Ada banyak peristiwa yang
terjadi dalam ruang tunggu yang begitu besar ini. Bahkan terlalu besar bagi
perempuan mungil sepertiku. Tidak begitu banyak juga yang bisa kulakukan dalam
penantian panjang ini, aku asing di kota kecil yang memiliki satu terminal tua,
satu stasiun, dan satu pelabuhan di pesisir selatan kota ini. Aku juga tidak
memiliki banyak teman di kota ini, hanya ada satu, teman semasa kecilku, teman
ketika kita berdua menghabiskan senja di sungai belakang kampung dengan membuat
perahu-perahu kertas, lalu menghanyutkannya bersama deras air yang entah menuju
ke muara yang mana.
|
Gambar diambil dari sini |
Antonio, setahuku kamu
sekarang sudah merantau ke kota, sebuah kota besar yang bisa diukur dengan
salah satu indikatornya: kriminalitas. Kamu kuliah di jurusan filsafat. Ah,
entah apa lagi mainanmu sekarang. Apa juga itu filsafat, aku tidak tahu pasti,
hanya saja dari televisi, aku sering melihat orang berbicara tentang filosofi. Mulai
dari filosofi hidup bersahaja, filosofi bermain sepakbola, hingga di salah satu
rak buku teman kontrakanku ada buku berjudul filosofi kopi. Lalu apa yang kamu
lakukan di kampus bersama profesor-profesor beruban itu? Akan jadi apa kamu? Aku
tidak habis pikir, akan kerja apa setelah lulus nanti. Kenapa tidak kuliah di
jurusan akuntansi, kedokteran, hukum, atau manajemen saja? Dasar Antonio, dari
dulu kamu tidak pernah berubah.
Derit roda kereta beradu dengan
rel yang sudah renta dimakan usia sesekali memecah hening. Angin bulan Maret,
ah ia selalu mengantarkan dingin yang menusuk hingga sumsum tulang belakangku. Apalagi
bagi perempuan kecil sepertiku. Aku masih duduk di bangku peron yang lengang. Hanya
sesekali orang berlalu, beberapa memicingkan mata, menandai sesuatu yang asing
barangkali. Perempuan, memegang sebotol Heineken
dan mengapit sebatang Country mungkin
memang asing bagi kota sekecil ini. Apalagi tengah malam dan sendiri,
disampingnya hanya ditemani ransel yang aku sulap menjadi rumah keduaku.
Aku masih terduduk. Masih belum
bundar niatku, akan pergi kemana malam ini. Di kota ini, kota yang selalu
menyergapku dengan badai kenangan purba, aku menekuri sejarah pernah begitu
kejam pada seikat kebahagiaan kecil bernama keluarga. Ibu bapakku habis ditelan
rimba. Pada suatu pagi ketika aku hendak berangkat mengenakan seragam
merah-putih dengan ingus bergelantungan, mereka dijemput truk dengan
paman-paman berseragam yang membawa pentungan dan senapan. Aku hanya ingat
ucapan terakhir mereka “Diana, pulangnya ke rumah paman Lukas ya. Ibu sama
bapak mau ke kota dulu.” Semenjak saat itu, ingatanku selalu berupaya membenci
truk, seragam, dan kota.
Antonio, apakah kamu masih ingat hari itu? ketika pulang
sekolah dijemput oleh paman Lukas, kamu juga ikut menginap dan menetap di
rumahnya. Lalu hari-hari kita tidak pernah luput dari permainan-permainan nakal
di belakang rumah. Banyak keonaran kita yang membuat seisi kampung geger. Atau kamu
sudah lupa? Seperti buku-buku sejarah anak sekolahan yang seringkali lupa
mencantumkan peristiwa-peristiwa seperti itu? Antonio, mendadak aku begitu
rindu kenakalanmu. Seringai tipis yang bergelayut di raut wajahmu setiap kali
melempari kaca Pak Ahmad dengan buah tomat. Aku dengar-dengar kamu juga
sekarang masih menjadi pelempar yang tangguh ya? Kamu melempari gedung-gedung
di kota dan beradu mulut bahkan otot dengan para petugas berseragam itu. Tentu
saja bukan dengan tomat segar lagi kan? Bukankah di kota sulit sekali menemukan
tomat langsung dari tangkainya? Ah Antonio, dimana kamu? Bagaimana kabarmu? Apakah
janggut dan kumismu—yang sedari dulu selalu kamu impikan—sudah tumbuh? Aku
rindu. Tak tahu harus berpulang kemana, selain sejarah yang kita pintal berdua
di sepanjang aliran sungai yang kini sudah mulai mengering. Kota ini sudah tak
seindah dulu dan kamu masih juga belum memberi isyarat kita akan bertemu.
Malam masih gelap dan angin
bulan Maret belum juga jinak pada tubuh kecilku.
“Masih setia dengan Country?”
