Kelas Filsafat Tobucil: Manusia Dalam Kajian Modern*
Gambar diambil dari sini |
Menurut pemahaman yang paling awam, manusia bisa
diartikan sebagai mahluk hidup yang berpikir. Benarkah manusia merupakan
satu-satunya mahluk hidup yang berpikir? Dengan itukah spesies bernama manusia
membangun peradabannya? Lantas bagaimana isu-isu modern pada kajian manusia
dapat kita bedah?
Kelas filsafat hari ini cukup meriah meskipun tidak digawangi langsung
oleh kedua mentornya, Rosihan Fahmi berhalangan hadir. Hari ini hanya ada
Syarif Maulana yang berusaha mengupas manusia dalam prespektif modern.
Jauh sebelum zaman dikatakan modern, manusia telah mengenal semesta
raya dengan caranya, zaman itu bisa ditandai dengan satu kata kunci:
teosentris. Semua gejala-gejala alam seringkali dikaitkan dengan tangan tuhan
yang ikut berperan, alih-alih tuhan jadi segalanya, tuhan jadi pusatnya.
Puncaknya pada abad pertengahan dimana gereja berkuasa, praktis para pemikir
zaman itu mengalami ‘mati suri’. Belum lagi holocaust yang menjadi dampak
begitu digjayanya gereja (agama) saat itu membuat manusia menjadi geram dengan
agama dan premis-premis supra-rasional. Dalam filsafat sendiri, lahirnya
Descartes dengan cogito ergo sum nya
digadang-gadang sebagai godam yang membangunkan para filsuf dari tidur
panjangnya, Descartes sebagai bapak filsafat modern.
Manusia di era modern dijadikan pusat segalanya, antroposentris.
Pemikiran-pemikiran besar dan penemuan-penemuan mutakhir pun mengalir dengan
deras. Manusia menjadi bebas, bebas melakukan apapun tanpa takut lagi pemikiran
dan penemuannya bertentangan dengan doktrin agama. Jika kita lihat kebelakang,
kita bisa melihat bagaimana Copernicus yang dibakar gereja karena teori Heliosentrisnya.
Lahirnya kebebasan itu pun membawa konsekuensi logis bagi manusia,
sejak era modern para tokoh besar mulai berani mengumumkan dirinya ateis di
depan publik. Sebut saja lima tokoh ateist terbesar sepanjang zaman (Franz
Magnis Suseno): Fuerbach, Marx, Freud, Nietzsche, Sartre. Kelima tokoh ini
meskipun dalam ‘pembunuhan’ tuhannya memiliki berbagai argumen yang berbeda,
namun nadanya kurang lebih sama. Bahwa manusia merdeka dan bebas maka tidak ada
yang namanya tuhan. Nietzsche mengatakan lebih lanjut bahwa orang yang beragama
berarti ia masih kekanak-kanakan yang ketika keinginannya tidak tercapai, ia
akan merengek pada orangtuanya sebagai simbol kekuatan yang lebih besar.
Pembahasan berlanjut dengan terfokus pada gagasan-gagasan kelima tokoh
ateis tersebut, Syarif Maulana mengupasnya satu-persatu dengan cermat.
Membandingkannya dan mencari narasi besar yang menaunginya. Karena memang di era
modern ini, semua isu memiliki grand
narative yang dibangun demi otoritas kebenaran. Termasuk kita perlu
mencurigai narasi besar itu, jangan-jangan memang kekuasaanlah yang justru
paling berperan dalam membangun otoritas kebenaran tersebut. Rasio, sebagaimana
sering dijadikan tuhan baru jangan sampai menjadi berhala seperti halnya tuhan
di abad pertengahan. Karena sesungguhnya pengetahuan rasional tentang harga
marmer seratus ribu di kota tidak membuat tukang batu di desa bisa menjual
marmer kampung halaman dengan harga lebih daripada seribu.
Seperti halnya kelas filsafat sore ini di beranda Tobucil, jangan
sampai Syarif Maulana lah yang memiliki kekuasaan atas kebenaran membuat para
peserta lumpuh dan mati suri, karena sedari awal tujuan filsafat modern sesungguhnya
hanyalah pembebasan dan memanusiakan manusia.
Azhar Rijal Fadlillah
25 Januari 2012
-------------------------------
*) Tulisan ini sebagai notulensi Kelas Filsafat Tobucil tanggal 24 Januari 2012 dengan tema 'Manusia dalam Kajian Modern'
*) Tulisan ini juga dimuat di blog Tobucil N Klabs