Hari ini hari sabtu, hari
ke tiga di bulan Desember. Sabtu pagi pukul 06.00
Embun mulai luruh oleh
matahari yang tersumbul malu-malu diantara ranting pohon oak, sementara sisa
gigil semalam telah berganti mekarnya teratai violet. Bangun pagi—setidaknya
bagiku—merupakan suatu kegiatan yang paling sulit kulakukan, yang jarang dan
sesekali. Hanya jika ada kegiatan penting yang harus kulakukan saja aku mau
untuk bangun sepagi ini. Sabtu ini juga tentu saja sabtu yang besar dan akan
menjadi sabtu yang bersejarah. Aku teringat V
for Vendeta: “Remember, remember, on the fifth november…” yang kemudian aku ganti menjadi “ingat,
ingat, ini tiga Desember…”. Sabtu ini mungkin saja menjadi sabtu yang mengubah
hidupku. Untuk selamanya. Aku siap, apapun resikonya!
Sambil menunggu air panas
untuk secangkir kopi, aku mandi dulu. Sambil menyanyi tentunya. You Gotta be Wrong Sometimes dari O.A.R:
We got more than a
lifetime, To make it all feel right.
So don’t apologize,
You gotta be wrong sometimes.
We got more than a
lifetime, To live inside these lines, We were right all along.
You gotta be wrong,
Gotta be wrong sometimes.
Badan sudah segar, kopi
siap, rokok kusulut, hey bagus juga sepertinya bangun pagi. Hey, selamat pagi
Indonesia!
Segera aku bergegas
mempersiapkan apa saja yang harus dibawa dan apa saja yang belum ada untuk
sejarah besar nanti malam, momen penting bagiku, momen yang hanya datang
sekali. Yang pertama dan aku ingin yang terakhir kalinya juga. Hanya sekali
dalam hidup. Antonio sudah ada disini sejak aku mandi dan sarapan, sengaja ia
menunggu di halaman agar aku tidak tahu bahwa ia sudah menunggu. Ia begitu
tahu, aku paling tidak suka dikejar waktu. . Kami pergi menggunakan landrover tua yang sudah jarang dipakai,
milik pakde yang dulunya anggota Wanadri. Sikuning, begitu aku menyebutnya yang
sehari-hari hanya ngendon saja di
halaman, paling-paling seminggu sekali pakde memanaskan mesinnya sekaligus
mengisi bensin, ngasih minum dan ngajak jalan-jalan sikuning, kata pakde.
Deru mesin tua itu mulai
terdengar kasar, Antonio yang memegang kemudi, aku duduk disampingnya sambil
menyulut sebatang Lucky Strike merah
kesukaanku. Mobil melaju kencang ditemani teriakan Marc Roberge, seorang vokalis O.A.R yang suaranya agak serak-berat.
Dakota, Irish Rose, Heaven, mengiringi kami menuruni bukit-bukit
sebelah utara kota Jogja. Disela-sela itu, aku menekuri horison yang terbentang
bebas didepan mataku, betapa hidup ini begitu sempit pada mata dan terlalu luas
pada hidup itu sendiri. Betapa mata manusia selalu terbatas pada horison, pada
titik nadir, pada keluasan perspektif, pada emosi tertentu. Ah manusia, apalagi
yang bisa dilakukannya selain bersetia pada apa yang ia anggap benar? Sekalipun
ternyata itu sebuah kesalahan dan membawa petaka seumur hidup. Ah manusia,
apalagi yang mampu dikerjakannya tanpa sebuah kesetiaan dan keberanian? Aku
rasa tidak ada.
“kita mampir ke Kaliurang
dulu ya, ada temanku disana yang udah nunggu, nanti dia yang antar kita ke
penjualnya” Antonio memotong lamunanku.
“oke, sekalian mampir di
warung dulu deh, aku mau beli rokok, udah abis nih”
Antonio adalah jenis anak
muda yang tidak banyak berpikir, baginya cukup sekali saja memikirkan apapun.
Ia lebih suka lincah bergerak, apapun resikonya dia selalu bisa terima.
