Kamu bangun dari tidur yang
panjang, mengedarkan pandang ke seluruh sudut kamar. Riuh sekali kamar ini,
kamu pikir. Gelas-gelas kopi bekas percakapan semalam bergerombol dengan
bungkus mie instan dan asbak yang sudah terlalu gemuk oleh puntung kretek. Mereka
berkumpul di sudut kamar. Dinding merah penuh coretan yang entah. Kamu sendiri
tidak pernah mengerti coretan yang kamu buat, sebab kamu tahu betul manusia
selalu meminta alasan atas apapun dan kamu tidak pernah mengerti alasan itu
apa. Seperti perempuan yang tergolek malas di atas kasurmu, berbalut selimut.
Kamu tidak pernah mengerti awal mulanya, tidak pernah mengerti alasannya. Kamu
terlalu kacau.
Poster Fidel Castro sedang
mengacungkan telunjuk berebut tempat dengan slogan-slogan atau mungkin quote dari mereka yang mengamini hidup
ini hanyalah sebentuk ruang tunggu, sebuah peron yang amat besar. Hanya sedikit
poster musik. Di sudut kiri
kamarmu rak buku kecil itu terlihat sudah tidak sanggup menyimpan beban, ia
gontai, rapuh! Disana bertumpuk karya-karya orang besar maupun yang belum
menjadi besar. Kamu sedari dulu begitu percaya bahwa hidup ini sangat adil.
Mereka yang bekerja keras, tentu menuai hasil, maka jika belum, kamu hanya
menunggu dan melihat. Yang kamu baca juga sudah bukan Nietzsche, Sartre,
Heidegger, Marx, Derrida, Foucalt, Zizek, dan antek-anteknya lagi. Mulai ada
Anton Chekhov, Maxim Gorky, Hemingway, Iwan Simatupang, Seno Gumira Ajidarma,
dan tentu saja Puthut EA di rak buku yang hampir jebol itu! Hampir runtuh!
Persis seperti mentalmu yang terus digempur pasukan dari negeri entah, kamu
tidak pernah beranjak. Kamu hanya berpindah. Kegalauan, oh galau, mahluk apa
lagi itu?
Oh ya, apa kabar Philiph
Kotler? Kamu hanya tertawa sambil melempar senyum sinis setiap kali aku
mengusik masa lalu itu. Ada banyak asalan untuk tidak bersetia pada apapun,
katamu.
Ah ya, kamu memang bukan
filsuf atau sastrawan, tapi boleh kan pegawai bank memikirkan hidup lalu
menuliskannya?
"Senja di Jakarta" diambil dari sini |
Kamu sekarang duduk disini,
dengan sebotol whisky yang tinggal seperempat. Mengadu padaku. Itulah
kebiasaanmu, selalu merasa sanggup dan kuat. Setelah tersungkur, merengeklah
kamu! Aku pikir air mata hidupmu khas sekali dengan jeritan kota. Orang-orang
kota itu—mobil dan motor yang melaju tergesa-gesa—seperti memperlihatkan
hatinya yang selalu gusar. Lihat saja kawasan Puncak selalu macet pada akhir
pekan, kesunyian mulai ikut andil
dalam riuh pasar. Apalagi yang masih bukan pasar? Apa lagi wahai Kotler? Hingga
kesunyian pun harus dibeli. Ditukar dengan pundi-pundi yang kamu bangun dengan
kegalauan itu. Semakin hari, kamu semakin kaya. Kamu semakin miskin gizi
spiritual. Mengemisnya setiap senja menuju malam mampir, ketika kamu melepas
dasi biru itu.
“Aku akan ke Jepara besok
pagi” bentakmu setengah mabuk.
