Bendera
Omong Kosong![1]
:Sepotong Prosa Liris
Bilur
terkepung, seluruh mata memandang heran. Pak Sobri menatapnya dalam-dalam, Bu
Mirna melotot sampai matanya terlihat akan keluar, seluruh teman-temannya mengerinyitkan
dahi. Pagi yang sebetulnya begitu indah mendadak pecah. Angin menghembuskan
aroma kekalahan jauh dari negeri yang entah, mega-mega sebagai atap segera
roboh, berpuing di lapangan upacara. Tubuhnya lingsut diantara mata-mata yang
tajam menatap peristiwa.
Ia menghujam
topi merahnya ke tanah, meninggalkan lapangan upacara. Berlari-lari kecil
menuju kamar mandi, menangis sekuatnya. “Kenapa benderanya terbalik?” teriaknya
pada diri sendiri. Semenjak hari itu, Bilur menyimpan dendam pada sebuah ritual
pagi di hari senin. Hingga kini, 20 tahun lamanya.
Upacara Memperingati HUT RI ke-65 di Papua, gambar diambil dari sini |
***
Hari masih
terlalu pagi untuk menyingsingkan selimut. Masih terlalu dini untuk bergegas.
Matahari belum mau rekah, belum hendak menelusup diantara padat jalan-jalan
kecil di kota ini. Embun di negeri entah pun belum siap untuk pergi, untuk
luruh dari kembang-kembang halaman. Semenjak efektivitas dan efisiensi
didengungkan di telinga serupa mantra-mantra penolak bala, Bilur mulai bebal
dengan prosesi menikmati pagi, seremoni lambat menyambut kehidupan. Tidak, itu
bukan milik anak kota. Rasa yang lamat hanya milik orang desa yang kini pun
mulai kehilangan jiwa, televisi meracuni pikiran mereka. Dengan mimpi-mimpi
yang tak terbeli, dengan tanah-tanah yang sudah bukan milik mereka.
Bilur segera
bergegas dengan motor tuanya, berebut pagi yang hiruk-pikuk dengan para pelari
hidup. Sebab kota tak punya cukup tempat bagi mereka yang lambat. Bilur ingat,
semasa sekolah dasar di kampung, ia pergi ke sekolah berjalan kaki, sambil
bernyanyi. Melewati pesawahan hijau, pohon-pohon yang masih basah oleh embun
sisa semalam. Bertegur sapa dengan Bu Mirna tetangganya yang juga mengajar
sebagai guru matematika di sekolahnya. Ia berjalan dengan beberapa kawannya.
Tiga sampai empat biasanya, sambil berlari-lari kecil sehingga tas yang ia bawa
memantul-mantul di pantatnya. Kemudian matahari lamat-lamat hinggap, menyinari
wajah mereka yang kadang masih beringus. Tak ada klakson mobil dan motor, tak
ada bos yang mendengungkan mantra-mantra produktif.
“Kamu dimana Bil?
Kita ada upacara bendera hari ini. Kalau telat, si bos bisa nyerocos.” Semenjak peraturan menteri
bulan lalu, setiap kantor kini harus melalukan upacara bendera pada senin pagi,
layaknya bocah-bocah berseragam merah-putih.
“dijalaaan,
kena macet nih. Sial!” sambungan diputus, di telinganya kini didengungkan lagi
lagu pagi sebuah kota, klakson dan sumpah serapah para pelari yang gusar.
Ritual pagi mereka yang selalu bergegas seolah menggambarkan peta perjalanan
hidup yang tak pernah lengang. Kehendak yang tak pernah habis, sebab hidup
mereka sudah kadung tanak oleh mahluk bernama rupiah. Sebab televisi terus menggempur
mimpi-mimpi istri dan anak mereka.
Sudah setahun
ia tinggal di kota, itu berarti sudah setahun juga tidak pernah lagi dikunjungi
sepi. Sebab efektivitas dan efisiensi selalu didengungkan di telinga serupa
mantra-mantra penolak bala. Sebab semua sudah mejadi pasar. Hingga kesunyian
pun harus dibeli, betapa kawasan Puncak-Bogor kini semakin ringkih menahan
kegelisahan orang-orang kota, para pelari hidup. Dimana lagi tempat yang bukan
pasar? Teriak Bilur.
