Dapatkah kamu bayangkan kebahagiaan sederhana yang sedang ada dihadapanku saat ini.
Aku duduk di sebuah meja makan, menempati kursi paling pojok yang berada di ruangan. Tepat di samping sebelah kiri mejaku, terdapat dua buah jendela yang mengantarkanku pada lanskap kota asing ini. Terhampar jalan-jalan lengang, truk tua yang sedang beristirahat, rumah tempat tinggal yang sebagian lampunya masih menyala redup. Bukit kehijauan menyembul di ujung jalan, beberapa anak berseragam merah-putih berlari-lari kecil dengan tas yang terlihat kedodoran. Udara masih terlalu dingin di kota asing ini.
Aku memesan sebuah menu yang juga asing bagi lidahku. Sambil menunggu pesanan tiba, aku mengeluarkan sebungkus rokok dari kantung kemejaku, menyulutnya, menghembuskan asapnya perlahan menuju jendela disamping sana.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari kota ini. Sebuah kota kecil yang penduduknya mungkin hanya sejumlah satu kecamatan di kota besar. Tidak ada tempat wisata yang biasanya menjadi daya tarik sebuah kota bagi para pelancong. Bukan juga sebuah kota industri yang hiruk-pikuk dengan asap pabrik dan kemacetan. Hanya ada satu stasiun kecil di ujung jalan depan rumah makan ini, satu terminal di sebelah utara kota, satu dermaga tua yang mungkin sudah tidak beroperasi lagi. Bahkan kota ini tidak memiliki pusat perbelanjaan modern. Sinyal telepon genggamku pun hanya ada di beberapa ruas jalan saja, biasanya di jalan-jalan utama seperti rumah makan ini.
Aku mengunjungi kota ini bukan dengan tujuan untuk meluruhkan penat hidup, kebiasaan melodrama yang tak mau aku ulangi di usia yang sudah tidak remaja lagi. Kadang aku tersenyum tipis ketika mengingat beberapa tahun yang lalu, ketika luka dan sedih sudah tidak tertangguhkan oleh alkohol, aku sering pergi mengunjungi kota-kota kecil. Tinggal di penginapan yang paling sepi. Berdiam, hanya untuk menangis dan menulis puisi-puisi cengeng tentang melodrama kehidupan. Aku datang kesini dengan satu tujuan, seikat harapan yang mungkin masih tersisa di batas horison yang jauh disana. Sebab dalam hidup ini, memang masih ada batas-batas terujung yang layak untuk didekati. Aku mengunjungi kota ini untuk mendekatkan diri pada titik jauh itu.
Seorang perempuan paruh baya datang membawa dua piring dan segelas minuman, menghidangkan menu yang sedari tadi aku tunggu kedatangannya. Ia melemparkan senyum lalu kembali masuk keruang masak di belakang rumah makan ini. Segera aku makan dengan lahap, sambil sesekali mendengar berita melalui televisi yang tergantung di sudut rumah makan ini. Ditengah kekhusyukan prosesi makan pagiku, seorang perempuan menggendong ransel memasuki rumah makan ini. Ia terlihat kebingungan, aku menduga ia juga sama seperti aku, seseorang yang datang dari jauh. Aku kembali melanjutkan makan yang sempat terhenti, kembali dengan selentingan kabar-kabar yang didengungkan pembawa berita di televisi.
Diluar, jalanan mulai terjaga dari tidurnya. Beberapa bis antar kota terlihat melintasi jalanan di depan rumah makan ini. Aku memesan secangkir kopi, sebagai sebuah isyarat bahwa aku masih betah berada disini, tidak ingin segera pergi. Perempuan dengan ransel besarnya itu masih ada di depanku, terhalangi oleh tiga meja. Ia masih sibuk dengan catatan-catatan kecilnya yang terlihat berserakan di meja. Sedari tadi, ia memang sibuk mencatat dan membaca kembali kertas-kertas kecil itu. Kopi yang aku pesan sudah tersaji di meja, masih mengepulkan asap tipisnya. Aku meniup-niup cangkir kopi itu, seolah sudah tidak sabar ingin segera mencicipi kopinya.
