Diberdayakan oleh Blogger.
.

Sebuah Catatan Tentang Alasan Saya Mencatat


posted by Unknown on ,

No comments

Sebuah Catatan Tentang Alasan Saya Mencatat*


“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah  

(Rumah Kaca, h. 352)
― Pramoedya Ananta Toer

Dulu sekali, saya pernah membanggakan ingatan sejarah. Semasa SMP hingga SMA, nilai sejarah saya selalu bagus, jelas orang tua saya bangga. Dengan mudah, saya mampu mengingat nama-nama, tahun hingga tanggal suatu peristiwa, bahkan kronologisnya bisa saya hapal baik-baik. Tentu saja hal ini membawa banyak manfaat, yang paling saya rasakan saat itu, saya bisa dengan mudah mengerjakan semua soal ujian, nilaipun gilang-gemilang berkilauan di buku rapor. Sebab setelah saya amati, ternyata soal-soal itu—apapun matapelajarannya—kebanyakan hanya mengandalkan ingatan.


Bertambahnya usia, bertambah pula ragam dan spektrum kehidupan. Persoalan sehari-hari yang saya geluti tidak hanya angka-angka, nama-nama, dan sederet proses ingatan lainnya. Mulai muncul yang dinamakan orang-orang sebagai cinta, lalu luka dan kenangan tentu saja hadir sepaket dengannya. Kenangan, betapa tidak, hadir menghantam seperti badai. Tak kenal aba-aba. Lantas luka, mahluk itu membuat sebongkah lubang dalam diri saya, yang semakin lama semakin membesar. Belum lagi kuliah, membaca buku, pergi jalan-jalan ke kota manapun dengan siapapun, berdiskusi, pameran, dan sederet kegiatan lainnya.


Belakangan saya menyadari, ada yang hilang dari kemampuan mengingat saya. Saya tidak bisa lagi dengan begitu mudah memanggil peristiwa-peristiwa yang pernah singgah. Semuanya terbang bersama mega-mega menuju negeri yang entah.



Sejak itu, kurang lebih sekitar awal 2009 saya mulai menulis. Apa saja saya tuliskan. Mulai dari catatan harian tentang percintaan yang menggelikan—meskipun kebanyakan ngilu yang lucu—hingga mencatat analisa sederhana tentang pertandingan-pertandingan sepakbola. Masa-masa itu saya begitu tertarik pada permainan sepakbola, bukan sebagai pemain, tapi sebagai pengamat—yang sebenarnya bercita-cita menjadi pelatih. Sedari dulu saya tertarik pada olah raga yang satu ini, dan kesebelasan jagoan saya tentulah Manchester United.


Setiap MU bermain, hati saya berdebar. Segera saya siapkan minuman, rokok, dan catatan kecil. Saya menulis prediksi-prediksi, analisa strategi, dan review hasil pertandingan. Jika MU menang dengan gemilang, hidup saya terasa begitu utuh, begitu penuh. Begitupun sebaliknya, jika kalah, uring-uringan sendiri di kamar dan mendadak setiap warna merah menjadi sendu. Poster Eric Cantona di kamar, saya tatap dalam-dalam. Lalu saya bergumam dalam hati: Machester itu merah, Fergie! Merah itu berani. Merah itu marah. Merah itu tak kenal lelah. Merah itu Manchester, Fergie! Merah itu Manchester United!


Lalu, seperti kebanyakan remaja seusia saya lainnya, saya mengenal internet. Tentu saja di usia saat itu, kebutuhan utama saya di dunia maya hanyalah chatting dan sosial-media. Di dunia inilah saya baru mengenal jasa layanan blogging yang disediakan oleh blogspot (blogger). Awalnya saya hanya melihat-lihat blog yang berisi liputan pertandingan, analisa sepakbola, dan tentu saja fanbase Manchester United Indonesia. Kemudian beberapa diantara teman saya mulai menuliskan catatan hariannya di blog, awalnya saya merasa jijik, masa catatan harian yang berisi curhat dimasukan kedalam blog yang dapat dibaca semua orang. Lalu—seperti halnya perkenalan saya dengan facebook—keesokan harinya saya ikut-ikutan membuat. Keren juga saya pikir.

Sejak perkenalan saya dengan blogspot, tulisan saya mulai beragam. Saya menulis semakin banyak, meskipun saya sendiri juga ragu, sepertinya tidak ada yang membaca tulisan saya. Saya mulai berlagak sok tahu dengan kalimat-kalimat bijak yang dikutip serampangan—dari buku yang pernah saya baca maupun dari wikipedia—tak kenal aturan itu. Semakin lama, perbandingan tulisan yang ada di blog dan yang ngendon begitu saja di komputer semakin tidak seimbang. Ada rasa candu untuk mempublikasikan semua tulisan saya, mendapati beberapa komentar sambil terus memantau perkembangan traffic hints yang tertera di blog. Saya merasa semakin hebat, saya mampu menulis.