“pergilah, kamu sudah
terlalu kusut dan kebanyakan uang. Titipkan salamku padanya”
“kamu ikut saja lah. Biar
nanti kerjaanmu aku bantu. Sekarang temani aku, perjalanan ke Jepara selalu
bukan perjalanan yang mudah, Ron. Nanti kamu bisa lanjut ke Surabaya sementara
aku di Jepara. Pulangnya kita mampir ke tempat Desi, kabarnya toko buku yang ia
rintis sudah maju. Aku pengen liat, kangen juga udah lama gak ketemu anak-anak
Jogja”
Antonio, kamu tidak pernah
bisa membuat aku menolak permintaanmu. Kamu terlalu baik, banyak hal yang sudah
kamu berikan pada hidupku. Kalau berbakti pada orangtua hanya bisa kulakukan
dengan membawakan kembang kamboja, mungkin memang hanya pada kamu aku harus
membakti, teman yang sedari dulu selalu membukakan pintu. Memungut aku dari
dinginnya jalanan, hingga kini aku sudah bisa memiliki sepetak kebahagian
sendiri bernama rumah dan seorang istri yang cantik. Tapi kamu, Antonio.
Lihatlah dirimu.
Kamu seorang teman yang
baik, ah tapi lihat dirimu Antonio. Kamu pernah bercerita padaku, kamu hanya
punya dua hari untuk dirimu sendiri; Sabtu dan Minggu. Tapi percayalah, itupun
bukan untuk kamu. Kamu pergi ke Bandung, Puncak, atau bar seperti malam ini
bukan demi dirimu sendiri. Sebab kamu melakukan semua ini agar kamu siap
menghadapi Senin, menghadapi dasi biru itu lagi. Lalu kapan penanggal kalender
di atas rak bukumu itu menunjukan hari milikmu? Sementara kamu dilucuti
terus-menerus, mereka semakin kaya. Modalnya semakin bertumpuk. Yang lain,
seperti aku misalnya, tambah miskin. Tambah melarat!
Sepertempat botol whisky
kamu tenggak habis, malam kian gelap dan lampu kota semakin cantik. Mereka
sudah benar-benar selesai bersolek. Para pengunjung bar mulai meninggalkan
kursi. Kamu pulang, aku beristirahat. Jakarta tidak.
Kota sudah mulai bersiap kembali
memulai hari yang baru. Kebisingan yang baru, demonstrasi yang baru, dan segala
kriminalitas yang sudah siap menguntit siapapun yang lengah. Embun tidak ada di
kota ini, bahkan mungkin cucuku nanti hanya akan mendengar embun dalam
cerita-cerita romantik. Seperti aku yang hanya mampu mendengar ladang subur dan
masyarakat yang sejahtera dengan segala budaya luhurnya di epik-epik purba.
Yang tertinggal hanyalah patung, lukisan, sajak, cerita, dan lagu-lagu. Tapi
karya seni macam apa yang bisa ditinggalkan kota yang terlalu sibuk seperti
ini? Sebab hidup hanyalah sebentuk ruang tunggu. Manusia datang dan pergi,
kehidupan tak pernah beranjak sedikitpun. Ia menetap, selalu ada, tidak pernah
dan tidak mungkin menjadi tidak ada. Sebab tidak mungkin dari ada menjadi
tiada, dan juga sama tidak mungkinnya dari tidak ada menjadi ada. Berubah
bentuk, mungkin. Lihat saja Jakarta hari ini. Lihat saja Yunani hari ini. Lihat
saja dirimu hari ini!
“Ron, kita ketemu di Lebak
Bulus saja ya. Aku pengen naik bis. Kereta selalu terlalu mengingatkanku.
Kenangan sudah beranak-pinak dengan terlalu subur disana. Juga demit yang
bersemayam di setiap gerbongnya selalu menyergapku dalam keadaan tidak siap.”
“Jam 8 di terminal ya.”
Sambungan diputus, dengung nada telepon yang tersisa. Tanpa kicau burung dipagi
hari, tanpa embun!
Pagi, bagi kami orang kota,
hanyalah sebentuk persiapan-persiapan singkat menuju kerja. Selalu, sarapan
yang singkat, sedikit membaca headline
koran, sececap kopi dan rokok yang tidak pernah habis, juga sedikit kecupan
istri. Sedikit, sedikit saja. Sebab efektivitas dan efisiensi sudah terlalu
sering didengungkan di telinga kami. Sebab sedikit saja kami lambat, di akhir
bulan istri sudah merengek meminta telivisi baru yang tidak terbeli.