Ia memang
bukan filsuf, hanya seorang anak desa tamatan SMK—yang kampung halamannya tak
tercatatkan di peta, mungkin kehidupan disana terlalu sepele untuk dicatat. Apa
itu filsafat juga ia tidak tahu benar. Tapi boleh juga kan ia mempertanyakan
hidup? Sebab jangan lagi kita ulang kesalahan para filsuf yang memperjelas
semua hal, tapi lupa bagaimana cara memotong semak di halaman belakang dan
menyiram bunga di sepetak halaman depan.
“woooi, kalau
bawa motor jangan ngelamun! Giliran mobil gue udah keserempet, mana bisa lu
ganti rugi!”
“iya, maaf
pak” wajahnya tertunduk, meminta belas kasihan.
Kota sudah benar-benar
siap kembali memulai hari yang baru. Kebisingan yang baru, demonstrasi yang
baru, dan segala kriminalitas yang sudah siap menguntit siapapun yang lengah.
Embun tidak ada di kota ini, bahkan mungkin anak cucu kita nanti hanya akan
mendengar embun dalam cerita-cerita romantik. Seperti Bilur yang hanya mampu
mendengar ladang subur dan masyarakat yang sejahtera—dengan segala budaya
luhurnya—dalam dongeng purba yang diceritakan neneknya. Yang tertinggal
hanyalah patung, lukisan, sajak, cerita, dan lagu-lagu. Tapi, karya seni macam
apa yang bisa ditinggalkan kota yang terlalu sibuk seperti ini? Sebab hidup
hanyalah sebentuk ruang tunggu. Manusia datang dan pergi, kehidupan tak pernah
beranjak sedikitpun. Ia menetap, selalu ada, tidak pernah dan tidak mungkin
menjadi tiada. Sebab tidak mungkin dari ada menjadi tiada, dan juga sama tidak
mungkinnya dari tidak ada menjadi ada. Berubah bentuk, mungkin. Lihat saja
Jakarta hari ini. Lihat saja dirimu hari ini!
Bilur kembali
tenggelam dalam lamunan. Kembali hanyut oleh deras arus kota yang membawa
setiap manusianya pada keterasingan. Ia mulai menyadari apa yang telah ia
lakukan pada hidup yang telah begitu banyak memberi, pada hidup yang tak pernah
lelah mengasihi.
Suasana di
pelataran parkir kantor sudah ramai oleh para peserta upacara. Mereka tidak
lagi bocah yang memakai seragam merah-putih. Tak ada lagi ingus yang
bergelantungan. Mereka semua wangi parfum yang dibeli di perempatan jalan, imitasi
parfum-parfum ternama. Dengan gesit Bilur merapatkan diri pada barisan
tubuh-tubuh wangi itu. Ia mulai lupa bagaimana bau tanah sehabis dicumbu hujan,
atau embun yang luruh menetes pada tanah pagi. Ia kini hanya ingat Calvin Klein, Chanel, Armani, Issey Miyake,
dan sederet parfum ternama yang ia pernah coba beberapa variannya di toko
parfum murahan perempatan jalan. Demi menarik lawan jenis, semua cara
dilakukan. Demi bertahan hidup, semua cara dilegalkan.
Pemimpin
upacara mulai memasuki lapangan upacara, prosesi upacara bendera segera
dimulai. Seketika itu, segerombol pasukan bernama kenangan menghantam Bilur
tanpa aba-aba. Ia memiliki sentimen pribadi pada sebuah upacara bendera.
Semenjak insiden upacara saat ia sekolah dasar—setiap menghadapi upacara atau
sekadar melihat upacara bendera—hatinya tak pernah jenak. Tubuhnya mulai
mengeluarkan keringat dingin. Berkuar aroma kekalahan dari masa yang jauh
tertinggal di kampungnya. Ia menyimpan serupa trauma aneh dalam dirinya.
Upacara bendera menjelma kutukan seumur hidup bagi Bilur, seperti Sisifus yang dikutuk mendorong
batu ke puncak gunung sepanjang hidupnya.
Namun kehidupan
tak pernah berhenti oleh kekalahan-kekalahan, tak pernah ambruk oleh hantaman.
Selalu ada upaya dan usaha-usaha kecil yang mampu meringankan batu besar itu.
Selalu ada musik yang mampu mengusir jenuh dalam medan perang. Selalu ada bidang
landai untuk sejenak mengulur nafas, mengatur strategi. Kehidupan hanya
berhenti ketika kita berkehendak untuk menghentikannya.
Kadang, hidup ini
memang hanya selebar televisi, jika kita
membukanya, lelahku lelahmu tak cukup untuk mengarunginya.