Ketika saya buka-buka kembali arsip tulisan saya di tahun 2009, saya terperanga! kehilangan jejak. Sebagian tulisan terbuang, saya sendiri yang menghapusnya. Entah apa yang ada di pikiran saya saat menghapusnya, malu pada diri sendiri barangkali. Jenis tulisan-tulisan yang saya hapus itu kurang lebih memang menjengkelkan, baru tahu sedikit saja sudah ingin mengajarkan banyak hal pada siapapun yang membacanya. Tapi tunggu dulu, adakah alasan lain bagi penulis untuk membenarkan proses kreatifnya selain alasan yang saya tulis diatas? Paling tidak, seorang penulis tentu berupaya membagi pengalaman dan pengetahuannya untuk pembaca luas, kalangan tak terbatas. Mungkin hanya pemilihan cara bertutur yang perlu diperbaiki, perlu diperhalus.

Sepertinya itu juga alasan dibalik pemberian nama blog: IJALISME. Sebuah blog yang akan mengajarkan kebenaran pada para pembacanya. Hahaha! saya tertawa geli ketika mengingatnya.

Tapi bagaimanapun juga, saya menyesali tindakan bodoh itu. Catatan, sebagaimana fungsinya adalah sebuah perjuangan melawan lupa, sebentuk perlawanan bergeriliya melawan ingatan yang kian lapuk. Bahwa didalamnya terdapat masa lalu yang menggelikan, masa lalu yang memalukan, tidak jadi soal. Sebab, itulah yang menyusun saya hari ini. Komposisi kebodohan, ‘keserba-soktahuan’, dan kesombongan itulah yang menggenapi saya hari ini.

Saya sadar, paling tidak, saya harus berbuat sesuatu. Harus mempelajari sesuatu dan tentu saja mencatatnya. Sebab karya, sudah terlalu banyak berhutang pada hidup yang begitu banyak memberi, yang tak pernah lelah mengasihi. Sebab karya merupakan endapan dan ekstraksi pengalaman hidup, atau mungkin juga limbah dari produksi perkembangan mental diri. Sebab hidup terlalu sayang untuk dibiarkan sunyi sendiri, tanpa jejak, tanpa arti.

Belakangan ini, pada rentang waktu akhir 2011 hingga 2012, saya mulai merapihkan kembali arsip tulisan saya, baik yang di blog maupun yang di komputer. Saya sedang memiliki hobi baru: menulis fiksi. Biarpun beberapa tahun yang akan datang tulisan itu akan menggelikan—setidaknya bagi diri saya sendiri—saya berjanji untuk tidak pernah membuangnya. Mengulangi kesalahan.

Saya juga sempat menimbang-nimbang penamaan blog ini. Saya berniat menggantinya, tapi segera saya urungkan niat itu.

IJALISME, sebagaimana –isme lainnya, menawarkan suatu cara untuk memandang hidup, menatap persoalan. Memberikan daftar menu untuk menjalani arus kehidupan. Tapi yang perlu diingat, akhiran –isme disini bukan seperti akhiran –isme pada kapitalisme, sosialisme, eksistensialisme, anarkisme, atau sederet pasukan ajaran ketat lainnya.

IJALISME hanyalah suatu cara alternatif memandang rintik hujan yang jatuh membasahi tanah, lalu menggenang di perkampungan, berkelok pada selokan kumuh dan bau, memasuki deras sungai yang penuh sampah, hingga tiba di samudera lepas tanpa tahu berasal dari mana hulu air itu. Semuanya bermuara pada kesatuan kosmik berupa samudera raya.

IJALISME hanyalah suatu sikap menikmati senja keemasan, menekuri batas horison, membayangkan mega-mega yang berhambur jingga, lalu kembali gelap menuju malam. Tak pernah berdiam pada genangan musim, bersetia pada pola cuaca, atau beriman pada warna langit.

IJALISME hanyalah catatan yang boleh dibaca sambil meminum kopi, merokok, bersenda gurau dengan kawan-kawan, atau catatan sambil lalu ketika menanti pertandingan sepakbola petang nanti. Sebab IJALISME tidak pernah mampu berdiri didepan untuk memimpin atau dibelakang untuk mengikuti. Berdiri disamping saya lah! maka kita akan menjadi teman yang baik.

Setiap orang selalu membutuhkan alasan terhadap apapun, dan saya telah mencatatkannya dengan sangat cerewet, maafkanlah...

Saya memang bukan seorang filsuf atau sastrawan, tapi boleh kan saya juga memikirkan hidup lalu mencatatkannya? Sebab, jangan lagi kita ulang kesalahan para pendahulu kita yang memperjelas semua hal, tapi lupa bagaimana cara memotong semak di halaman belakang dan menyiram bunga di sepetak halaman depan.

Sebab bisa jadi, kebahagiaan itu memang bersembunyi di sepetak halaman belakang rumah kita…
***

Foto oleh Desianty Wirabrata, Februari 2012
Tabik,
Azhar Rijal Fadlillah
April 2012
-------------------------------------------------

*) Tulisan ini dimasukan dalam halaman 'Tentang IJALISME'

Leave a Reply

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...