Diberdayakan oleh Blogger.
.

Soliloquy Pukul Tiga Pagi; Keberangkatan


posted by Unknown on

No comments

kamu membisik, lebih menyerupai desis yang tertahan luka teramat sakit;
tengadahlah sayang, tidakkah engkau mendapati sedikit saja sisa-sisa keinginanmu pada sorot mataku ini?


telah aku titipkan pada sajak-sajak
kenangan kita yang hanya seperempat sloki whiski
sebab esok memang padang halimun,
yang membuat kita enggan lupa. enggan bangun. enggan terjaga dari segala mimpi-mimpi.
hingga kita mengerjang kuat, berteriak entah. pada sebuah kepergian yang benar-benar niscaya.

cerita-cerita. memang memerlukan rumahnya masing-masing. sebab sudah sedemikian sering mereka terusir dari gang-gang sebuah kota, dari peron yang memberangkatkan dan memulangkan, dari gelas kopi yang mengendapkan segala percakapan kita. bukankah kehadiran seseorang memang tidak pernah bisa menggantikan yang lainnya dengan utuh? bukankah setiap kita, tiap-tiap diri kita, memang selalu menyusun kehadiran dan ketidakhadirannya masing-masing? bukankah untuk alasan itu kita tetap membutuhkan kenangan? sebab memang benar, kamu tidak pernah menggantikan siapapun dan tidak pernah tergantikan oleh siapapun. kamu hadir sama pentingnya dengan koran pagi. kamu hadir sama tidak pentingnya dengan koran pagi.

maka harus segera kususun siasat, sebelum pagi benar-benar jatuh di kota kita. sebelum kamu benar-benar muak. sebelum kenangan kita jenuh dan banal. sebab repetisi hanya akan membawa kita semakin tersesat dalam rimba kata. lalu seperti yang sudah-sudah; percintaan hanya berujung kesumat penuh laknat dan waktu menjadi algojo paling jahanam bagi kita berdua. bukankah memang hidup ini tidak berjalan dari waktu ke waktu? melainkan dari peristiwa ke peristiwa... dan kamu, ah, kamu memaikan peranan penting disana.

tidak perlu ada yang ditangisi, sebab memang tidak perlu ada yang digenapi dari pertemuan kita. aku masih tetap berdiri di luar sini, menjaga malam agar tetap menjadi seperti malam. seperti lolongan anjing yang menjaga gelap tetap menyerupai gelap.

jika kamu bosan dengan doamu yang itu-itu saja, ketuklah rumahku pada sisa sepertiga malam. akan kuajari lagi cara merapal mantra-mantra baru, pengganti doamu yang kadang membosankan. jika rasa sakitmu sudah tidak tertangguhkan, mampirlah pada sisa sepertiga malam. akan kurawat lagi lukamu dengan kesabaran, akan kutatap lagi nanar di matamu. akan kucari lagi onar yang bersembunyi di dasar kesadaranmu. hingga kamu benar-benar siap melanjutkan perjalanan. hingga kamu benar-benar ingin menjalani harapan baru.

ah, aku mungkin hanyalah stasiun kecil di sebuah kota yang tidak pernah nampak di televisi. aku hanyalah ruang tunggu, hanyalah bangku-bangku gigil yang menunggu kedatangan dan kepergianmu. sebab perjalanan sudah dilesatkan jauh-jauh hari sebelum aku benar-benar siap. dan setiap perjalanan selalu membutuhkan ruang hentinya, ruang lelahnya, juga mungkin ruang kembalinya pada suatu waktu entah kapan.

keretamu tiba,
aku bangkit dari kursi ruang tunggu, membisikan dengan getar suara yang sangat kamu hapal;
tengadahlah sayang, hidup ini tidak seburuk yang kamu kira. cukup sudah kita dibodohi oleh cerita-cerita picisan di televisi dan buku-buku sampah penuh delusi.

kamu membalikan tubuh kecilmu lalu berjalan menuju kereta yang akan membawamu entah kemana;
ah punggung itu, belum sempat aku cecap segala rasanya, belum sempat aku rumuskan peta perjalananmu yang setiap harinya beranak-pinak, kadang membelah diri seperti amuba.

lonceng keberangkatan dihentakkan menuju udara terbuka. derit roda tua beradu dengan sepasang rel yang membuat lengking suara perih menjadi seperti begitu nyata, begitu dekat... keretamu melaju enggan, melaju pelan. mengecil, semakin mengecil menuju batas horison di ujung jauh sana.


setelah kepergianmu, aku jadi tahu
kesunyian pun memiliki nadanya sendiri.

Leave a Reply

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...