Dan jika kita menutupnya tak butuh satu tarikan
nafas tuk selesai...untuk sudah.[2]
Upacara pun
selesai, semua karyawan dan petinggi perusahaan membalikan badan dan kembali
pada meja kerjanya masing-masing. Sang bendera dwi warna sudah berada di
puncaknya, dengan gagah menantang angin yang membawa nestapa entah dari sudut
mana. Sebab kota sudah terlalu rumit untuk diurai, untuk dipetakan lewat punggung
manapun.
Bilur kini
sudah mengenakan seragam terusan berwarna biru, menenteng ember hitam berbau wippol, dan lap pel yang menggantung
malas di pundak kirinya. Sayup-sayup Internationale terdengar di bassement yang sebagian
pojoknya digunakan untuk ruang office boy
(OB). Bagi sebagian kecil kelompok buruh—yang biasanya telah ‘diprovokasi’ atau
‘diedukasi’ oleh sekelompok LSM—lagu ini sudah tidak asing. Bahkan menggantikan
lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam hatinya, menempati sebentuk lubang dalam
diri mereka yang bernama luka. Sudah terlalu lama bangsa ini melumuri luka
mereka yang bernanah dengan garam. Mereka harus tetap memupuk harap, sebab
jangan-jangan hanya harapan lah yang mereka punya. Harap yang tak pernah tunai
dikunjungi peristiwa. Harap yang selalu sepi di dalam hati.
Sudah setahun
ia meninggalkan kampung, hingga kini belum juga mengirimi surat dan uang untuk
keluarga di pematang sawah yang sudah bukan milik mereka lagi. Profesinya kini
bukan lagi petani, mereka buruh tani. Sebab kehendak orang kota sudah terlalu
buas, perusahaan-perusahaan semakin ganas. Rakyat kecil, dipinggir saja ya.
Mengemis bulir padi yang sudah tak sanggup lagi ditumbuk lesung. Sebab padi
sudah diracuni, tanah telah di dengungkan mantra-mantra serupa. Sebab alam
sudah dikuasai. Sebab tangan-tangan petani sudah diganti traktor-traktor
malas—mesin pekerja yang tak boleh mengenal lelah, seperti Bilur dan
kawan-kawannya di kota. Sebab bendera dwi warna sudah terlalu usang untuk
dihormati diluar lapangan upacara. Sebab lagu Indonesia Raya hampir kehilangan
makna. Sebab. Sebab. Sebab… Terus saja, sampai lembab! Lanjutkan, wahai
penguasa!
Internationale kembali berdengung, mengantar para
pekerja pada lelah.
This
is the final struggle
Let us group together, and tomorrow
The Internationale
Will be the human race
The Internationale
Will be the human race
Ia
meninggalkan kantor dengan langkah lunglai menuju tempat parkir. Membetot gas sekenanya,
menggeluti senja di Jakarta. Senja yang kehilangan
pesona. Tanpa makna juga rasa.
Sampai di
rumah, ia menutup dan mengunci pintu. Melangkah menuju kamar mandi untuk
mencuci muka, berharap lelah ikut luruh bersama air. Lampu dipadamkan, ia harus
beristirahat. Bukan untuk dirinya, tapi untuk para pemimpinnya. Sebab ia harus
kembali segar keesokan harinya. Produktivitas perusahaan tak boleh berkenalan
dengan lelah. Tak boleh bercumbu dengan malas.
***
“permisi,
selamat pagi…” pintu diketuk sepagi ini, Bilur tidak terbiasa menerima tamu.
Apalagi untuk usia hari yang baru saja lahir. Dengan malas, ia beranjak dari
kasur lapuk tanpa dipan. Melangkahkan kaki sambil menggosok-gosok mata, merapal
mantra berupa sumpah serapah pada dirinya sendiri yang geram kedatangan tamu
sepagi ini.
“Siapaaaa?”
teriaknya malas, masih di dalam rumah. Perlahan ia pegang daun pintu, sambil
menengok jendela. Mengedarkan pandang.
“Antonio! astagaaa,
kemana ajaaaa ton… Kamu kok tahu alamatku disini? Waaah, udah lama banget kita
gak ketemu ya? Sini masuk, masuk.” Wajah malas itu segera dilipat, berganti
sumringah kedatangan tamu seorang teman lama. Teman baiknya sewaktu di desa. Mereka
berpelukan, saling menggungcang badan sambil menepuk pundak satu sama lain.