Mimipi-mimpi yang tidak tercukupi. Sementara Kotler dengan strategi
pemasarannya semakin membuat kami kalap. Terlalu banyak yang tidak kami mampu
beli, terlalu banyak mimpi yang seolah kami butuh.
Sialan! Internasionale dari ipod membentak! Merah dan marah! Sixth
stanza habis melumatku. Aku hanya tersenyum, miris barangkali.
Kenapa ada lagu ini di ipod? Aduuh…
Antonio memilih kursi di
samping jendela, memasang headset.
Aku disebelahnya sibuk dengan tablet.
Melihat beberapa email yang hampir
semuanya urusan pekerjaan. Semua pekerjaan ini mendesak, tidak bisa tidak, aku
tertekan. Ah, dimana cinta itu bersembunyi? Dulu, emailku selalu dibanjiri
pesan-pesan hangat yang syarat akan emosi. Aku merasa penuh, aku merasa utuh.
Sekarang sudah berkeluarga urusannya kalau tidak televisi baru, ya mobil baru.
Kamu sedari dulu begitu
percaya pada kesendirianmu Antonio, sebab kamu selalu menemukan alasan dan
banyak pembenaran untuk tidak bersetia pada apapun. Begitupun ketika aku akan
menikah, kamu hanya tersenyum, aku menangkap itu senyum lirih. Entahlah. Baru
setahun yang lalu aku menerima kabar darimu, kamu mengingkari kepercayaanmu.
Kamu murtad. Katamu, kini kamu sudah menemukan perempuan yang layak dijadikan
pasangan hidup. Pasangan untuk menanti di ruang tunggu yang terlalu sepi jika
dihabiskan sendiri, katamu. Tapi sial, perempuan itu pergi bersama perahu
kertas. Mengunjungi dunia entah, dunia gelap barangkali. Karena sampai saat ini
tidak ada satupun ilmuwan yang berhasil mengungkapnya. Kemarin malam kamu
datang padaku, menangis dengan kuat. Kencang sekali hingga kita menjadi pusat
perhatian seisi bar. Kamu menegak habis sebotol whisky, kamu berteriak kemudian
menangis kembali. Katamu, hidup harus tetap berlanjut, sebab hidup sudah cukup
dengan bernafas. Tapi hingga kini kamu belum juga menemukan arti apa itu nafas.
Entahlah, aku juga tidak mengerti.
Bis Shantika dengan lahap menyantap setiap tikungan, para penumpang
mulai terlelap. Aku masih terjaga, melihat teduhnya mata tua yang duduk di
sebrangku, seorang laki-laki matang dengan istri dan seorang anaknya.
Sepertinya mereka akan pulang kampung, pikirku. Bis berhenti di salahsatu rumah
makan—yang sudah bekerjasama dengan PO bis ini sepertinya—. Aku turun untuk
makan, Antonio turun untuk rokok dan kopi. Saat makan, mataku masih belum bisa
lepas dari lelaki bermata teduh itu. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang
sangat istimewa darinya. Aku tidak tahu itu apa dan tidak mau tahu lebih jauh,
hanya ingin melihat matanya. Mata itu, aku seperti dibawa ke sebuah dunia
dimana rumahku berada di tepi danau yang dikelilingi pohon pinus dan gemericik
hujan di sore hari. Semua terasa sejuk, teduh, damai.
Antonio masih khusyuk
dengan rokok dan kopinya, sesekali ia melempar pandang pada keramaian yang
tercipta di rumah makan ini. Pak sopir sudah masuk kembali ke bis. Pengumuman
didengungkan, kami semua masuk dan bis kembali berlari menuju Jepara. Aku masih
setia, tak mau berpaling. Beberapa kali aku kepergok tengah melihat lelaki
bermata teduh itu, ia hanya melempar senyum, aku tangkap dengan senyum juga.
Antonio masih melihat keluar melaui jendela, lalu terlelap.
