Tanto Tani, dari sebulir padi hingga segenggam arti.
Meskipun diluar udara
dingin bekas hujan yang tadi mampir, pertemuan pertama Klab Baca hari rabu, 8
Februari 2012 cukup hangat. Teman-teman yang hadir diantaranya ada Ijal, Ping,
Desy, Tarlen, Adi, Dini, Nanda dan tiga orang dari Klab Klasik—yang kebetulan
saat itu janjian bertemu di Tobucil—‘dipaksa’ ikut agar pertemuan pertama
terkesan gempita.
‘Mas Tanto’, sebuah
obituari karya Puthut EA terbilang berhasil menghidupkan kembali klab ini dari
‘mati suri’nya yang cukup lama. Ijal, selaku moderator membuka pertemuan dengan
perkenalan satu persatu peserta dan memaparkan secara singkat mengapa klab ini
dihidupkan kembali, lalu Tarlen melanjutkannya dengan sejarah Tobucil yang
ternyata berawal dari Klab Baca. “Dulu, sebelum Tobucil terbentuk, saya dan
beberapa teman lainnya yang suka buku mengadakan pertemuan rutin untuk membicarakan
dan mengapresiasi cerpen, novel, atau karya-karya tulis lainnya. Setelah itu,
barulah terbentuk Tobucil. Jadi, Klab Baca dulu, baru Tobucil.” Papar Tarlen, Founder sekaligus pengurus Tobucil N
Klabs.
Kami membaca dengan
suara keras dan gaya yang berbeda-beda secara bergantian. Hal ini juga salah
satu upaya menghidupkan kembali cara baca dengan suara terbuka yang harus kita
akui, kita sudah kehilangan kebiasaan itu. Ternyata dampaknya cukup baik,
selain membaca, kita juga belajar untuk mendengarkan oranglain. Setelah semua
selesai dibaca, satu persatu mengeluarkan pendapatnya tentang karya tersebut.
“Bagi saya, ini gaya penulisan obituari yang baik. Jarang sekali ada penulis
yang mampu menulis obituari dengan gaya seperti ini.” Ungkap Adi, segera setelah
pembacaan karya ini selesai. “Biasanya, penulisan obituari sangat kental dengan
emosi yang meluap-luap. Hasilnya, pembaca hanya akan mendapati sebuah
‘tangisan’ atas kehilangan. Tidak lebih. Berbeda dengan karya Puthut ini, ia
cukup bisa membuat obituari mengalir. Puthut berhasil memaparkan momen-momen
penting selama hidup Mas Tanto, memperlihatkan ‘hal-hal kecil’ yang telah
dilakukan dan ditinggalkan Mas Tanto. Dengan untaian yang proporsional, kita
seakan begitu mengenal Mas Tanto melalui tulisan ini.” Lanjut Tarlen dengan
semangat.
“Energi itu kekal”
begitu tulis Puthut. Ia seolah ingin menyampaikan pada publik bahwa apa yang
ditinggalkan Mas Tanto masih mengalir dalam dirinya dan orang-orang yang kenal
dengan Mas Tanto.
Nanda yang baru
datang juga menimpali obrolan “Dalam tulisannya yang ini, Puthut sangat
terlihat cair. Tidak seperti cerpen-cerpennya yang meskipun bernada keseharian,
seringkali membuat kita mengerinyitkan dahi. Diksinya pun pas, tidak
menggunakan metafor seperti yang biasa ia lakukan pada cerpen-cerpennya.”
Lalu, ada semacam
kesadaran baru bahwa menulis obituari sepertinya harus mulai dibiasakan di
kultur kita, karena dengan begitu, yang ditinggalkanpun akan sedikit berlega
(mungkin) karena menyadari betapa sudah banyak yang dilakukan oleh almarhum.
Karena jangan-jangan tujuan hidup hanyalah itu, memberi makna dan
meninggalkannya untuk orang-orang setelah kita.
11
Februari 2012,
Azhar
Rijal Fadlillah
-------------------------------------
*Tulisan ini juga di posting di blog Tobucil http://tobucil.blogspot.com/2012/02/klab-baca-tanto-tani-dari-bulir-padi.html
*Untuk
tulisan asli Puthut EA, ‘Mas Tanto’ bisa langsung dilihat di website pribadi
Puthut http://www.puthutea.com