yang dimiliki manusia adalah yang sifatnya penuh dengan potensi. Ia tak pernah bisa didefinisikan esensinya hingga kematiannya. Selain itu, karakteristik dasar dari kesadaran manusia adalah keterarahan kepada sesuatu (intensionalitas), sekaligus egois. Kontradiktif dengan konsepsi Tuhan sebagai penentu esensi manusia, atau dengan kata lain membuat manusia menjadi benda. Sebelum Sartre, dunia juga mengenal Friedrich Nietzsche, sang nihilis dari Prussia yang kondang dengan frasanya; “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet.” Bedanya, jika Nietzsche mengumumkan kematian Tuhan dengan tiba-tiba, maka Sartre melakukannya dengan lebih dulu menunjukkan kerancuan logika mengenai keberadaan Tuhan.

Kebebasan manusia
Pertanyaannya, eksistensialisme adalah tradisi filsafat antropologis, yang memusatkan diri pada pertanyaan dan pernyataan tentang manusia. Lalu kenapa dua orang ini perlu repot-repot untuk membunuh Tuhan? Nietzsche dan Sartre punya jawaban yang hampir mirip; jika Tuhan telah mati, segala nilai-nilai menjadi absurd; tak ada artinya. Karena telah kehilangan landasannya yang suci. Maka manusia bebas untuk berkehendak; merdeka! 
Kebebasan bagi Sartre adalah kata kunci dalam filsafatnya. Kebebasan bukanlah rahmat bagi manusia, kebebasan juga bukanlah sebuah ciri yang membedakan manusia dengan yang lain, tapi manusia adalah kebebasan itu sendiri. Dengan modus keberadaannya yang bersifat être-pour-soi, manusia bebas untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Namun kebebasan manusia ini sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan. Karena itu filusuf yang juga aktivis kemanusiaan ini pernah berkata dengan sebuah kalimat yang provokatif; “manusia dikutuk dengan kebebasannya!”
Perasaan gelisah ini bagi Sartre merupakan ciri dari kebebasan. Kegelisahan ini timbul dari beban tanggung jawab ketika menyadari bahwa Tuhan tak lagi relevan, dan ia sepenuhnya bebas untuk berkehendak serta berlaku. Dalam merealisasikan kehendak dan perbuatannya ini tak ada lagi landasan baginya, karena nilai-nilai ditentukan oleh dirinya sendiri. Sebuah alegori yang terkenal dari Sartre untuk menggambarkan kebebasan yang menggelisahkan ini adalah tentang seseorang yang berdiri di tepi jurang yang tinggi dan terjal. Menoleh ke bawah akan menimbulkan rasa cemas, karena membayangkan apa yang akan terjadi. Semuanya tergantung pada diri sendiri, apakah akan terjun, atau mundur untuk menyelamatkan diri. Tak ada orang yang menghalangi untuk terjun, segala yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan sendiri. Masa depan saya seluruhnya tergantung keputusan saya.

Orang lain adalah neraka bagi diri sendiri

Satu tema yang paling menarik dalam lika-liku pemikiran Sartre adalah tentang relasi antar manusia. Karena kontroversinya, tema ini pula yang paling sering menjadi sasaran dari para kritikusnya. ”Dosa

asal saya” kata Sartre, ”adalah adanya orang lain”. Demikian kira- menyimpulkan pandangan Sartre tentang hal ini. Bagi filusuf yang mengagumi ide-idenya Karl Marx ini, hubungan antara aku dengan orang lain, senantiasa berdasarkan konflik. Untuk membahas masalah ini kita harus mengingat kembali dua istilah yang diciptakan oleh Sartre untuk menggambarkan modus ber-Ada; être-en-soi, dan être-pour-soi, karena dari sini muasalnya asumsi Sartre. Mengingat doktrin tersebut, hakikat kesadaran manusia adalah intensionalitas, yakni kesadaran terhadap sesuatu, sekaligus mengobjekkan segala sesuatu. Sekarang bayangkan jika “Aku”, bertemu dengan “Aku-Aku” yang lain, kesadaran yang menegasi, bertemu dengan jenis yang sama. Dalam hal ini Sartre mengajukan sebuah contoh yang sangat bagus dan terkenal; saya sedang mengintip pada lubang kunci, ketika tiba-tiba mendengar langkah-langkah orang di belakang yang telah memergoki saya. Ketika tengah mengintip, apa yang dilihat adalah dunia yang berpusat pada saya, orang-orang yang tengah saya intip menjadi objek, dan sayalah subjeknya. Sementara, ketika seseorang memergoki saya, mendadak sayalah yang menjadi objek dalam kesadarannya. Mendadak saya didefinisikan (sebagai tukang ngintip, mau tahu urusan orang, dll).

Bahkan menurutnya hubungan antara orang yang saling mencintai adalah relasi yang didasarkan atas sikap saling memperdaya. “Aku berpura-pura menjadi objek cinta pacarku, dan menyerahkan diri sepenuhnya. Padahal, sebenarnya akulah yang mengobjekkan ia dan akulah subjeknya.” Ada juga kemungkinan lain, misalnya ketika si A, B, dan C saling berselisih. Bisa jadi si A, akan melupakan konfliknya dengan B untuk sementara, dan bersama-sama menjadikan C sebagai objek. Begitulah filusuf ini menjelaskan bagaimana sebuah perkumpulan atau organisasi bisa terbentuk.