"Masih panas, mas. Minum kopi itu tidak bisa seperti meminum susu. Kok terburu-buru?"
Suara itu terdengar begitu dekat, ketika aku tengadahkan kepala, perempuan yang sedari tadi sedang sibuk dengan kertas-kertasnya sudah berdiri didepan mejaku. Gerakan matanya seolah memberi tanda tanya apakah ia boleh duduk di sini. Aku hanya mengangguk. Tidak tahu harus berkata apa.
"Datang dari mana mas? sedang ada keperluan di kota ini ya?"
Tidak hanya aku, sepertinya ia pun melihat aku sebagai lelaki asing. Aku segera berhenti dengan kesibukan meniup cangkir kopi. Menyulut sebatang rokok dan perempuan yang kini ada dihadapanku memesan kopi juga. Sepertinya ini akan jadi percakapan dua orang asing di kota yang juga asing.
"Iya mba, ada keperluan bertemu seseorang di kota ini."
"Adiwidya, mas..." Ia mengulurkan tanganya.
"Kresna" Jawabku singkat. "Mba Widya sendiri?"
"saya sedang penelitian untuk tesis mas. Ini hari pertama tiba di kota ini. Masih bingung juga akan menetap dimana"
"Di ujung jalan ini ada penginapan mba, kamarnya cukup bersih dan yang tidak kalah pentingnya, disana tenang mba. Tidak berisik. Saya yakin itu salah satu hal yang dibutuhkan mba saat ini."
"Mas-nya sering kesini ya?"
"Ini juga kali pertama saya ada di kota ini mba. Kebetulan penginapan saya disana dan sepengetahuan saya, hanya ada tiga penginapan di kota ini. Penginapan itu lah yang paling dekat."
Percakapan menjadi cair, seperti dua orang kawan lama yang terpisahkan dan kini bertemu kembali di sebuah rumah makan asing. Ada beberapa kesamaan yang membuat kami betah untuk bercakap-cakap lama. Kami membenci keramaian, tidak pernah menyimpan ketertarikan pada acara televisi, menyukai beberapa novel yang sama, dan sepakat untuk tidak pernah menganggap hebat seorang penulis yang bertutur dalam kerumitan.
"Seorang penulis yang menuturkan idenya dengan rumit, ia belum bisa dikatakan sebagai penulis yang hebat. Ia masih sibuk berkutat dengan dirinya."
"Maka, seseorang yang mampu menulis dengan ringan dan tepat sasaran adalah seorang penulis yang telah selesai dengan kerumitan." Aku sangat menyetujuinya.
Kita bicara banyak hal, dari mulai resep nasi goreng, koran pagi, mesin ATM, politik, sastra, seni, hingga hubungan percintaan. Semuanya kita bicarakan dengan nada ringan, tanpa tendensi saling menggurui dan merasa diri paling hebat. Kita sudah sama-sama mafhum, bahwa banyak hal di dunia ini tidak perlu terjelaskan dengan gamblang. Kita saling mengagumi dalam diam.
Kalau aku perhatikan, ia memang perempuan yang menarik. Ia terlalu cantik untuk duduk bersama denganku. Setiap kata yang meluncur perlahan dari mulutnya, setiap jeda yang dibuat antar kalimat. Aku seperti terayun-ayun diantara jeda itu. Matanya yang kadang sayu ketika membicarakan hal tertentu bisa seketika berubah menjadi tajam. Mata yang aku pikir menyimpan cukup banyak luka dari masa yang jauh tertinggal dibelakang. Mata yang disempurnakan oleh sedih dan malam. Sepasang mata yang menjadikannya sempurna sebagai seorang perempuan.
Ia tidak sedikitpun tertarik dengan masa laluku, apa saja yang sudah aku lakukan, begitupun denganku. Aku hanya sedang menikmati percakapan sederhana dengan seorang perempuan yang tidak aku kenal, di sebuah pagi yang jauh dari tempat aku berasal. Baginya, masa lalu akan tetap lindap pada punggung masing-masing, seperti waktu, tetap hadir dengan misterinya.
