Diberdayakan oleh Blogger.
.

IMAGE (Pemasalah; Heru Hikayat- Madfal 22 Juni 2011)


posted by Unknown on

No comments


IMAGE (Pemasalah; Heru Hikayat- Madfal 22 Juni 2011)*

“Kota kini telah membawa iman modernitas yang tak selamanya dirumuskan: bahwa dunia bisa dijinakkan karena manusia bisa mengetahuinya dengan benar, dan mengetahui dengan benar berarti ”melihat”. Bukan ”mendengar”, ”mencicip”, ”menghidu”, atau ”meraba”. Yang visual memimpin pengenalan kita kepada dunia.” 
-Goenawan Mohammad

Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber pengetahuan (dan penguasaan) itu bahkan sudah ada di Yunani Kuno: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum Plato[**]. Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium sebelum dia, yang berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap pekat bagaikan gua, menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan keabadian. Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat mengatur hidup. Nah, Dewi Demeter akan tampil dalam sinar yang terang. Kebenaran akan disampaikan.

Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menantikan informasi. Bukan di Eleusis, tapi melalui sinar di televisi, film, layar komputer di mana saja. Aku melihat, maka aku ada.


Tentu saja beragam hal yang kita lihat setiap harinya, tapi percayalah dari mulai bangun tidur hingga beranjak naik ranjang kembali, kita selalu dikepung media visual; image. Heru Hikayat- yang menjadi pemasalah saat ini mengatakan:“coba saja perhatikan saat akan keluar gerbang tol Pasteur kita akan di suguhkan banyak sekali gambar. Apalagi menjelang pemilukada, jalan-jalan kota Bandung akan penuh dengan gambar wajah calon kepala daerah.”
Yang jadi persoalannya barangkali adalah sejauh mana gambar mampu merepresentasikan realitas aslinya, itu yang di tekankan Heru pada dialog rabu sore ini. Sebenarnya, gambar menjalankan logika pembodohannya sendiri dengan menyuguhkan “bola liar” (istilah yang dilontarkan Mbak Echi). Ketika suatu realitas “dipotong” dari peristiwa aslinya untuk kemudian dilemparkan ke pasar (media internet barangkali yang saat ini paling potensial) menggulung kesana-kemari yang memunculkan banyak sekali tafsir. Realitas dipotong oleh gambar, diambil salah satu sudut pandangnya, itu berarti ada banyak sisi yang dilupakan. Itu berarti ada banyak sisi yang tidak terwakilkan. Hasilnya sudah jelas, kemungkinan multi tafsir jauh lebih besar dibandingkan dengan teks.

Diecky mengambil contoh yang cukup bagus: ketika penutupan pelatihan bermain musik (saya lupa nama dan detailnya seperti apa) mereka ingin mengadakan serupa wisuda ala universitas lengkap dengan toganya, ketika itu ayahnya Syarif dianggap sebagai Rektor karena ia lah yang memfasilitasi kegiatan di garasi Rebana 10. Ia diminta untuk berpakaian lengkap sebagai guru besar (memang ayahnya Syarif merupakan guru besar yang lagi-lagi saya tidak tahu di universitas mana) untuk prosesi penyematan toga pada murid-murid pelatihan tersebut untuk kemudian diambil fotonya. Kontan ayahnya Syarif menolak hal tersebut…

Hal tersebut menjelaskan bahwa foto (gambar) akan sangat berbahaya meskipun diambil hanya untuk seru-seruan dan lelucon barangkali, ketika peristiwa itu hanya berupa peristiwa, mungkin tidak akan begitu masalah. Karena yang menangkap peristiwanya pun dapat melihat kondisi secara menyeluruh, tapi dapat dibayangkan jika peristiwa tersebut “dipotong” atau “dicomot” menjadi fragmen-fragmen gambar. Tentu interpretasi yang melihatnya tidak akan sama, mungkin ada yang menganggapnya serius, ada yang menganggapnya lelucon, bahkan penghinaan. Pada contoh kasus ini dapat terlihat dengan jelas bagaimana gambar dapat menjadi bola liar yang begitu berbahaya.

Kemudian Dini menyambut: “setelah dialog ini, saya jadi takut untuk mengambil gambar karena takut mempersempit peristiwa tersebut.” Kontan Heru menimpali: “Ya pilihannya disitu, ingin mendapatkan sedikit atau tidak sama sekali karena harus disadari juga, tanpa ‘mencatat’ manusia akan lupa tentang apa yang telah terjadi.”

Ya, tanpa mencatat manusia akan hidup pada dunia tanpa ingatan. Dunia tanpa sejarah. Begitupun upaya yang dilakukan saya kali ini dalam mencatat jalannya diskusi adalah upaya menata riwayat agar tertata rapih di dalam ingatan, meski sekadar permukaan mungkin cukup untuk rangsangan kembali mengingat.
Aku mencatat, maka aku ingat.


Lembang, 25 Juni 2011
Azhar Rijal Fadlillah

--------------------------

[*] Tulisan ini dibuat sebagai notulensi diskusi rutin Madrasah Falsafah
[**] Caping Edisi 11 April 2011; Goenawan Mohammad

Leave a Reply

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...