Sikuning pun dipaksa berlari sekuat tenaga, lagi-lagi ia tidak memikirkan dan
peduli akan resiko masuk jurang atau menabrak truk dari arah berlawanan.
Baginya, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan sunyi dalam pikiran. Semua
harus menjadi gerak, apapun resikonya.
Antonio adalah seorang
alumnus Fakultas Filsafat UGM, kakak tingkatku, tiga tahun diatas. Meskipun
begitu, aku tidak kenal dengannya semasa kuliah dulu. Aku kenal Antonio ketika
melakukan perjalanan ke Surabaya, ketika aku bertandang ke sebuah pameran yang
kebetulan dia panitianya. Sehari-harinya ia berjualan jamu di kios dekat
kontrakannya. Jamu, ya jamu sebagai tampak depan, dibalik itu semua, ganja,
shabu, dan segala jenis narkotika tersedia. Disamping pekerjaannya menjual
‘jamu’, ia juga bekerja sambilan sebagai ‘malaikat maut’. Sampai saat ini masih
tinggal di Surabaya dengan beberapa kawannya, mengontrak sebuah rumah kumuh di
gang kecil pinggiran kota. Sejak pertemuan pertama kami, aku sudah bisa membaca
Antonio dari gerak-geriknya, dari cara berpakaian yang serampangan, dan bicara
yang sekenanya. Hari ini, hari ketiga di bulan Desember, aku benar-benar
membutuhkan orang seperti Antonio. Membutuhkan mata tajam tapi dingin, dalam
tapi kosong. Seorang yang berdarah dingin. Seorang yang siap mati untuk apapun
yang ia anggap benar. Seorang pionir yang selalu berada di garis terdepan,
pasang badan!
Kami sudah sampai di
Kaliurang, temannya Antonio sudah menunggu di mulut gang, lalu mengantar kami
ke sebuah kafe kecil yang aku sendiri aneh, sepagi ini kafe sudah buka. Ketika
aku masuk, langkah pertama aku merasa memasuki bagian dunia lain dari
Jogjakarta, sebuah dunia yang terlipat diantara gegap-gempita komoditas
kultural kota Jogja. Langkah kedua aku dibawa pada bayangan film Leon, ketika
Leon (Jean Reno) mendatangi sebuah kafe kecil milik temannya, Tony (Danny
Aiello). Suasana kafe italia begitu kental terasa dengan segala transaksi
‘bawah meja’-nya. Langkah ketiga aku dibawa pada suasana mencekam, di hadapanku
berdiri dua orang bertubuh kekar—yang saat itu aku pikir adalah body guard Salim— memegang AK-47
ditangannya, sementara asap rokok beraroma cengkeh khas Indonesia mengepul dari
kedua bibir mereka. Langkah keempat aku terlempar pada dunia yang sama sekali
asing bagiku, perempuan-perempuan nakal berbusana seksi duduk menikmati Cognac Remy Martin di belakang Salim.
Astaga, itu kan minuman asal Prancis yang harganya jutaan itu, aku dari dulu
belum kesampaian meminumnya, paling-paling pernah mencoba yang ‘palsu’, itupun
hasil patungan dengan teman-teman satu kontrakan semasa kuliah dulu dan
mabuknya minta ampun. Pada langkah kelima aku terpental dari semua lamuan
ketika suara ‘berat’ Salim menyapa.
“Mau yang laras panjang
atau pendek? Butuh berapa banyak amunisinya? Pisau nya mau Victorinox, commando, atau cukup sangkur Ak-47?”
“emmmhhhh saya gak ngerti
mas. Eh Ton, yang mana nih? Aku ndak mudeng.”
“Pake Barreta 92 ditambah Victorinox
cukup Lim. Repot nyembunyiinnya kalau pake laras panjang. Kita mau main rapih”
“Oh oke, tunggu ya.” Salim
kemudian memberi tanda pada body guardnya untuk mengambilkan pesanan kami.
“Uangnya di transfer aja ya
Lim?”