"Kamu setelah dari sini akan langsung kembali ke penginapan atau punya rencana kegiatan lain?" Ia mengatakan itu dengan nada sedikit merajuk, seolah-olah ia merayu dengan lembut bahwa ia masih ingin ditemani. Masih banyak yang ingin ia bagi bersamaku.
"Aku belum tahu, sebenarnya aku datang jauh-jauh kesini untuk bertemu seseorang. Sepertinya aku akan berada disini lebih lama dari sekadar sarapan pagi dan minum kopi" Ia mengerti maksudku, aku juga masih sangat ingin berbagi cerita dengannya. Aku memesan lagi cangkir kopi kedua.
Aku meyakini satu hal, setiap pertemuan selalu membuka berbagai kemungkinan. Setiap percakapan, selalu menemukan potensi-potensi untuk saling memetakan, saling merumuskan. Itulah sebabnya mengapa bagi sebagian orang, percakapan merupakan cara paling ampuh untuk mengenal seseorang. Tapi aku lebih percaya pada sesuatu yang tidak nampak, sesuatu yang tidak ingin dilihat. Aku selalu menyukai gudang. Ya. Gudang bawah tanah! Sebuah tempat dimana seseorang menyimpan segala hal yang dianggapnya sudah tidak layak untuk dilihat. Mungkin aku akan menemukan bingkai foto-foto tua tentang masa-masa yang terlupakan. Mainan saat masih kecil. Mungkin beberapa barang kenangan bersama mantan kekasih juga akan ada disana. Jika aku ingin mengenal seseorang, aku begitu yakin bahwa apa yang ditampakan merupakan apa yang ingin dilihat. Tapi gudang, gudang adalah mesin waktu paling mutakhir untuk mengenal seseorang.
Tapi perempuan ini, ia berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya yang pernah aku kenal. Ia memiliki ketenangan yang sangat sempurna. Seolah ia memang diwarisi ketenangan para dewa dalam menghadapi marabahaya. Ia duduk dengan tenang, cara bicara dan tatap matanya. Semua itu kompak dengan gerak tubuhnya yang menggambarkan penguasaan diri secara utuh. Ia seperti sudah merencanakan pertemuan ini, ia terlihat sangat siap untuk segala kemungkinan. Sepertinya ia juga tidak berusaha menarik perhatianku dengan menceritakan hal-hal yang mungkin membuat aku tertarik.
Aku pikir, aku mulai tertarik dengan perempuan ini. Segala kesederhanaannya membuat aku seperti berada di sebuah rumah pohon di tengah hutan entah dimana. Tenang, ringan. Hanya ada perasaan nyaman.
"Kamu sudah punya istri?" Aku tersentak dari segala lamunan. Aku melihat ke arah televisi, masih berdengung dengan program berita. Aku yakin suara itu bukan berasal dari sana.
"Hey, Krisna... Aku tidak melihat ada tanda dalam dirimu yang menandakan bahwa kamu sudah beristri. Kamu sudah menikah?" Sekarang aku yakin, suara itu berasal dari perempuan yang duduk dihadapanku.
Telepon genggamku berbunyi, sebuah pesan masuk. Dari istriku, ia sudah menunggu 30 menit yang lalu di stasiun bersama anak kami.
Aku segera bergegas membayar makanan dan kopi. Perempuan itu masih duduk dengan ketenangan yang sama seperti saat ia pertama datang.
"Krisna, terimakasih atas waktunya pagi ini. Sampaikan salamku pada istrimu. Aku benar-benar rindu percakapan seperti ini. Dan kamu, ah masih saja seperti dulu."
Sekarang, sudah bisakah kamu membayangkan kebahagiaan sederhana yang aku rasakan kali ini? Ah, seperti cinta itu sendiri. Sesungguhnya hanya peristiwa sederhana. Getar dan desir membuncah, pecah, mengangkasa, lalu tiada.
Diluar jendela, hujan turun sangat deras.
posted by Unknown on cerpen