IMAGE (Pemasalah; Heru Hikayat- Madfal 22 Juni 2011)


posted by Unknown on

No comments


IMAGE (Pemasalah; Heru Hikayat- Madfal 22 Juni 2011)*

“Kota kini telah membawa iman modernitas yang tak selamanya dirumuskan: bahwa dunia bisa dijinakkan karena manusia bisa mengetahuinya dengan benar, dan mengetahui dengan benar berarti ”melihat”. Bukan ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghidu”, atau ”meraba”. Yang visual memimpin pengenalan kita kepada dunia.” 
-Goenawan Mohammad

Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber pengetahuan (dan penguasaan) itu bahkan sudah ada di Yunani Kuno: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum Plato[**]. Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium sebelum dia, yang berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap pekat bagaikan gua, menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan keabadian. Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat mengatur hidup. Nah, Dewi Demeter akan tampil dalam sinar yang terang. Kebenaran akan disampaikan.

Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menantikan informasi. Bukan di Eleusis, tapi melalui sinar di televisi, film, layar komputer di mana saja. Aku melihat, maka aku ada.


Tentu saja beragam hal yang kita lihat setiap harinya, tapi percayalah dari mulai bangun tidur hingga beranjak naik ranjang kembali, kita selalu dikepung media visual; image. Heru Hikayat- yang menjadi pemasalah saat ini mengatakan:“coba saja perhatikan saat akan keluar gerbang tol Pasteur kita akan di suguhkan banyak sekali gambar. Apalagi menjelang pemilukada, jalan-jalan kota Bandung akan penuh dengan gambar wajah calon kepala daerah.”
Yang jadi persoalannya barangkali adalah sejauh mana gambar mampu merepresentasikan realitas aslinya, itu yang di tekankan Heru pada dialog rabu sore ini. Sebenarnya, gambar menjalankan logika pembodohannya sendiri dengan menyuguhkan “bola liar” (istilah yang dilontarkan Mbak Echi). Ketika suatu realitas “dipotong” dari peristiwa aslinya untuk kemudian dilemparkan ke pasar (media internet barangkali yang saat ini paling potensial) menggulung kesana-kemari yang memunculkan banyak sekali tafsir. Realitas dipotong oleh gambar, diambil salah satu sudut pandangnya, itu berarti ada banyak sisi yang dilupakan. Itu berarti ada banyak sisi yang tidak terwakilkan. Hasilnya sudah jelas, kemungkinan multi tafsir jauh lebih besar dibandingkan dengan teks.

Diecky mengambil contoh yang cukup bagus: ketika penutupan pelatihan bermain musik (saya lupa nama dan detailnya seperti apa) mereka ingin mengadakan serupa wisuda ala universitas lengkap dengan toganya, ketika itu ayahnya Syarif dianggap sebagai Rektor karena ia lah yang memfasilitasi kegiatan di garasi Rebana 10. Ia diminta untuk berpakaian lengkap sebagai guru besar (memang ayahnya Syarif merupakan guru besar yang lagi-lagi saya tidak tahu di universitas mana) untuk prosesi penyematan toga pada murid-murid pelatihan tersebut untuk kemudian diambil fotonya. Kontan ayahnya Syarif menolak hal tersebut…

Hal tersebut menjelaskan bahwa foto (gambar) akan sangat berbahaya meskipun diambil hanya untuk seru-seruan dan lelucon barangkali, ketika peristiwa itu hanya berupa peristiwa, mungkin tidak akan begitu masalah. Karena yang menangkap peristiwanya pun dapat melihat kondisi secara menyeluruh, tapi dapat dibayangkan jika peristiwa tersebut “dipotong” atau “dicomot” menjadi fragmen-fragmen gambar. Tentu interpretasi yang melihatnya tidak akan sama, mungkin ada yang menganggapnya serius, ada yang menganggapnya lelucon, bahkan penghinaan. Pada contoh kasus ini dapat terlihat dengan jelas bagaimana gambar dapat menjadi bola liar yang begitu berbahaya.

Kemudian Dini menyambut: “setelah dialog ini, saya jadi takut untuk mengambil gambar karena takut mempersempit peristiwa tersebut.” Kontan Heru menimpali: “Ya pilihannya disitu, ingin mendapatkan sedikit atau tidak sama sekali karena harus disadari juga, tanpa ‘mencatat’ manusia akan lupa tentang apa yang telah terjadi.”

Ya, tanpa mencatat manusia akan hidup pada dunia tanpa ingatan. Dunia tanpa sejarah. Begitupun upaya yang dilakukan saya kali ini dalam mencatat jalannya diskusi adalah upaya menata riwayat agar tertata rapih di dalam ingatan, meski sekadar permukaan mungkin cukup untuk rangsangan kembali mengingat.
Aku mencatat, maka aku ingat.


Lembang, 25 Juni 2011
Azhar Rijal Fadlillah

--------------------------

[*] Tulisan ini dibuat sebagai notulensi diskusi rutin Madrasah Falsafah
[**] Caping Edisi 11 April 2011; Goenawan Mohammad

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...