Bilur segera
bergegas menjerang air untuk dua cangkir kopi, berlari menuju warung mpok Minah
untuk sebungkus kretek. Sebuah prosesi menyambut pagi yang sudah jarang ia
lakukan, ia mungkin sudah lupa kecintaannya pada kopi, kretek, dan pagi yang ia
pelihara sedari dulu. Kota membinasakan seluruh sikap lambat, seluruh tabiat
kontra-produktif.
Sementara
Bilur menyiapkan ritual ‘sarapan pagi’, Antonio mengedarkan pandang ke seluruh
ruangan. Menangkap tanda-tanda, menyerap simbol-simbol yang berbicara lewat
benda-benda di ruangan ini. Disela-sela itu, ia tersenyum tipis, mungkin miris.
Kota memberi takdir yang berbeda pada setiap pelakunya. Ia yang kini meskipun
tidak kaya tapi hidup berkecukupan—bekerja dengan gelora yang menyala-nyala,
sebab bidangnya merupakan minat dan mungkin bakatnya—sementara sahabat kecilnya
bekerja sebagai mesin, hidup serba kekurangan disini, di sepetak kecil rumah
kontrakan kumuh. Di gang-gang yang terlipat megahnya bangunan tinggi Jakarta.
Gedung-gedung jumawa.
“ton, gulanya
masih sedikit?” Bilur tahu betul dengan kopi kesukaan sahabat lamanya itu. Tiga
banding satu, rumusnya. Tiga sendok kopi dan satu sendok gula untuk secangkir
semangat di pagi hari.
secangkir kopi menguarkan aroma legendaris dari tanah Ethiopia, kretek,
dan gerimis yang menyusun pagi,
sempurnalah komposisi hari.
“iya, eh Bil,
denger-denger kamu udah setahun gak pulang ke kampung ya? Banyak yang berubah
dengan kampung kita Bil. Setiap hari, alat-alat berat mulai masuk desa,
kabarnya sih kampung bagian selatan akan diubah menjadi hotel dan cottage. Aliran sungainya mau dibendung,
biar bisa dipake water sport katanya,
dibuat juga danau buatan dan taman-taman gitu deh kalau aku lihat di baligo
proyeknya. Wika yang ngerjainnya Bil, perusahaan tempat kamu kerja kan? Oh iya, emakmu selalu
titip pesan setiap kali aku ke kampung, ia minta diberi kabar. Ia khawatir
dengan hidupmu di kota. Kabari lah Bil, tulis surat.
”iya Ton,
tapi aku gak punya muka kalau pulang ke kampung. Belum hasil apa-apa disini,
mau tulis surat juga malu, gak bisa sekalian kirim uang. Lha wong hidup aku disini aja udah kepepet gini. Gimana kabar emakku Ton? Aku juga khawatir, semenjak
kakaku meninggal, ia hidup sendiri di kampung”
Bilur
menerawang jauh. Matanya nanar membayang lanskap yang terpapar dalam memori.
Lalu ia mulai ingat, ia harus berangkat kerja. Tapi disini ada teman lamanya,
ada kabar dari kampung. Ia memutuskan untuk bolos kerja hari ini, kabar dari
kampung membuatnya malas beranjak. Kabar dari kampung lebih menarik
dibandingkan ceracau dan gerutu si bos tentang efektivitas dan efisiensi. Di
kampung ada kicau burung, ada gemericik aliran sungai, ada embun, ada sawah
yang hijau, ada hidup. Ada satu-satunya keluarga yang masih ia miliki. Dan kini
ada Wika juga!
Ia menghisap
kreteknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya ke udara yang berebut tempat
dengan asap pabrik dan polusi kendaraan bermotor. Mencecap kopi, menghisap
lagi, asap membumbung, merangsek ke seluruh sudut ruangan.
“ya gak usah
maksain lah Bil, yang penting kamu kasih kabar emak. Kasihan, ia masih trauma
dengan kepergian kakakmu. Kabarnya—begitu juga yang ia lihat setiap aku pulang
ke kampung—emakmu setiap pagi selalu membuka jendela, mendengarkan suara
kerikil yang terseret kaki, menanti. Kemudian membuat dua cangkir kopi hitam
untukmu dan kakakmu. Ia lakukan setiap pagi. Miris lihatnya Bil.”