“ah santai lah, diganti
pake barang lu aja. Gua lagi butuh. Kayak biasa ya Ton. Lu tau kan selera gua.”
“owkay fellas…”
Obrolan pun berlanjut
mengenai senjata, wanita, dan narkoba. Uuh, sebuah obrolan yang ‘cowok banget
nih’ tapi aku tidak mungkin terlibat dalam pembicaraan ini. Aku tidak mengerti
apa-apa. Aku memilih untuk pamitan keluar sebentar, dengan langkah yang sedikit
bergetar, meskipun aku sudah mencoba bersikap wajar, tetap saja lutut ini tidak
bisa diajak bekerja sama. Aahh akhirnya sampai juga di pintu keluar dan
hhmmmmmhhh diluar udara masih sejuk, jogja belum bersolek dengan segala
keunikannya, dengan semua turisnya—yang kebanyakan kurang ajar itu—juga dengan
mobil-mobil yang memadati jalanan. Kaliurang masih sepi dari para pengunjung
yang ingin menikmati alam jogja.
“semua beres Ron, sekarang
kita cek lokasi”
Kami melanjutkan perjalanan
menuju selatan Jogja, ke arah Wonosari, Gunung Kidul. Menurut informasi yang
aku dapat, target kami akan berada di pantai Krakal-Gunung Kidul mulai malam
ini dan menginap dua malam di Hotel Sunset Beach yang letaknya tidak jauh dari
pantai. Rencana ini terbilang mendadak, seperti sambal aku pikir, tapi bukankah
yang dadakan lebih akan lebih pedas?
Semua rencana ini bermula
dari kekesalan-kekesalan kecil yang terbilang sepele. Lalu semakin lama semakin
menjadi. Kekesalan mulai memanas semenjak kelakuan kurang ajar Soni—target
kami—yang saat itu tengah ‘main gila’ dengan salah satu temanku di Komunitas
Lingkar Budaya. Aku sudah cukup lama kenal watak Soni semenjak
masih kuliah di UGM. Ia selalu berlagak paling tahu, paling benar, dan
seenaknya pada perempuan. Disamping itu, sikap premannya sering membuat
kami—mahasiswa fakultas filsafat UGM—geram. Dulu, semasa kuliah, aku sempat
ribut dengannya, urusan perempuan. Tapi bukan perkara sepele, ia meniduri
pacarku di sekertariat kampus. Tidak lama setelah kejadian itu, ia berulah lagi
saat laga futsal antar jurusan. Kekesalanku memuncak ketika ia menghancurkan
komunitas yang kami bangun dengan darah dan keringat. Harus kuakui, ia memang
pintar dan cerdik, namun justru itulah yang membuat ia mampu merusak komunitas.
Pengetahuan, memang selalu seperti pisau bermata dua, tergantung siapa yang memegangnya,
ia akan selalu berbahaya dan bahkan membahayakan dirinya sendiri.
Semuanya terdengar sepele,
tetapi tidak jika melihat langsung bagaimana rusaknya Novi—teman komunitas
kami—yang ia perkosa dan pukuli setelahnya. Malam, 3 Desember tahun lalu, Novi
datang ke sekertariat dengan kondisi yang menghawatirkan. Tubuhnya penuh lebam,
telinganya rusak seperti bekas dipopor senjata jaman orba, payudaranya disayat
pisau lipat, dan luka di kepalanya membuat Novi mengalami cacat seumur hidup.
Bau amis yang tertinggal di sekertariat memang sudah tidak dapat tercium,
setahun telah berlalu. Tapi dendam dan ingatan kami tidak pernah hilang.
Seperti bekas luka Novi yang akan selalu ia bawa hingga mati. Seperti komunitas
kami yang meskipun sudah tidak ada, semangat dan daya hidup “Lingkar Budaya”
selalu ada pada masing-masing diantara kami.