Suhu tubuhku mendadak
panas, angin bulan Maret segera bersembunyi dibalik toilet peron. Malam menjadi
begitu gempita dengan gemuruh kecil suara-suara yang tiba-tiba menjadi
terdengar. Ruang tunggu yang tadinya terasa sangat besar tiba-tiba menjadi
terlalu kecil untuk menampung semua kelibat kenangan. Segerombolan pasukan
rindu. Aku hapal betul suara ini—suara yang terakhir kudengar setahun yang lalu
melalui gagang telepon umum di stasiun kecil kota sebelah, aku sangat akrab
dengan bau parfum Aqua Bvlgari ini. Selalu, bagiku nama, wajah, dan gerak-gerik bisa
dengan mudah lupa. Tapi bau parfum yang bercampur aroma tubuh seseorang tidak
pernah bisa, selalu membekas. Menempati sebagian ruang dalam diri bernama
ingatan.
Segera
sepasukan kenangan menyergap tanpa aba-aba. Bayangan tentang seragam
merah-putih, sungai, perahu kertas, tomat. Seragam putih-biru, rokok,
playstation, upacara bendera sialan. Seragam putih-abu, bir, film panas, kafe-kafe,
bukit, sungai yang sama, dan tentu saja kisah cinta pertama kita di atas
ranjang yang berderit—di rumah kosong yang ditinggalkan Pak Ahmad.
“Kamu juga
masih setia dengan pisau lipat victorinox
yang selalu menggantung di sakumu itu”
Setahun yang
lalu, percakapan terakhir melalui gagang telepon yang aku ingat hanya restumu
untuk merantau, entah kemana, karena sambungan segera terputus tanpa sebab yang
jelas. Lalu kamu menghilang tak jelas kabarnya. Kamu selalu meninggalkan sebentuk
lubang dalam diriku berupa ketidakjelasan. Itu yang paling aku benci dan cintai
dari kamu, Antonio!
Kamu tidak
pernah jelas dalam hal apapun. Sulit didefinisikan, sulit membacamu. Selalu yang
kudapati hanya serangkaian kalimat tak terbaca, paragraf pincang tanpa makna. Sebuah
wacana tanpa pretensi apapun. Sebuah perjalanan tanpa tujuan. Mungkin hidupmu
sudah cukup, begitu penuh dengan hanya bernafas. Ya, bernafas dengan segala
daya hidupmu yang besar itu.
Kemudian
percakapan di peron menjadi semakin tak tentu arahnya, seperti hidupmu. Semua momen
yang bergerak lambat kembali hadir disini, melalui Aqua Bvlgari
yang bercampur dengan aroma tubuhmu. Menghasilkan suatu paduan sempurna,
menggambarkan peta perjalanan pada punggungmu—yang aku yakin tidak pernah
mudah. Tentu saja disela-sela itu kita berpelukan dan saling berpagut, aroma
cengkehmu ada pada nafasku.
Malam
sudah sembunyi dibalik pintu, begitu juga angin bulan Maret yang kian malu
menampakan wajahnya kembali. Peron mulai disibukan dengan segala aktivitas pagi
yang selalu bergegas, entah untuk apa mereka semua berlari, mengejar waktu yang
sebenarnya tak pernah lebih cepat dari bayangmu. Dan ruang yang tak pernah
lebih luas dari sebuah peron, sebuah penantian.
**
|
Gambar diambil dari sini |
Aku memutuskan untuk lebih
lama tinggal di kota kecil ini, kini sudah bundar. Semata-mata hanya ingin menelusuri
jalan-jalan yang berkerak debu, sungai-sungai yang tak sederas dulu, dan perahu
kertas yang kini selalu berlari berkejaran dengan sampah plastik hitam. Tentu saja
denganmu, Antonio.
“lebih baik kita makan dulu
di kedai itu Na. kata temanku, bubur ayam disana enak.”
“kalau kata temanku,
salahsatu (bekas) penghuni kota ini yang enak dan lebih enak dinikmati di
penginapan itu, Ton.” Ia tertawa, atau lebih tepatnya menyeringai dengan mimik
khasnya yang aku sendiri sebal sekaligus nyandu.
Lalu kita makan bubur dan segera merapat ke penginapan tua di salahsatu sudut
kota. Ia bercerita banyak hal padaku, tentang kota, gedung-gedung, demonstrasi,
buku, film, perjalanan, teman-teman barunya, dan tentu saja kuliahnya di
jurusan filsafat—yang sumpah mati untuk satu hal ini aku tidak mengerti dan
tidak mau mengerti.