Hiruk pikuk terminal Jepara
yang terletak tidak begitu jauh dari pantai Kartini membuat malam begitu
bergairah. Orang hilir mudik dengan barang bawaannya yang kebanyakan lebih dari
satu tas. Mungkin sebagian besar dari para penumpang—yang tadi ada di bis—akan
ke Karimun Jawa, sebuah objek wisata yang sangat indah. Antonio masih kusut
karena baru terbangun dari tidurnya. Sementara lelaki bermata teduh itu kini
hilang dalam kerumun. Itulah pertemuan singkatku dengan sesosok manusia yang
mengantarku pada masa-masa kecil, pada sebuah kampung di selatan Pasuruan,
sebelum akhirnya aku dibawa pamanku—seorang pencopet ulung—ke Jakarta, lalu
ditemukan menggigil di jalanan oleh Antonio.
“Ron, kita cari penginapan
dulu lah. Capek nih.” Matanya yang masih sedikit terlipat berjalan sempoyongan.
“oke-oke, aku ada
penginapan langganan Ton, di dekat pantai Kartini. Enak disana, pemandangannya
kalau malam cukup bagus.”
**
“ton, ayo bangun. Kita
sarapan di pinggir pantai. Asik nih sambil liat sisa-sisa sunrise.”
“engga ah, aku pesen dari
kamar aja. Males keluar. Oh ya, sekalian aku titip rokok ya Ron.”
Aku melangkahkan kaki
keluar, hanya memakai celana pendek dan kaos oblong, menikmati roti isi dengan
segelas kopi di pagi hari, beratapkan langit pantai Kartini. Ah bukan
perjalanan yang buruk. Telepon genggamku berdering, sebuah dering untuk pesan
yang masuk ke email. Dari teman lamaku di Surabaya, ia tahu aku sedang di
Jepara dan meminta aku untuk mengunjunginya di Surabaya. Ada bisnis besar,
katanya. Segera aku membalas dengan persetujuaan tanpa pikir panjang. Bagi
orang kota sepertiku, tidak mungkin ada kata tidak untuk sebuah kesempatan
bisnis. Untuk sebuah kesempatan mampu membeli mobil baru, atau paling tidak
sebuah televisi baru. Aku kembali ke kamar, mengganti pakaian dan merapikan
ransel.
“Ton, aku lanjut ke
Surabaya ya. Si Boni tadi ngirim email. Ada peluang bisnis nih. Lumayan, siapa
tau menjanjikan.”
“tiga hari lagi kita ketemu
di sini ya. Oh ya, mana rokok? Asem nih.”
“aaah, lupa Ton…”
“dasar, giliran udah urusan
duit aja lupa ama temen. Yaudah gih, hati-hati di jalan ya. Salam buat
anak-anak sana!”
Aku meninggalkan penginapan
dengan sebungkus harapan pada Surabaya. Langit Jepara masih bersahabat untuk
pejalan kaki, aku berjalan menyusuri trotoar butut menuju terminal, membeli satu tiket menuju terminal
Bungurasih, Surabaya—yang terkenal sebagai terminal paling padat itu.
Jakarta semakin jauh,
tertinggal di belakang bersama tumpukan pekerjaanku yang belum selesai.
**
Aku merasa harus
menghubungi Desy, sekadar menemaniku ke Karimun Jawa beberapa hari ini. Aku
ingin berkemah disana, menyewa Landrover
untuk menjilat seluruh pesisir pulau Menjangan. Aku ingin merasakan liburan
yang benar-benar bebas. Denyut Jakarta yang melahirkanku, aku dilahirkan untuk
membenci rahim itu. Boleh juga kan sesekali lepas dari kutukan itu?
Roni sudah sampai di
kontrakan temannya, tadi ia mengirim pesan untukku.
Senja yang keemasan hadir
di pesisir pantai Kartini, sebagian sinarnya menyinari kamar, mendesak masuk
melalui jendela bagian atas. Sinar keemasan itu memilih bersetubuh dengan meja
di kamar ini, membuntingi sepi yang menjadi begitu purba bagiku, si anak
kandung urban.
Arloji Rolex di lengan
kiriku menunjukan pukul 6 sore. Pintu kamar diketuk, aku melangkah menggapainya
dengan sempoyongan. Hari ini aku belum keluar kamar, menikmati malas yang
biasanya tak boleh hadir. Kubuka daun pintu, yang nampak adalah sosok perempuan
kecil berambut sebahu yang diurai berantakan, mengenakan kaos putih polos dan
celana jeans ketat. Kaki mungilnya dibalut sepatu Karrimor yang aku pikir sudah
lebih dari dua bulan tidak dicuci. Ransel Eiger bersandar di pundak mungilnya.