Bagaimanapun juga kelakuan Soni tidak akan
pernah bisa dibenarkan, kekerasan atas nama apapun harus musnah dari bumi
manusia ini. Jika proses peradilan dan ahli hukum sudah tidak bisa diandalkan,
biarkan kami menjalankan hukum kami sendiri, hukum yang paling purba di bumi
manusia: hukum rimba. Semenak itulah aku teringat pada Antonio—seorang ahli
hukum. Hukum rimba!—dan segera menghubunginya untuk melanjutkan proses
peradilan yang tidak pernah tunai itu. Tepat hari ini, hari ketiga di bulan
Desember. Hukum akan ditegakkan, bukan atas nama keadilan dan kemausiaan yang
tertuang dalam Pancasila itu. Tapi atas nama dendam dan darah yang telah
tertumpah. Selain tidak mengamalkan ajaran Pancasila, kami juga bersepakat
untuk tidak mengikuti ajaran Kristus: “tampar pipi kiri, berikan pipi kanan”.
Tidak, kami mengubah ajarannya: “tampar pipi kiri, pistol dikepalamu! Pisau di
penismu!”
**
Hari ini masih hari sabtu,
masih hari ketiga di bulan Desember. Sabtu pukul 17.30.
Senja menghadirkan langit
keemasan di selatan kota Jogja, di langit pantai Krakal. Angin berdesau
membisikan cerita purba dari negeri yang memang sering lupa. Penderitaan serupa
pernah terjadi dalam skala besar. Perempuan-perempuan (juga laki-laki,
tua-muda) diperkosa, disiksa, dan dibunuh dengan cara yang paling keji. Atau
ada yang hilang dan tidak pernah tahu dimana rimbanya. Novi salah satu dari
sekian banyak anak yang kehilangan ibunya pada masa itu. Ketika itu Novi masih
kecil, masih bermain barbie di
sepetak kebahagiaan bernama halaman rumah. Seminggu dua minggu ibunya tak
pulang, lalu terdengar berita ibunya ditemukan di sungai dengan kepala penuh
luka tusuk, sekujur tubuh penuh lebam, dan rusuknya sudah tak berbentuk. Aku
begitu percaya, ada banyak novi-novi lainnya, yang merengek pada ayahnya “pah,
mamah kemana? Kok gak pulang-pulang?” hanya saja Novi yang ini nasibnya lebih
pahit. Kekerasan yang terjadi pada ibunya kini terjadi pada dirinya, sejarah
berulang melalui tangan yang berbeda.
Senja seolah mewartakan
bahwa warnanya dan bau amis angin pantai adalah darah-darah manusia. Seolah
mengingatkan negeri yang pelupa, bahwa darah pernah menjadi bagian dari negeri
ini. Menjadi cara untuk berkuasa.
Pantai Krakal sangat sepi,
dilihat dari parkiran dan penginapannya, mungkin hanya kami pengunjung malam
ini. Aku dan Antonio segera memasuki losmen kecil di belakang hotel Sunset
Beach. Memilih kamar dengan sudut pandang yang tepat ke arah kamar no 10, kamar
yang akan ditempati Soni dan perempuannya. Ah, perempuan mana lagi yang akan
kedapatan sial. Antonio segera mengeluarkan beberapa peralatan kerjanya
sementara aku disuruh makan di losmen itu sambil berbincang-bincang dengan
pemilik losmen dan tamu lainnya, agar terlihat biasa saja. Aku memesan lobster
bakar saus kecap, dengan segelas orange
punch. Musik Coldplay, Yellow
melantun pelan, lagu ini mengingatkanku pada momen indah bersama Bunga. Aku
ingat video clipnya, ah pantai. Baru kali ini aku menjumpai pantai dengan debar
yang tak biasa. Sedari tadi kakiku masih gemetar, menyadari apa yang akan aku
lakukan sesaat lagi. Aku terus menenangkan diri, menghisap rokok dalam-dalam,
menghembuskannya keudara. Lalu hilang bersama angin pantai.