Memang, kota
bagi emaknya Bilur—yang belum pernah ke Jakarta itu—bagaikan raksasa besar yang
siap memakan siapa saja yang lengah. Kakaknya Bilur meninggal di kios rokok
miliknya di jalan Semanggi, ketika peristiwa 11-13 November 1998 pecah. Selalu, setiap peristiwa
membawa ‘efek domino’ yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Aku kira
emak udah gak gitu, Ton. Sebelum aku ke Jakarta, ia sudah baik-baik saja. Ah,
aku pengen pulang Ton.”
“setelah
kepergian kakakmu, emak cuma punya kamu Bil. Sekarang kamu pergi, tanpa kabar
tanpa surat. Sudah setahun. Jelas, emakmu tertekan. Sempatkan pulang lah, kalau
engga juga ya tulis surat.”
“iya Ton,
nanti aku coba minta cuti. Aku jual aja deh ini motor butut, buat biaya pulang
ke kampung dan uang buat emak, biar emak tenang, aku disini baik-baik saja.” Ia
masih dengan kreteknya yang tak mau lepas dari bibir hitamnya.
“yaudah, kamu
ke kantor gih! Nanti telat loh. Aku numpang tidur disini ya, capek Bil baru
dateng tadi pagi aku langsung kesini.” Ia merebahkan badannya di ruang tamu
yang multifungsi sebagai kamar.
Bendera dwi
warna masih berkibar dengan jumawa, meski makna telah kehilangan tempat. Di
gang-gang kecil seperti ini, tak ada cinta. Tak ada Indonesia, yang ada hanya
sebuah tanya. Besok, masihkah tanah Jakarta mau memberi makan kami?
***
Emaknya di
kampung halaman masih setia membukakan jendela setiap pagi. Duduk di teras
sambil menanti, mendengar bunyi kerikil yang terseret kaki, berharap kaki itu
akan berbelok ke rumahnya. Ia masih membuatkan dua cangkir kopi. Duduk di teras
sambil menangis, memandang alat berat berlabel Wika menjamah kampung mereka, menekuri nasib seorang diri.
Menjelang siang, jendela ditutup. Sebab Wika membuat kampungnya penuh debu,
mengerak di setiap atap rumah. Sebab pepohonan mulai pergi dari kampungnya,
berubah fungsi menjadi mebel-mebel cantik berbalut mimpi yang ditayangkan
setiap hari melalui layar televisi. Sebab tak ada kaki yang berbelok ke
rumahnya. Mereka tak pernah tahu kemana semua karunia itu pergi, mungkin ke
negeri yang entah. Negeri milik para elit. Negeri televisi yang penuh basa-basi
dan omong kosong sarapan pagi!
Semasa
remaja, Bilur sempat memiliki cita-cita ingin mendirikan percetakan dan
penerbitan. Kecintaannya terhadap buku sedari dulu memang begitu mendalam. Dan
kondisi selalu membuat ia geram. Ia sadar, cukup banyak anak-anak Indonesia
yang ingin membaca buku tapi tak punya akses ke arah sana. Apalagi bagi anak
kampung sepertinya, tak masuk akal bisa membaca buku-buku bermutu. Kalaupun ada
perpustakaan, ya bukunya dari pemerintah. Yang isinya tidak bisa tidak, kita
harus akui masih jauh dari mutu. Sudah terlalu banyak kepentingan yang bergumul
diantara para elit di negeri ini. Jangan-jangan nanti bukan hanya buku-buku
yang dibredel—dengan alasan mengancam stabilitas nasional atau sederet alasan
lainnya—bisa jadi sebelum gagasan itu tumpah dalam rententan teks, sudah
diberedel. Jangan-jangan sejak dalam pikiran, sudah diberedel. Itu artinya kepala-kepala
yang mengancam stabilitas nasional harus dipenggal.
Harapan itu
mungkin masih mengendap di dasar jiwanya, seperti trauma upacara bendera yang
belum mau pergi dalam dirinya. Bagi Bilur, sejarah tidak seperti yang tertulis
dalam buku-buku pelajaran. Juga tidak seperti yang digaungkan di televisi oleh
para tokoh politik bangsa ini. Sejarah bagi orang-orang seperti Bilur tidaklah
pernah melangkah lebih maju. Bahwa hidupnya kini tidak lebih baik sudah menjadi
bukti yang lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa sejarah tidak selalu
berpihak pada orang-orang seperti mereka.
Bendera dwi
warna masih angkuh menantang angin. Angin yang mengabarkan kekalahan, mewartakan aroma busuk. Entah dari sudut kota
sebelah mana, ada saja aroma kekalahan. Ada saja suara kekalahan dari
manusia-manusia yang tak pernah diperhitungkan, manusia-manusia seperti Bilur.