Ah Desy, kamu selalu cantik dan menggemaskan.
“Permisi, apa ini benar
kamar yang ditempati penulis terkenal itu? Seorang bankir murtad yang menulis
untuk membebaskan jiwanya?” ia tersenyum.
“Maaf mba, apa saya
terlihat seperti penulis?”
“hmmmmm tidak”
“kalau begitu saya bukan
penulis. Apa saya terlihat seperti seorang bankir muda yang sukses?”
“tidak juga” ia mulai
memainkan rambut yang berantakan itu. Menggemaskan!
“berarti saya bukan seorang
penulis dan sekaligus bankir muda yang sukses.”
“hhmmmm ya ya ya, anda
terlihat seperti seorang pria paruh baya yang sedang kacau. Dari tampangnya
sih, anda mungkin seorang bajingan yang memiliki banyak perempuan di berbagai
kota.”
Hahahha kami berdua tertawa
lepas.
“Antooooonn, kangeeeennn…”
ia lompat memelukku, erat.
“Kamu kemana aja sih,
semenjak lulus gak pernah main ke Jogja lagi. Udah banyak duit di Jakarta lupa
Jogja deh. Huuuh.” Kamu semakin menggemaskan ketika menggerutu seperti itu,
batinku.
“ia Des, aku sibuk cari
uang. Hahahha”
“dasar, cemen! Nih udah aku
beliin tiket ferry buat nyebrang besok pagi. Jam 7 udah bangun ya!”
“ok, gampang. Eh Des, kamu
ga pesen satu kamar lagi? Masa mau tidur berdua? Ga takut diperkosa seorang
bajingan niiih? Hahhaa” mendadak aku menemukan keceriaanku yang telah lama
hilang. Ah Diana, semoga kamu bahagia dengan perahu kertas kita di dunia yang
entah itu. Semoga.
“diiiih, Lu bukan selera
gua kaleee… Lagian dari dulu kita sering tidur bareng dan gak pernah ada
apa-apa. Di sekre lah, di gunung lah, di penginapan-penginapan murah lah, jijik
banget sih loe sekarang!” kamu manyun. Tetap seperti dulu.
“hahaha iya iya, bercanda.
Aku tidur di sofa aja deh.”
“selamat malam..”
Lampu dipadamkan, aku belum
mau menutup mata. Hanya menghirup udara di ruangan ini yang mendadak begitu
segar. Begitu mekar.
**
"Senja di Pelabuhan" diambil dari sini |
Bunyi lonceng KMP Muria
yang akan membawa kami ke Menjangan Besar sudah mengudara dengan gagah. Sedikit
bising untuk pelabuhan sekecil ini. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih
lima jam menyebrangi lautan biru, Fery akhirnya merapat. Kami turun dengan raut
muka yang tak pernah bisa lepas dari batas horison, ingin rasanya titik batas
itu runtuh. Sebab apa yang nampak selalu tidak cukup bagi mataku, mata yang
sehari-harinya hanya melihat monitor dengan angka dan grafik yang membuat
kepala pusing. Aku ingin berlari menuju tepi pulau ini lalu merasakan ombak
menghantam tubuh lelahku. Aku ingin duduk malas di bawah pohon kelapa sambil
menikmati senja yang perlahan menghilang. Aku ingin bercinta dengan Diana di
semak-semak terdalam pulau ini, lalu memanjat pohon kelapa dan meminumnya
bersama. Aku ingin.
Desy masih mengurus
keperluan di bungalow tempat kami akan menghabiskan beberapa hari. Tidak ada
kemah, juga Landrover. Mimpi orang
kota yang selalu haus akan eksotisme alam. Setelah semua beres, kami istirahat
sebentar di beranda sambil menunggu Pak Karim menjemput dengan perahu
nelayannya. Kami akan berkeliling ke beberapa pulau kecil di sekitar sini,
bermain dengan hiu di penangkaran, menikmati biota laut, lalu menyantap lobster
di restoran terapung.
“den, mari kita berangkat.
