Pembangkang
30 Hari Menulis #2
“Saat masih kecil, saya dilarang main bola oleh orangtua saya. Tapi saya bandel waktu kecil, akhirnya saya putuskan untuk berjualan keliling kampung mengumpulkan uang biar bisa beli sepatu bola.”-Andik Firmansyah (Pemain Timnas Indonesia U-23)
Foto diambil dari sini |
Begitu ucap seorang pemain
muda Indonesia yang belakangan ini mendadak jadi sorotan publik karena
prestasinya di timnas U-23 yang sangat menakjubkan. Terlebih lagi belakangan
ini ia diundang oleh beberapa stasiun televisi swasta setelah pertandingannya
(timnas U-23 melawan LA Galxy) dan mendapatkan jersey LA Galaxy dengan nama Beckham di punggung.
***
Saat-saat malas seperti
ini, ditambah lagi hujan yang turun sepanjang hari di Lembang membuat aku
bergolek di kasur sepanjang hari. Tidak banyak yang bisa dilakukan ketika malas
sedang mengetuk pintu kamar, paling-paling hanya membuka laptop, melihat
file-file, gambar, film, atau main game. Sesekali membaca koran yang isinya
itu-itu saja. Membaca buku pun rasanya tidak mendapat apa-apa, serangkaian
kata-kata yang tertulis disana seperti menolak masuk kedalam kepala. Aku
menjerang air, kopi kutuang, air mendidih, kopi pun menguarkan aromanya yang
bercampur udara sejuk Lembang sore hari menjelang malam. Sambil menunggu kopi
menghangat, aku menyalakan televisi, si kotak berisi gambar warna-warni itu.
Jarang sekali aku menonton televisi, bukan karena tidak ada waktu, tapi di
tempat kostku memang sengaja tidak dipasang. Tapi ini Lembang, ini tempat
bermalas-malasan!
Saluran kupindah-pindahkan,
ah kok jam segini semuanya membosankan: sinetron! Akhirnya aku mengarahkan
remote ke saluran nomor tiga di kotak warna-warni kamarku: Trans7 (aku sempat
berpikir seharusnya aku menempatkan Trans7 di saluran nomor tujuh dan TVone di
nomor satu) lalu menonton sang mentalis yang jadi presenter acara talkshow.
Saat ini sang mentalis kedatangan tamu Andik Firmansyah. Obrolan yang kupikir
sangat tidak penting itu terus mengalir deras. Bayangkan, apa hubungannya
antara pemain bola timnas Indonesia U-23 dengan kehidupan kesehariannya yang di
ekspose di media massa? Pacarnya di wawancara, ibunya, bapaknya, aku pikir kok
sekarang semua serba di-artis-kan, dia kan atlit sepakbola, kalau sering-sering
shooting gitu, kapan latihannya?
Hingga akhirnya pertanyaan
klasik muncul, “Bagaimana dukungan orangtua atas karirmu?” Ya tentu saja jarang
sekali orangtua (mungkin terlebih lagi di Indonesia) yang menginginkan anaknya
berprofesi sebagai pemain sepakbola (apalagi profesi mentalis seperti sang
presenter). Kan lebih baik dan keren jadi dokter, arsitek, pejabat negara,
polisi, atau minimal jadi guru/dosen lah. Jadi nanti ketika ibu ditanya teman,
tetangga, atau saudara, ibu bisa bangga: “Anak saya yang di RSCM kan sekarang
lagi ngelanjutin spesialisasi di luar” atau “ya gampang lah, nanti biar anak
saya yang di Polda yang urus” atau “saya kan baru pulang dari Bali nemenin anak
saya rapat kerja, kan ada jatah tiket dan akomodasi buat keluarga juga”.
Tapi anehnya, beberapa
(cukup banyak) orang sukses justru karena tidak mengikuti apa kata orangtuanya.
Salahsatunya ya si Andik ini, diceritakan bahwa ia bahkan sempat berhenti
sekolah selama satu tahun. Juga sang mentalis ini yang dulu sempat dimaki-maki
orangtuanya “kalau kamu jadi pesulap, mau makan apa kamu? balon?!” tapi
sekarang justru mereka inilah yang menopang sebagian besar kebutuhan keluarga.