Antonio masih bersiap
dengan segala peralatannya, ia paham betul siapa targetnya hari ini. Seorang
yang tidak bisa dianggap sepele. Ia keluar, mengisyaratkan aku harus segera
meninggalkan meja makan untuk menemaninya melihat-lihat kondisi sekitar,
sekaligus mencari posisi terbaik dan jalan keluar paling aman tentu saja. Aku
disuruhnya memindahkan parkir mobil ke arah jalan raya, agar mudah untuk
keadaan darurat, katanya. Ia terus melangkah, menuju depan hotel dan memesan es
kelapa muda di warung sebrang hotel sambil menggali informasi tentang lokasi
sekitar pada penjaga warung.
Ketika aku memindahkan
sikuning, diluar dugaan Soni sudah datang dari arah jalan raya. Aku hapal betul
mobil Honda Civic-nya. Mobilnya semakin mendekat, ia tentu saja tidak mungkin
mengenaliku dalam gelap seperti ini, apalagi aku memakai landrover pakdeku.
Jarak pandang semakin terlihat jelas bagiku, dan Deg! Deg! Ia memarkirkan
mobilnya, membukakan pintu untuk perempuan yang ada disampingnya Deg! Deg!
Deg!, perempuan itu keluar Deg! Deg! Deg! Deg! Mereka berdua jalan bersama dan
duuuuaarrrrr!! Ia bersama Bunga! Perempuanku! Aku melihat sekeliling, tidak ada
halilintar, aku melihat kedalam, ya! Hatiku. Aku mencoba menahan emosi, menahan
getar pada sekujur tubuh yang sudah basah oleh keringat dingin. Aku harus
tenang, ingat! Kemenangan selalu berpihak pada yang mampu mengatasi dirinya.
Setelah mereka berdua masuk
kedalam hotel, aku mengambil langkah-langkah kecil menyusuri jalan melingkar,
menuju Antonio. Aku menceritakan semuanya dan Antonio hanya tersenyum.
“emangnya apa yang kamu
pikir tidak bisa dilakukan si Soni itu? Hah? Cuuuhhh!” ia tetap tenang dengan
Marlboro di sela-sela bibir hitamnya.
Seluruh dunia serasa gelap,
runtuh, dan pecah!
“Rencana berubah, kita
lakukan sekarang Ton! aku sudah tidak sabar.”
“weeess, kemasi barangmu
Ron! Masukan semua ke mobil. Kita ketemu di parkiran hotel itu”
Aku segera lari menuju
losmen, mengambil semua yang ada. Masih sempat terpikir olehku, apakah aku
sudah gila? Aku akan membunuh seseorang. Apa yang aku lakukan ini benar?
Bukankah negara ini negara hukum? Meskipun sistem peradilan yang sampai saat
ini belum juga mengadili Soni, tidak semestinya kan aku melakukan ini?
Tak jauh dari losmen,
sekelompok anak muda yang aku perkirakan berumur 20tahunan baru saja tiba dan
menginap di losmen ini. Mereka membicarakan organisasi kampus, perempuan, seks,
kuliah, tugas, masa depan. Ah mereka segar, mereka penuh optimisme. Aku pernah
kuliah, tapi tidak dengan optimisme. Semua sudah selesai, aku bergegas menuju
sikuning untuk menyimpan semua barang dan menuju pelataran parkir hotel Sunset
Beach. Disana, Anotnio tidak ada! Aku mencoba meneleponnya, terputus. Lalu
kuputuskan untuk mendekat ke tempat dimana kami tadi bersepakat untuk bertemu.
Ada secarik kertas tulisan tangan:
Susul aku ke koridor
room 10. Sekarang!
-Antonio
Tanpa pikir panjang, aku
berjalan masih dengan kaki yang gemetar, melewati resepsionis, ruang-ruang hotel ini tampak gelap dan menyeramkan, tak ada seorangpun disini, penerima tamu pun tak ada. Ada apa dengan hotel ini? Di salahsatu ruangan, aku melihat foto Soni berbingkai figura coklat tua ukiran jepara menghiasi dinding. Ah dia mungkin pemilik hotel ini, atau bapaknya! lalu aku menyusuri kamar-kamar yang tampak tak pernah terisi dan itulah room
10. Tapi Antonio tidak ada disana. Aahhhh permainan apa lagi ini?!
Kini tubuhku sudah ada
tepat di depan kamar no 10, tidak ada suara apapun dari dalam. Kakiku semakin
bergetar, keringat dingin menguasai tubuhku. Aku gemetar!