Hari-hari kita menjelma
kisah sejarah masa lalu yang belum tunai digenapi, yang menyisakan rongga pada
carik-carik kenangan. Kita menutupnya, kita menggenapi dengan patahan-patahan cerita
yang sempat hilang di kota satu terminal tua, satu stasiun, dan satu pelabuhan
ini. Sebelum akhirnya perpisahan itu harus datang kembali. Suatu pagi di kedai
kopi dekat penginapan, kita memesan dua cangkir kopi tubruk arabika lampung,
ditemani musik The Krogis, Everybody’s
Got To Learn Sometimes yang melantun pelan melatarbelakangi kotak
warna-warni yang sengaja di mute. Telepon
genggam Antonio berdering mematahkan lirik lagu itu, sekaligus mematahkan
sisa-sisa harapku. Ia harus kembali ke kotanya, ada urusan genting di dalam
organisasinya. Pagi itu juga ia segera bergegas menuju stasiun dimana kita
bertemu. Punggung lapang itu, ah Antonio. Ia menghilang bersama deru kereta,
derit roda, dan angin bulan Maret yang kembali menyayat kulit-kulit punggungku,
merangsek hingga rusuk belakangku.
Aku kembali asing, duduk di
ruang tunggu dengan asap country dan
sebotol heineken. Juga ‘rumahku’ yang
paling bersetia menemani jejak-jejak langkah. Aku kembali diselimuti malam,
digauli dengung purba tentang cinta yang tak pernah tunai. Mendengung dan
berpuing. Kembali dibiarkan sunyi di dalam.
Ada banyak peristiwa dalam
ruang tunggu yang begitu besar ini. Cukup banyak juga momen-momen yang bergerak
lambat. Kadang singgah, kadang hanya melintas. Namun diantaranya kamu selalu
mencatat. Aku menyusun dirimu, kamu membuat komposisi hidupku. Menandai begitu
banyak peristiwa yang menyusun kesendirian dari masing-masing kita. Semuanya berpilin
menjadi puing-puing yang berserak di berbagi kota yang kita singgahi.
**
Kamu masih tetap seperti
dulu Antonio, hari ini angin bulan Maret sudah tidak mengepungku. Karena hari
ini sudah Januari, Januari di tahun yang baru. Hampir setahun yang lalu
terakhir kita bertemu di stasiun sebuah kota dengan sungai yang sudah tak
sederas dulu. Di kedai kopi dengan lagu Everybody’s
Got To Learn Sometimes, kamu pergi dan hingga kini tak ada kabar. Untung saja
aku sempat menyimpan alamat emailmu, karena kamu tidak pernah mau dihubungi
lewat telepon genggam. Aku dikepung rindu yang sudah meluber ke seluruh ruang
ini, Antonio. Kemana lagi kamu Aqua Bvlgari?
Kutulis email
untukmu, Antonio. Semoga kamu selalu diberkati dengan nafas yang tetap
menyimpan daya hidup yang besar itu. Semoga.
“…kini aku mungkin tak punya semangat lagi untuk melanjutkan
kebahagiaanku, sungai itu sudah hampir benar-benar kering. Aku sudah tak bisa
mengalirkan perahu kertas, keresek hitam sudah terlalu banyak, volume airnya
semakin sedikit. Entah lari kemana air itu, aku tidak mengerti. Senja ini aku
akan mencoba mendatanginya sekali lagi, membuat dua perahu kertas, yang satu
kutulis atas nama mu. Tolong hubungi aku sekali saja, Antonio, telepon aku! Aku
ingin mendengar suaramu agar perahu ini bisa sampai di muara yang entah dengan
daya hidup yang besar sepertimu” (dari: diana_pincang@yahoo.com)
“Perjalanan
kita mungkin akan terhenti di stasiun berikutnya. Di suatu tempat yang
benar-benar asing bagi kita. Kemudian tubuh kita tercerai berai, menguap ke
seluruh sudut penantian, bergumul dengan mereka yang terduduk menanti. Kita mencatat,
menyusun, memberi arti, lalu kemudian mati… Aku segera menghubungimu, Diana.
Senja ini, mengantar perahu kita menuju muara segala semesta.” (dari: antonio47@gmail.com)
Aku melangkahkan kaki
menuju sungai itu. Senja ini, senja keemasan di langit. Terdengar angin
membisikan berita dari sebuah kota. Antonio, kamu begitu terasa dekat ketika aku
berada di sungai ini. Sungguh jika hidup adalah sebentuk penantian berupa ruang
tunggu, kamu merupakan ruang tunggu yang cukup nyaman untuk ditinggali.
Meskipun kini airnya sudah sejengkal.
Aku membuat perahu kertas berwarna coklat untukmu, warna kesukaanmu. Dan hitam
untuk perahuku. Kutuliskan namamu di perahu itu. Angin semakin kencang ketika
telepon genggamku bergetar. Nomor tak dikenal, suara itu! Antonio!
|
ah, perahu kertas itu... |
Angin bertambah
kencang, membuat suara di sambungan telepon tak terdengar jelas. Aku hanya
mampu mendengar suaramu “aku akan mengunjungimu besok, dikotamu…” kemudian
sambungan terputus dan aku terpeleset bersama perahu kita. Badanku terpelanting
diantara ranting, semak, dan bebatuan.
Sungai menjadi kemerahan, perahu kita
pergi entah ke muara yang mana.
Entah.
***
Jatinangor, Ditemani kopi
hitam dan Lucky Strike,
14 Maret 2012