Hujan
dan Sayuran; Antara Dingin dan Hangatnya Kenangan.
Sore hari yang idealnya
bisa dinikmati dengan cuaca cerah lengkap dengan matahari yang bersiap pulang
ke peraduannya, atau jika pun hujan hanya sekadar rintik mesra. Tidak, tidak
begitu dengan sore ini. Sore ini hujan lebat disertai angin kencang juga banjir
di beberapa ruas jalan menemani kita. Hal ini bertambah sulit ketika harus
berkendara menggunakan sepeda motor.
Gambar diambil dari sini |
Sekitar pukul 14.00 kita
memutuskan untuk berangkat dari Jatinangor ke rumahmu, kita mampir di Griya
Jatinangor untuk membeli beberapa sayuran, kamu masak hari ini. Kamu cantik
kala ini. Setelah beberapa jenis sayuran hijau segar di dapat, kita melanjutkan
perjalanan. Baru sampai di bilangan Cileunyi, hujan tiba-tiba deras tanpa aba-aba.
Kita basah, kita dingin, kita menggigil. Lalu tanpa aba-aba juga, badai
kenangan itu mampir. Kita ingat sekitar lima bulan yang lalu ketika pulang dari
Ujung Genteng- Sukabumi sekitar pukul 00.00 kita basah kuyup dan tetap harus
melanjutkan perjalanan dari Sukabumi ke Bandung. Bukan Sukabumi yang
dibayangkan orang banyak, Ujung Genteng terletak di ujung barat daya kabupaten
Sukabumi. Dari Bandung jauhnya sekitar 360km, kurang lebih seperti perjalanan
pulang pergi Bandung-Jakarta. Kita bisa, kita kuat.
Seketika kita kembali dari
ingatan hangat, lalu menggigil di bilangan Soekarno-Hatta. Aku melihat beberapa
mobil melintas, ada yang menyusul, ada yang tersusul. Mereka sepertinya
baik-baik saja di dalam sana, mungkin sambil mendengarkan radio atau menyetel musik
yang melantun hangat. Beberapa pengendara motor memilih berteduh di
warung-warung kopi untuk menunggu hujan mereda. Kami dijalan, aku membetot gas,
kamu tetap gigil. Ada juga yang terlihat memanjakan ingatan dengan melamun,
mungkin yang terlintas adalah segenap bayang gelap tentang yang lalu, tentang
masa-masa sedih yang membuat mata mereka ‘didewasakan’ waktu. Sekaligus
membuatnya semakin kuat, sedih adalah proses kreatif yang membentuk diri. Tidak
ada kata yang lebih pantas untuk mereka yang berani menatap wajah kesedihan itu
selain para pemenang. Tidak masalah bagi mereka yang kandas membina hubungan,
yang gagal dalam pekerjaan, yang telak ditinju kerasnya perkawinan yang
berujung pada perceraian, juga yang termarginalkan kerasnya sistem kapitalistik
dan akhirnya berujung di jalanan menjual keringat bagi orang-orang yang
duduk-duduk malas di ruang ber-AC. Tidak masalah, sungguh mereka sedang belajar
untuk kembali bangun. Saat mereka kembali melihat semua itu dalam lamunannya,
mereka sadar semakin kuat. Ah sampai juga kita di jalan Nanjung, dekat rumahmu.
Aku membetot gas, kamu tetap gigil.
Kopi, rokok, dan Persib
cukup hangat sore ini. Kamu memasak, kamu cantik. Bahwa kenangan memang hangat
kita bersepakat untuk itu, tapi kesadaran itu tidak membuat kuyup menjadi
hangat. Gigil tetap gigil, bahwa hujan memang dingin. Tapi kita pernah melalui
yang jauh lebih sulit dari kondisi ini, maka kita kuat. Kenangan, disadari atau
tidak mampu benar-benar mendewasakan spiritualitas mental. Seperti halnya kopi
dan rokok sore ini mampu mengusir gigil itu, mengajarkan kita bahwa dibalik
hujan deras dan kuyupnya tubuh, asalkan secara mental kita siap, secara
spiritual kita siap, rasa-rasanya tidak butuh mobil mewah yang menawarkan
‘hangat’ alih-alih prestise dan status sosial. Kita kaya sedari jiwa.
Rumahmu,
12 Desember 2011
Menanti
masakan…