Usia
duapuluh adalah senja di hari minggu. Sabtu-minggu segera berlalu, upacara bendera di hari senin sudah
menunggu.
Usia
duapuluh bukanlah usia yang mudah.
Foto saat tepat tanggal 29 Februari 2012 oleh: Desiyanti Wirabrata |
Usia duapuluh bisa saja dianggap sebagai awal menuju duapuluh…sekian yang—kata orang sih—sudah mulai tumbuh mejadi dewasa. Bisa juga dibacai sebagai puncak ‘usia tanggung’, masa-masa labil kalau kata anak-anak jaman sekarang. Atau usia dewasa karena sudah mempunyai hak suara dalam pemilu dan hak kontrol sepenuhnya atas diri. Paling-paling hanya hak meminum alkohol yang baru dikatakan legal ketika menginjak usia 21, setahun lagi!
Kuliah semester 6 juga
bukanlah masa yang mudah. Skripsi di depan mata, nilai-nilai mulai berantakan,
kegiatan sekarung, perasaan malas kuliah juga semakin menjangkiti di semester
tua ini. Malas kuliah bukan berarti malas belajar ya. Bisa jadi, malas kuliah
disebabkan hal lainnya yang daya jangkau spektrumnya lebih luas, ragamnya lebih
lebar, kedalamannya lebih terjaga. Bisa juga mulai menemukan pijakan baru yang
lebih mapan dibanding institusi pendidikan berbalut jaminan daya serap tenaga
kerja itu. Itu bisa jadi loh ya, bisa juga segerombolan pembenaran lainnya
sebagai dalih berkelit dari malasnya kuliah. Selain itu, perasaan senioritas
juga bukan hal sepele, beberapa diantara mahasiswa semester 6 mulai merasa
dirinya lebih pantas dihormati karena lebih tua (lebih dulu) ada di kampus. Nah
kalau gitu, mahasiswa harus lebih hormat pada tukang parkir, cleaning service,
atau penjaga kantin dong. Mereka sudah ada puluhan tahun di kampus, mereka
lebih dulu loh, mereka senior!
Usia
duapuluh bukanlah usia yang mudah…
Status di keluarga juga
berada dalam masa kritis. Antara masih harus diperlakukan sebagai cangkir
kosong yang siap diisi apa saja, atau sebagai secangkir kopi hangat. Salah-salah
memperlakukannya, tidak hanya pahit yang didapat, panas juga akan menyerang
bibir yang berbusa-busa dan tidak sabar itu. Memperlakukan kopi tidak bisa
sembarang, apalagi bagi aku –yang tergolong sebagai penikmat kopi yang taat dan
saleh—Pertama, kamu harus menjerang air secukupnya dengan tingkat panas minimal
100 derajat celcius (ngagolak),
kemudian menuangkannya pada secangkir kopi murni dengan perlahan. Oh iya, ini
untuk kopi tubruk tradisional ya, yang tidak membutuhkan alat khusus semisal vietnam drip coffee maker atau mesin espresso yang mahal itu. Kedua,
menghirup aromanya dengan mata terpejam. Ketiga, diamkan selama kurang lebih
2-3menit (jangan dulu diaduk). Keempat, aduk perlahan searah untuk menjaga body coffee agar tidak rusak. Kelima, tuangkan
gula sesuai selera. Kopi siap dihidangkan. Itu untuk kopi tubruk. Lain kopi,
lain cara memperlakukannya. Apalagi manusia. Hey, manusia lebih rumit dari
secangkir kopi.
Usia
duapuluh bukanlah usia yang mudah…
Aku jadi ingat obrolan tiga
tahun yang lalu dengan seorang kawan lama. Ketika itu, kami berada di sebuah
acara perayaan ulangtahunku. Karena sedari dulu aku sudah tidak bisa
berlama-lama dalam kerumunan, segera aku bergegas mengambil alih sudut lengang
bersama kopi, rokok, dan seorang kawanku itu. Ia menanyakan apa yang akan aku
lakukan, atau lebih tepatnya apa yang aku cita-citakan dalam rentang waktu tiga
tahun kedepan. Ketika itu, kami berbicara dengan nada optimis, konstruktif, dan
riang. Aku membayangkan tiga tahun lagi akan menjadi masa muda yang gemilang
dengan sederet prestasi—alih-alih prestise—dalam lingkungan sempit bernama
kampus. Baik secara akademis maupun non-akademis. Seperti kebanyakan pekerja
keras lainnya, perlahan aku pun mulai menuai hasil yang gemilang. Setidaknya
menurut standarku, itu merupakan suatu pencapaian luarbiasa. Secara perlahan
juga aku mulai melupakan kekecewaan atas pilihan bidang ilmu yang aku geluti
ini. Aku bahkan lupa—hanyut juga oleh arus besar itu, arus yang membawaku pada
pemandangan indah di sekeliling, arus yang melemahkan daya hidup. Aku hanya
perlu berdiam, terseret, dan menikmati muara kemenangan dan keindahan diri.