Anginnya lagi bagus buat keliling. Kalau kita berangkat dari sekarang,
kemungkinan matahari tenggelam bisa dilihat dari restoran terapung itu den.
Turis-turis suka sekali makan disana sambil melihat matahari tenggelam, sunset kalau kata orang kota, den.”
Wajah riang yang dihiasi kretek itu menyapa kami dengan ramah.
“ayo des. Bawa kamera kan?”
“nah kan, Jakarta. Udah
nikmati aja pemandangannya. Tak usah lah kau potong-potong itu panorama kedalam
gambar.”
“iya-iyaaa” jawabku gemas.
Aku sendiri heran, bukan hanya Desy. Mungkin ia merasa sudah tidak bersama
Antonio yang tiga tahun lalu. Pekerjaan sialan!
“Pak Karim, nanti kita
mampir di Menjangan kecil dulu ya. Saya pengen trekking, jalan-jalan ke dalam pulau gitu pak. Bapak bisa antar?”
“bisa den, aden udah bawa
peralatannya?”
“udah pak, saya udah
siapkan semuanya. Panggil saya Anton aja ya Pak, teman saya yang ini Desy
namanya pak.”
“iya den…” jawabnya sambil
tetap tersenyum
Sepanjang perjalanan, aku
terus memburu Pak Karim dengan segerombol pertanyaan khas anak kota. Desy hanya
senyum-senyum sambil menikmati Marlboronya. Menghembuskan asap itu bersama
pandangannya yang entah menuju kemana. Mungkin pada momen-momen sedih dalam
hidupnya. Nyala mata indah itu kini berubah lirih. Menyimpan gelora yang
sebentar hidup sebentar padam. Jujur, kamu semakin cantik dengan mata yang
menatap nanar itu Des, batinku.
Sebelum aku tertarik pada Diana dan perahu kertasnya, aku memang menyimpan ketertarikan padanya, sejak dulu. Meskipun ketertarikan
itu tidak pernah mewujud dalam apa-apa, sebab aku tahu betul, perempuan ini
lebih mengasyikan dipandang dengan sebuah jarak yang melahirkan debar-debar
aneh, desir yang selalu mengerayangi punggungku malu-malu. Terlebih lagi aku
memang tidak pernah mau jatuh cinta pada siapapun, tak mau bersetia pada
apapun. Tidak, cukup sudah pada Diana dan perahu kertas yang pergi entah
kemana.
“Den, bapak kadang-kadang
suka aneh dengan orang-orang kota. Mereka datang kesini menghabiskan jutaan
uangnya, untuk kotor-kotoran di lumpur pulau bagian dalam, main pasir, melihat
kehidupan di dasar laut, berjemur, dan makan ikan laut. Setiap tamu bapak
selalu saja mengeluh den, seperti den Anton ini. Katanya kota begitu
melelahkan. Tapi mereka tetap saja kembali lagi ke kota ya den.”
“iya pak, soalnya di kota
itu sumber penghasilan kami Pak.” Jawabku malu.
“betul den, karena ada
orang-orang kota seperti den Anton ini bapak tetap bisa ngasih makan keluarga
selama 20 tahun. Tempat ini juga semakin hari semakin ramai den. Katanya
gara-gara udah masuk internet. Ah bapak gak ngerti den.”
“wah bapak udah 20 tahun
jadi pengantar tamu disini?
“oh bukan den, sehari-hari
bapak kerjanya ya sebagai nelayan. Kalau tamu lagi rame, cuaca bagus, bapak
nganter tamu. Itupun baru lima tahun belakangan ini. Ya semenjak masuk internet
itu katanya den. Hebat juga bapak pikir, tamu jadi rame terus gara-gara
internet. Bapak jadi bisa beli perahu baru den…” ia tertawa, simpul kecil di
ujung bibirnya yang menghitam seolah mengisyaratkan rasa syukur yang begitu
dalam pada hidup yang sudah banyak memberi. Pada hidup yang tak lelah
mengasihi.
“Bapak pernah ke kota, Pak?
Ke Jepara misalnya?” sambar Desy.
