Diberdayakan oleh Blogger.
.

Sektor Informal- Eagle Awards 2011


posted by Unknown on

No comments


Kertas Gagasan; Usaha Sektor Informal sebagai Penggerak Utama Roda Perekonomian Indonesia
Azhar Rijal Fadlillah*)



Sektor informal, khususnya di negara dunia ketiga seperti Indonesia, bagaimanapun juga tidak bisa diremehkan keberadaannya. Dengan kejelian dan kreativitas yang muncul dari para pelakunya, sektor informal memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap krisis. Dengan perputaran modal yang –jika diakumulasikan—sangat besar, hasil (keuntungan) yang didapatkannya relatif bisa terdistribusikan secara luas, serta dengan daya serap tenaga kerja yang tinggi, sektor informal sesungguhnya telah berperan sebagai penggerak utama roda perekonomian Indonesia.
**



Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1971). Keith Hart menjelaskan, sektor informal adalah bagian dari angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga kerja terorganisasi. Apa yang dijelaskan oleh Hart rasanya belum cukup untuk memahami pengertian sektor informal secara komprehensif. Ada begitu banyak kegiatan sektor informal sebagaimana yang kerap terlihat di jalan-jalan kota di dunia ketiga yang tidak terdefinisikan Hart: pedagang kaki lima, penjual koran, pengamen, pengemis, pedagang asongan, dan pelacur, misalnya. Mereka itu merupakan pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil, dengan pendapatan rendah dan tidak tetap pula.
Ada beberapa karakteristik yang dapat dikategorikan sebagai usaha sektor informal, di antaranya adalah sebagai berikut ini :
a. Mudah untuk dimasuki;
b. Bersandar pada sumber daya lokal;
c. Usaha milik sendiri;
d. Operasinya dalam skala kecil;
e. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif;
f. Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal;
g. Tidak terkena secara langsung oleh Regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.


Kemunculan sektor informal kerap kali ditandai oleh kontradiksi antara ekonomi-politik dengan evolusi pertumbuhan perkotaan di negara-negara Dunia Ketiga. Pertumbuhan penduduk yang terkonsentrasi di kota-kota besar Negara Dunia Ketiga terjadi dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hanya saja, pertumbuhan kota-kota tersebut ternyata tidak diikuti oleh percepatan yang sebanding dengan tumbuhnya industrialisasi. Fenomena ini oleh para ahli disebut sebagai ―urbanisasi berlebih atau over urbanization‖. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat urbanisasi yang terjadi terlalu tinggi melebihi tingkat industrialisasi yang dicapai oleh evolusi suatu masyarakat. Akibatnya, lapangan pekerjaan yang mampu diserap sektor formal mengalami ketimpangan dengan angkatan kerja yang ada di suatu negara.

Dengan keterbatasan lapangan pekerjaan di sektor formal, hal itu tidak lantas membuat para urban menyerah. Mereka mencari peluang usaha dengan daya kreatifnya untuk dapat bertahan dalam kondisi yang serba terbatas. Dengan modal yang kecil, tingkat keahlian yang rendah, serta akses masuk yang relatif mudah, sektor informal kemudian menjadi alternatif bagi para urban yang membutuhkan pekerjaan. Selain itu, sektor informal pun bisa menyerap mereka yang telah bekerja di sektor formal untuk menjadikan usaha di sektor informalnya sebagai kerja sampingan.
Dengan melihat kenyataan tersebut, usaha di sektor informal bisa dipastikan menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Dari data yang berhasil dihimpun oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) per Desember 2010, tidak kurang dari 63% dari total angkatan kerja produktif di Indonesia yang terserap oleh sektor informal, yang terbagi ke dalam beberapa skala usaha, dari mulai kecil, menengah, hingga skala besar. Jumlah tenaga kerja di sektor informal ini merupakan angka yang besar, jauh melebihi jumlah pekerja yang terserap di sektor formal.

Fenomena sektor informal di Indonesia, memang bukan hal baru. Namun, hal penting yang patut dicermati adalah geliat mereka yang tak pernah padam. Selama ini, sektor informal bahkan dianggap sebagai katup pengaman yang efektif bagi perekonomian masyarakat bawah untuk tetap survive menghadapi kesulitan hidup yang terus membelit mereka. Dengan kejelian dan daya kreatifnya, mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan--setidaknya bagi diri mereka sendiri-- yang tidak terduga. Siapa yang mengira, jasa ojek payung, semir sepatu, tukang patri, tukang angkut kayu, dan lain sebagainya dapat tetap bertahan di situasi dan kondisi dewasa ini.