Sungguh indah berada disana kawan! Sekali dalam hidup kalian mesti mencobanya.
Melihat mata-mata mendongakkan kepala, terpusar pada eksistensimu!—aku lupa
bahwa ini hanya serupa euforia yang mesti jadi lecut semangat baru, daya hidup
baru. Kehidupan tidak pernah terlalu berpihak pada manusia yang diam. Gerak itu
selalu bertaut, tidak pernah berpusar dan berdiam pada satu titik.
Semenjak aku
ingat—diingatkan oleh gerak yang intens beberapa kawan di luar sana. Mereka
yang setiap harinya diisi oleh gerak tanpa henti, sebuah derap langkah tak
kenal lelah tanpa harus terlalu bergegas. Karena ‘cepat’ dan ‘gegas’ hanya
milik manusia ‘modern’ yang memasang ‘pancang’ pada suatu objek pencapaian yang
jauh dan diam.—aku mulai menata kembali arus hidup ini, kemana muaranya? Meski
semua hujan bermuara pada laut yang diam, tapi mereka bergerak pada
selokan-selokan kecil, sungai besar yang keruh, hingga samudera lepas tanpa
batas. Semenjak itu aku sadar betul, mimpi itu harus dalam keadaan ‘terus
menjadi’ yang memasang pancang pada objek yang bergerak. Manusia itu sejenis
mahluk yang tidak pernah ‘menjadi’, ubermensch-nya
Nietzsche pun bukan lagi dibayangkan sebagai persona yang harus diidentifikasi,
untuk diimitasi selanjutnya. Bukan! Ubermensch
adalah proses menjadi yang selalu ‘hampir menjadi’, tidak pernah ‘menjadi’.
Usia
duapuluh bukanlah usia yang mudah…
Sebuah pilihan juga selalu membawa
konsekuensi, dalam kasus ini diri yang tidak pernah mudah didefinisikan. Selalu
terjadi otokritik sebelum gelora itu sampai merupa interaksi. Terjadi proses
pembelajaran tidak kenal waktu juga ruang. Banyak orang yang bertanya,
sebenarnya apa yang aku lakukan selama ini (rentang waktu dua tahun kebelakang)
dengan berbagai ‘kegalauan’ dan ‘kesibukan’ yang tak jelas ujungnya. Samar
profesinya! (itu mungkin maksud kalian). Sekali lagi, aku memang tidak mudah
didefinisikan. Tidak mudah ‘dijadikan’. Kalian hanya melihat gerak ini sebagai
arus kecil yang tersendat-sendat, seperti hujan yang memilih mengalir di
selokan-selokan kumuh, terkadang mengambang di sudut-sudut perkampungan berupa
genangan kotor. Bercampur bersama sampah yang baunya terbawa hingga laut lepas.
Silakan kalian lewati saja jalan tol—jalur cepat bebas hambatan itu—aku disini
saja, menjejakkan kaki di jalan setapak, mengikuti jejak-jejak yang
ditinggalkan hujan. Sesekali berteduh di warung kopi untuk menikmati hujan dan
sore. Rintik dan jingga. Senja yang membawa aroma hujan, aroma tanah basah
sehabis hujan.
Usia
duapuluh bukanlah usia yang mudah…
Disaat tanggung jawab mulai
nampak samar-samar didepan mata, membentuk bayang yang wajahnya semakin jelas
terlihat. Aku melihat agenda besar yang harus segera direalisasikan dekat-dekat
ini. Gelora itu tidak bisa dibiarkan sunyi dan kesepian didalam. Salah seorang
temanku berkata, karya itu merupakan limbah dari pengalaman hidup. Ada juga
yang berkata, karya adalah proses pembekuan pengalaman. Aku tidak tahu mana
yang benar, yang aku tahu, sebuah karya—ketika itu jadi—pasti berhutang banyak
pada hidup. Pada hiduplah sebuah karya patut berterimakasih. Apapun bentuknya,
aku ingin itu menjadi dalam waktu dekat-dekat ini, sebagai ucapan terimakasihku
pada hidup yang telah begitu banyak memberi.
Usia
duapuluh bukanlah usia yang mudah.
Usia
duapuluh adalah senja di hari minggu. Sabtu-minggu segera berlalu, upacara
bendera di hari senin sudah menunggu. Bisa saja menjadi upacara yang indah,
asalkan minggu malam diisi dengan daya hidup yang besar. Semoga…
***
Jatinangor, akhir Februari
2012
Azhar
Rijal Fadlillah