“pernah, tapi hanya sampai
Jepara saja. Bapak gak betah. Katanya banyak orang jahat di kota. Lagipula
bapak sudah betah dengan laut den. Bapak lahir di laut, mati pun kepengen di
laut.”
“Nah itu daratannya den,
siap-siap sebentar lagi kita turun” Pak Karim bergegas mengayuh sampannya, lalu
mematikan mesin yang sedari tadi mendesing, membuat pekak telinga.
Kami turun dari perahu Pak
Karim yang di cat hijau bertuliskan Urip
Iku Urup, sebuah peribahasa jawa yang artinya kurang lebih: Hidup itu nyala, hidup itu hendaknya memberi manfaat
bagi orang lain di sekitarnya.
Sepanjang
perjalanan masuk ke bagian dalam pulau, kami disuguhi pemandangan luarbiasa.
Rimbun dan basah, bau tanah sehabis hujan yang bercampur lumut. Matahari tak
mampu leluasa membanjiri sinar kedalaman pulau ini. Aku masih terus memikirkan
peribahasa jawa yang terpampang di perahu Pak Karim. Urip Iku Urup…
“eh Des, kabarnya toko
bukumu sudah maju ya. Udah ada dua pegawai. Walah, aku kangen temen-temen di
Jogja Des. Sepulang dari sini, aku ikut ke Jogja ya.”
“boleh, syaratnya cuma
satu. Kamu jadi donatur kegiatan-kegiatan komunitas kami. Hahahha” ia tertawa
renyah. Uuuhh, renyah!
“kan seperti katamu, aku
tidak nampak seperti seorang bankir muda yang sukses. Ngapain minta donasi pada
pria paruh baya yang tampak kusut dan kacau, bajingan yang memiliki banyak
perempuan. Hahahha” aku hanyut dalam kembang bibirnya.
Pak Karim masih dengan
kreteknya, memandu jalan di depan sambil sesekali mengingatkan kami kalau ada
lubang dalam dan bahaya-bahaya lainnya. Bahaya bagi anak kota!
Kami istirahat sejenak di
salah satu batang pohon yang baru tumbang, mungkin baru semalam. Melegakan
tenggorokan dengan air mineral yang kami bawa, tentu saja kami berbagi dengan
Pak Karim, sekadar menunjukkan bahwa orang kota pun mau berbagi.
“Ton,” suaranya mendadak
pelan, sorot matanya melemparkan sesuatu.
“kenapaaa? Donasi? Gampaaaang.”
Aku tetap berusaha melakukan pertahanan sebelum ia melakukan serangan mendadak.
Bahaya, pikirku. Ia mungkin sudah tahu kelemahanku.
“Tooon,,,”
“bukan itu, aku…” suaranya
semakin pelan, berat, dan sedikit manja. Sorot matanya semakin dalam. Sial, ia
sudah tahu kelemahanku. Ia sudah ada di jantung pertahanan, sekali menembak ke
gawang, mampuslah aku.
“apa sih? Ayo kita
berangkat lagi, keburu sore” untung aku punya pertahanan berlapis.
“Antonioooo, dengerin aku.”
“Kita sudah kenal begitu
lama, awalnya aku tidak pernah merasakan sesuatu yang istimewa darimu. Kamu
hanya teman baikku. Tapiiii….” Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya,
jantungku sudah berdetak berpuluh kali lipat lebih kencang dari biasanya. Ini
bukan Jakarta, tapi badanku penuh keringat. Ah sial, kamu semakin cantik dengan
caramu menatapku. Tatapan yang belum pernah aku rasakan darimu, tatapan yang
tidak aku inginkan. Aku ingin jarak, aku ingin tetap menjaga desir yang
menggerayangi punggungku kala kita bertemu. Aku tidak ingin bersetia, ada cukup
banyak alasan bagiku untuk tidak bersetia pada apapun, pada siapapun.
“Tapi aku merasa sangat
nyaman Ton, aku sangat penuh saat bersamamu. Aku ingiiin…” ia memelukku, erat.
Ia menatapku dari jarak yang sangat dekat, air matanya menetes. Oh Tuhan,
tolong. Ia mencium keningku, sambil tetap memeluk erat pinggangku. Semakin
erat. Air matanya mengalir deras. Aku tidak tahu rasa apa yang ada dibaliknya,
juga rasa yang ada pada diriku.