Mereka pun kerap memanfaatkan ruang-ruang publik yang terbuka sebagai peluang. Lihat saja lapang Gasibu Bandung di minggu pagi —sebuah area lapangan terbuka di depan gedung sate—yang kemudian dijadikan sebagai pasar kaget, tempat berkumpulnya para pedagang untuk menjajakan dagangannya. Mereka cukup jeli melihat kerumunan orang yang melakukan aktivitas lari pagi di hari minggu; atau coba kita lihat di sejumlah kantor pos di Bandung: seketika pelataran parkir bisa dijadikan lapak usaha. Mereka tahu benar bahwa pada tanggal-tanggal tertentu --pada umumnya awal bulan-- para pensiunan akan mengambil uang pensiunnya di kantor pos. Itu pun kemudian dijadikan peluang untuk menjual dagangan atau menjajakan jasanya. Sungguh, kejelian dan kreativitas adalah modal utama mereka.

Meski begitu, fenomena sektor informal bukan tanpa kendala: penetrasi pasar dan produktivitas yang meningkat dengan lambat, misalnya. Lihat saja industri rumah tangga pembuat mainan dan industri tekstil di bilangan Kopo atau industri sepatu di Cibaduyut. Mereka kehilangan kekuatan untuk masuk pasar karena harus bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar Indonesia, yang memberikan harga lebih murah. Merujuk pada teori ―economy of scale‖, ketika suatu produk dimassalkan, biaya produksi dapat ditekan dan total harga pokok penjualan lebih bersaing. Hasilnya, produk-produk impor –yang notabene memiliki pengaruh modalnya yang kuat-- akan mampu menjual produk dengan lebih murah. Untuk soal persaingan dengan produk-produk impor, seyogyanya pemerintah perlu melakukan semacam proteksi dan stimulus agar para pelaku di sektor informal lokal yang memiliki modal terbatas tersebut bisa tetap bertahan.

Mengingat sektor informal ini memiliki pelaku yang sangat besar, berbagai kendala yang dihadapi oleh usaha sektor informal perlu ditangani dengan lebih serius. Memang, telah ada sejumlah usaha yang dilakukan pemerintah untuk membantu usaha di sektor informal ini. Dalam hal permodalan, dengan telah dijalankannya program Kredit Usaha Rakyat (KUR), misalnya.

Program KUR tersebut boleh jadi bisa sangat membantu. Namun, hal itu akan menjadi sia-sia jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM pekerja, pembinaan, dan pelatihan berkesinambungan. Telah banyak contoh embrio usaha rakyat yang terpaksa harus gulung tikar akibat tidak adanya pengembangan yang terus-menerus.
Daya tahan yang dimiliki oleh sektor informal pun sudah sangat teruji. Sektor informal ini sangat tahan banting. Mari kita tengok kembali sejarah perekonomian Indonesia yang sempat terpuruk akibat krisis ekonomi 1998. Sementara usaha di sektor formal mengalami kehancuran besar-besaran, kita melihat dengan jelas bahwa sektor informal lah yang ketika itu tetap bertahan. Tukang bakso masih dapat menjajakan dagangannya di saat sektor perbankan kita carut-marut, misalnya. Mereka masih tetap dapat menghidupi keluarganya, yang juga berarti membantu mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.

Lebih dari itu, hal yang tak kalah pentingnya dari usaha sektor informal adalah daya distribusi modal dan profit yang jauh lebih merata ke semua kalangan. Jika pada korporasi-korporasi besar terjadi penumpukan modal dan profit yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, akan ada banyak kalangan atau komunitas/masyarakat yang bisa terhidupi oleh sektor informal. Dengan kata lain, agregat perputaran modal di sektor informal, jika diasumsikan sama dengan sektor formal, sesungguhnya akan mampu menghidupi jauh lebih banyak keluarga Indonesia.

Diakui atau tidak, perekonomian Indonesia telah terselamatkan oleh mereka yang terlibat di usaha sektor informal tersebut. Mereka lah yang sesungguhnya harus disebut sebagai pahlawan ekonomi Indonesia. Mereka adalah pahlawan yang mungkin tidak pernah tercatat oleh sejarah; pahlawan tanpa nama, jika kita tidak segera menyadarinya.
Ya, bagimu, Indonesia: itulah mereka, para pelaku usaha di sektor informal, yang cucuran keringatnya telah tertumpah, namun tak pernah tercium wanginya.
***

Bandung, 11 Mei 2011


-----------------------------------------------
*) Kertas gagasan ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Eagle Awards yang kami ikuti (Azhar Rijal Fadlillah dan Ratnaningsih). Setelah melalui berbagai dialog, terutama dengan M.S.Firdaus, rampunglah essay singkat ini. Untuk lebih mempertajam gagasan yang kami buat, saya meminta kerelaan rekan-rekan madfal untuk ikut serta mempertajam gagasan kami. Juga tidak lupa saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Om Daus atas bantuannya yang sangat besar dalam penggarapan essay ini.
Terimakasih...

Leave a Reply

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...