Gambar diambil dari sini |
Rabu sore ini ada yang
berbeda di meja beranda tobucil. Sore yang biasanya hanya dihadiri oleh para ‘pembaca’
dan ‘penikmat’ karya, hari ini klab baca berkesempatan berbincang langsung
dengan penulisnya. Zaky Yamani, seorang wartawan Pikiran Rakyat yang mendapatkan gelar Master of Art and Journalism dari Ateneo de Manila University, Filipina pada tahun 2008 yang lalu.
Sesuai dengan tema bulan
Maret sebagai bulan baca absurditas, pada kesempatan pertama, cerpen berjudul Insomnia Bersama Johnny Walker yang
dilanjut dengan Saturday Night’s Lullaby
dibacai bersama-sama dengan cara ‘membaca nyaring’—suatu kebiasaan membaca yang
sudah jarang, bahkan mulai ditinggalkan para pembaca—satu persatu diantara yang
hadir sore itu. Disela-sela proses membaca, kita seringkali tersenyum tipis,
tertawa malu, hingga terbahak-bahak sebab tidak bisa menahan rasa yang didapat
ketika membaca. Tidak jarang juga kita menemui sejenis tawa yang lain, sebentuk
cara menertawakan diri sendiri melalui tokoh dalam kumpulan cerpen ini. Sebuah cerpen
yang tanpa pretensi apapun dalam penulisannya, bertutur ringan, dan menampakkan
fenomena urban sebagaimana adanya.
“Hanya serupa upaya
pemetaan antropologis masyarakat urban pada suatu masa, tidak ada tendensi
mengajarkan apalagi berpesan hal-ihwal moral” sambar Tarlen ketika Zaky
menjelaskan latar belakang peristiwa yang membidani lahirnya kumpulan cerpen
ini. Ada yang menarik dalam penjelasan Zaky mengenai Insomnia Bersama Johnny Walker, tulisan itu dibuatnya ketika ia hangover sehabis meminum si Johnny di kamarnya, sendiri. Ia baru
sadar ketika terjaga paginya dan melihat di layar laptop sudah ada beberapa
paragraf. Tidak ada proses editing, paling-paling
hanya membetulkan ‘selip kata’. “Psikedelik banget lah!” tambah Tarlen.
“Saya pikir, kumpulan
cerpen ini bisa hadir seperti ini tidak lepas dari pergaulan saya dengan
teman-teman. Keseharian saya. Sebab, jika saya—atau para pembaca—cermati
kembali, seluruh cerpen dalam Johnny
Mushroom adalah ekstraksi keseharian yang mengendap.” Zaky menjelaskan
maksudnya. Mungkin, bagi para pembaca yang selalu menantikan ‘hikmah’, pesan
moral, narasi besar, atau embel-embel fiksi lainnya—yang seringkali dianggap
wajib ada dalam setiap cerita—akan kecewa dan segera meremehkan ‘daya magis’ Johnny Mushroom.
Dalam kumpulan cerpen
ini, Zaky memarkirkan dulu etika dan soal-soal moralitas pada tempatnya, lalu
dengan mabuk ia mengendarai fenomena-fenomena urban, membawanya pada agora, tempat masyarakat berkumpul. Menunjukkan
realitas yang seringkali terpinggirkan, terlipat oleh gempita sebuah komoditas
kota.
Sebab realitas kadang lebih
absurd dari cerita fiksi paling gelap seperti sisifus-nya Albert Camus
sekalipun.
Pertemuan ditutup dengan
quote pembuka dalam buku Johnny Mushroom, kami membacanya dengan kepala yang
mulai limbung, mabuk.
“Taukah kau dimana kita hidup?” tanya
seorang kakek kepada cucunya. Si cucu menggelengkan kepala. Dia tak paham
maksud pertanyaan itu. Si kakek memberikan jawaban, “Ditengah keramaian dunia
yang mejadi akar dari segala kesepian kita.” –Zaki Yamani
Yang
menulis notulensi ini, sumpah! Tidak sedang mabuk atau dalam pengaruh mushroom. Hanya ditemani kopi dan Lucky Strike.
Azhar
Rijal Fadlillah, 15 Maret 2012
-------------------------------------
*KLAB BACA pertemuan
selanjutnya masih akan membicarakan karya-karya bertema serupa, sementara ini
pilihan masih condong ke tulisan-tulisan di majalah aktuil.
*Mengenai proyek ‘tulisan
berantai’, deadline nya per-satu minggu ya. Minggu pertama Stefanus Ping
Setiadi yang mendapat mandat untuk membuka cerita. Selamat menyelami bangkai
ingatan yang menyerupai karya fiksi.
Sampai bertemu dua minggu
lagi.