Senja keemasan akhirnya
berhasil merangsek masuk disela-sela pepohonan, memilih kami berdua yang sedang
bersitatap. Wajahmu, dipilih senja. Punggungku. Kita dipilin senja keemasan,
menuju dunia yang selalu tidak pernah akrab untuk dibiarkan sepi sendiri di
dalam hati.
Aku masih tidak mengerti
apa yang ada dibalik rasa ini. Ah manusia memang selalu mencari alasan dibalik
suatu peristiwa dan aku hampir selalu tidak pernah menemukan alasan final atas
sebuah peristiwa yang terjadi. Oleh sebab itu aku tidak pernah mau bersetia.
“Aku juga begitu, Des…
bersamamu.” Astaga, aku mengucapkan itu. Itu berarti? Kamu memelukku semakin
erat, air matamu kini membasahi punggungku, merayap turun hingga pinggang. Kamu
kembali menatapku dalam-dalam, memasuki dunia sepiku yang sudah lama tak
kubiarkan ada yang mengetuknya. Seperti Diana, tapi kamu memiliki daya tatap
yang lebih besar, sorot yang dalam. Pertahananku ambruk seketika. Semburat
jingga tumpah, membanjiri mega-mega.
**
Satu jam kemudian, kami
sudah kembali di bibir pantai dengan tangan yang berpegangan. Serta senyum
tipis menyungging di masing-masing bibir kami.
“langsung pulang ke
penginapan aja ya pak. Kami sudah lapar.”
“iya den, lagipula sudah
terlalu sore dan angin mulai kencang. Kita terlalu lama di dalam.”
Sesampainya di Menjangan
Besar, kami memesan dua kursi untuk menyantap hidangan laut. Tentu dengan
mega-mega yang sedari tadi sudah ditumpahi semburat jingga. Musik mengalun
pelan, kami hanyut dalam suasana senja itu. Hingga aku lupa dengan rasa lobster
saus kecap yang paling aku sukai melebihi apapun di dunia ini.
Telepon genggamku
berdering, nomor dari Jakarta. Aku permisi sebentar untuk menerima telepon.
Suara di sebrang menyerangku tanpa ampun, bicara tak kenal lelah. Sempat ku
lihat Desy yang duduk sendiri menghadap laut lepas berlatar langit keemasan, ia
tersenyum. Aduuuuh, manis sekali.
“gimana? Kamu bisa ke
kantor besok siang?!” sambungan diputus tanpa menunggu jawaban dariku. Selalu,
semenjak efektivitas dan produktivitas di dengungkan setiap hari sebagai
mantra-mantra di telingaku, aku tidak pernah bisa mempunyai waktuku sendiri.
Selalu hanya sebentar, sambil lalu. Hanya peregangan otot untuk kembali
bekerja, mengabdi pada kapital.
Aku kembali menghampirimu,
senyummu semakin merekah. Namum telepon kembali berdering sebelum aku sampai di
kursi, nomor lain , dari Jakarta lagi.
“Toooon, kamu kemana sih?
Kamu pergi gitu aja… aku kangeeeenn Antoooonnn..” suara manja itu serempak
dengan gemuruh ombak, memecahkan seluruh ingatanku. Aku lupa pada perempuan di
Jakarta sana. Aku kembali jatuh ke dalam deras sungai yang sama.
Sial! Telepon genggam
dibanting. Aku berlari sekuat tenanga, menggapai pantai, menikam ombak.
Berlari, hanya berlari.
"Senja di KarimunJawa" foto oleh Diana Suciawati |
Sebab semenjak efektivitas dan produktivitas di
dengungkan setiap hari sebagai mantra-mantra di telingaku. Semenjak luka yang
membentuk sebongkah mahluk bernama galau dalam diriku. Aku harus terus berlari,
terus berlari, berharap gelombang kegalauan itu akan surut, tertinggal di
pantai lalu.
Desy hanya memicingkan
mata, menggelengkan kepala.
Antonio, Antonio, kamu
masih kacau seperti dulu…
***
Jatinangor,
masih dicuri sepotong malam
19
Maret, 2012
ARF