Andik sekarang sudah mampu membelikan rumah baru yang lebih layak bagi kedua
orangtuanya, membiayai umroh, dan mungkin masih banyak lagi.
Mungkin (mungkin ya!), jika
Andik mengikuti perintah orangtuanya sekarang ia masih duduk manis mendengarkan
dosen yang sedang berbusa-busa bicara (atau lebih tepatnya membaca) buku-buku
tebal yang ia sendiri mungkin tidak mengerti. Lalu Andik turun ke jalan sebagai
bukti nasionalismenya, demonstrasi anarkis. Atau jika tidak menjadi aktivis, ia
akan segera lulus dengan predikat cum
laude. Tersenyum manis ketika berfoto mengenakan toga, sementara didepan
kampusnya jalanan macet akibat wisuda. Jauh didepannya, negara ditambah lagi
satu calon pengangguran. Kalau bernasib cukup baik (anggaplah demikian dengan
predikat cum laude nya) ia akan mampu
diserap pasar tenaga kerja, lalu bekerja di salahsatu perusahaan asing di
Jakarta, ia meninggalkan Surabaya, ia meninggalkan lapangan hijau, mimpinya
saat masih kecil.
Hari-harinya akan sibuk
oleh kertas dokumen, suntuk menghadapi ribuan file di komputer, pulang malam
hari dengan kemacetan khas Jakarta. Seminggu sekali Andik menyempatkan liburan
dengan pergi ke mall, diskotik, atau bersantai dengan perempuan di villa nya di
Puncak. Setahun sekali ia menyempatkan pulang ke Surabaya, membawa bukti
kesuksesannya di Jakarta. Menjelang usia 27 tahun ia menikah dengan rekan
kerjanya, memiliki dua anak yang disekolahkan di rumah (private school), hunian
nyaman di Kemang, Bentley sebagai ‘kekasihnya’ mengantri di jalanan padat
Jakarta.
Bukankah ini potret
kesuksesan? Ya, Andik sukses sebagi mesin pembuat uang! Tapi setiap kali ia
menyaksikan pertandingan sepakbola melalui kotak warna-warni layar LCD nya ia
mengingat, masa kecilnya yang bermandikan keringat di lapangan hijau
(sebenarnya coklat), berteriak, lalu pulang dengan atau tanpa kemenangan. Ia
semakin jauh dari Surabaya, dari sepakbola, dari Bonek yang berteriak histeris
ketika Persebaya berlaga.
Ah aku terlalu jauh
berpikir, nyatanya ia sekarang ada di kotak warna-warni itu mengenakan jersey
timnas U-23. Andik bocah bandel, ia tidak menurut pada orangtuanya. Andik tahu
betul, kapasitas dirinya akan maksimal ketika berhadapan dengan si kulit budar
di lapangan hijau. Meski telah banyak juga yang sukses atas dorongan
orangtuanya, tapi bukan berarti pembangkang itu akan gagal dalam hidup. Andik
hanyalah salahsatu contoh pembangkang yang sukses.
Tidaklah juga semua mesti
menjadi pemain bola, atau semua mesti jadi dokter. Keduanya tidak dapat
dibandingkan, bagaimanapun juga peran itu tidak meninggikan atau merendahkan
seseorang. Seorang anak manusia ditinggikan ketika ia mampu menjalani perannya
dengan sebaik mungkin. Maka tidak pantas juga kita terburu-buru menilai anak
yang pembangkang itu durhaka dan akan gagal dalam hidup. Karena jangan-jangan
untuk menemukan diri memang perlu pembangkangan atas desakan dan dorongan yang
belum tentu benar juga. Jika sama-sama tidak tentu, kenapa harus memilih
ketidakpastian pilihan orang lain?
Kotak warna-warni itu
kumatikan, laptop kunyalakan, kusulut sebatang rokok, hey selamat malam para
pembangkang! Bagaimana kabarmu hari ini? Belum di usir dari rumah?
Lembang,
14 Desember 2011
ditemani
rintik dan kopi.