Braaakkkk pintu dibuka dan
pistol sudah ditodongkan ke kepalaku, Soni dengan senyum khasnya menyambut.
Dengan gerakan kepala, ia menyuruh aku untuk masuk kedalam kamar. Aku masuk,
kulihat seluruh sudut kamar, Bunga ada di kasur. Tidak memakai baju, hanya
ditutupi selimut. Ia juga tidak menyadari aku ada disini karena matanya ditutup
oleh Soni, ia pikir ini sejenis permainan mengasyikan yang sengaja dibuat Soni.
Kualihkan pandangan sambil tetap mengikuti instruksi untuk berjalan menuju
kursi sebelah kasur yang menghadap ke jendela.
Aku melangkah perlahan, sangat pelan, sungguh gemetar. Disudut kamar mandi kulihat sosok Antoni sudah tak berkepala! Kepalanya menggelinding berlumur darah ke arah kloset. Hampir saja aku berteriak sebelum mulutku segera dibekap oleh Soni. Kemudian aku duduk dan diikat pada kaki-kaki kursi. Soni melepas pakaiannya dan melempar senyum kearahku. Ia bercinta dengan Bunga dihadapanku. Darah dari kepala Antoni masih menggenang, kini mulai menjalar hingga pintu toilet, bau amisnya sungguh mengingatkanku pada peristiwa setahun lalu.
Aku melangkah perlahan, sangat pelan, sungguh gemetar. Disudut kamar mandi kulihat sosok Antoni sudah tak berkepala! Kepalanya menggelinding berlumur darah ke arah kloset. Hampir saja aku berteriak sebelum mulutku segera dibekap oleh Soni. Kemudian aku duduk dan diikat pada kaki-kaki kursi. Soni melepas pakaiannya dan melempar senyum kearahku. Ia bercinta dengan Bunga dihadapanku. Darah dari kepala Antoni masih menggenang, kini mulai menjalar hingga pintu toilet, bau amisnya sungguh mengingatkanku pada peristiwa setahun lalu.
Langit Krakal diluar sudah
gelap, tapi tak akan pernah segelap hatiku malam ini. Malam mengendap, debur
ombak menghantam, angin bersiul, mereka orgasme. Mereka melakukannya didepanku! Darah itu kini sudah sampai di kakiku, menyentuh perlahan, memberi kabar kepergiannya yang tragis.
“sayang, aku mau main
tembak-tembakan dong. Kamu tembak aku ya ke arah jendela. Tapi matanya harus
tetep ditutup. Harus kena yaaa.”
“mana sini pistol-pistolannya”
Bunga menerimanya, mulutku segera diplester! Ia mengarahkan pistol itu kearahku, aku menutup mata pelan-pelan. Darah itu kini sudah membanjiri seluruh ruangan. Merayap perlahan hingga pintu keluar.
Mungkin harus berakhir begini. Setidaknya sekali dalam hidup, aku pernah berusaha mengejar dan bersetia pada sesuatu yang aku anggap benar. Tidak peduli hal itu memang benar dan akan berhasil.
Mungkin harus berakhir begini. Setidaknya sekali dalam hidup, aku pernah berusaha mengejar dan bersetia pada sesuatu yang aku anggap benar. Tidak peduli hal itu memang benar dan akan berhasil.
Mataku terpejam, seluruh
ruangan terasa gelap. Kakiku sudah tidak gemetar, keringatku hilang. Bau amis darah Antonio kini sudah menyesakkan seluruh ruangan. Ah Tuhan, bersembunyi dimana keadilan itu?
Diluar malam mengendap. Masih di hari sabtu, masih di hari ketiga bulan Desember, tapi yang
berbicara bukan lagi seorang lelaki pengecut.
kini, darah itu...
kini, darah itu...
***
Meracau dengan kopi dan Lucky Strike, 12 Maret 2012
ARF