Bilur
berangkat menumpangi metromini, sebab motornya sudah berhasil ia jual.
Hari-harinya masih bergelut dengan pagi,
dengan matra-mantra yang serupa, dengan upacara bendera yang semakin kehilangan
makna.
“Bil…”
suaranya berat, ucapannya seperti tercekat di kerongkongan.
“emakmu…”
“kenapa Ton?”
“emakmu,”
Senja yang terlihat dari jendela metromini semakin merah keemasan. Mega-mega
beriring menuju dunia yang entah.
“emakmu di
rumah sakit Bil… kamu harus cepat kesana, harus ada keluarga yang
menanggungnya, kalau tidak, operasi tidak bisa dilakukan. Aku gak bisa kesana,
aku sedang di Makasar.”
“Sabar ya
Bil…” Sambungan diputus. Bilur tertunduk, tak mampu marah, sebab hidupnya sudah
terlalu sering dikunjungi kekalahan. Senja yang kemerahan itu tiba-tiba pecah, metromini
menjadi merah, seluruh sudut kota menjadi merah. Mega-mega pergi menjauh.
Ia segera
bergegas, menuju stasiun dan membeli tiket paling pagi menuju kampung
halamannya. Kemudian memilih kursi dekat jendela, meratapi jalan yang berlalu
seiring dengan laju kereta, ada kenang disana. Kenangan yang datang sambil lalu.
Sebab bagi orang seperti Bilur, jangan-jangan hanya kenangan dan harapan yang
dimilikinya. Sebab hari ini tidak pernah memihak mereka.
Begitu ia
menapaki kampung halamannya, telepon genggamnya berbunyi kembali, ia melihat
nomor tak dikenal.
“maaf, apakah
ini dengan Bilur?”
“benar, ini
dengan siapa? Ada perlu apa?” Ia menjawab sekenanya, sambil terus berjalan
setengah lari. Ia melihat kampungnya sudah tak seperti dulu lagi.
“Dari pihak
rumah sakit. Anda dimohon untuk segera ke rumah sakit, ada beberapa urusan
administrasi yang harus di tandatangani sebelum kami menjalankan proses
operasi.”
“oh iyaa,
iyaa, baik pak. Saya sedang menuju kesana” hatinya semakin gusar, ia berlari.
Terus berlari, sebab memang hanya lari lah yang mampu dilakukannya.
Akhirnya ia
sampai di rumah sakit, melewati halaman depan, disana berkibar dengan jumawa
sang bendera dwi warna. Ia terus berlari menuju resepsionis, meminta petunjuk
ke arah mana ia harus menemui ibunya. Sampailah ia di ruangan 708C, tak ada
siapapun di depan ruangan itu. Tak ada yang menunggui emaknya sambil terduduk
menangis. Ia semakin gusar, sekujur tubuhnya kini sudah dibanjiri keringat
dingin.
“Permisi,
dok. Apa benar ini…”
Belum sempat
ia menyelesaikan kalimatnya, dokter itu meyambar “Anda pasti Bilur?”
“Betul dok,
bagaimana ibu saya?” seluruh organ tubuhnya sudah tak bisa berkompromi dengan
apa yang diperintahkan otak, badannya bergetar hampir menggelepar! sementara
keringat dinginnya kini sudah sampai membasahi seluruh bajunya.
“Mohon maaf,
kami sudah berusaha sebisa mungkin, Ibu anda tidak bisa diselamatkan”
Dokter itu
melenggang ringan, setelah menepuk bahu Bilur yang ambruk di koridor rumah
sakit. Ia pergi, lalu menghilang diantara lorong-lorong bangunan putih itu.
Bilur segera
berlari menuju pelataran parkir. Membuka bajunya. Lalu menghadap bendera. Ia
berteriak sekuatnya. Menangis sekencang-kencangnya. Sejarah berulang, dengan
muka yang berbeda dan melalui tangan yang berbeda pula.
Seperti
harapan yang pergi menjauh, mimpi yang terbang tak mau menepi, bendera yang
pucat. Tubuhnya mendadak ingin pecah, ingin membumbung bersama mega-mega yang dibanjiri
semburat senja. Baginya, hidup hanyalah sebentuk kewajiban yang getir. Serupa
upacara bendera yang tak pernah ia mengerti, tapi toh tetap harus dijalani.
Tidak bisakah
kita mencintai Indonesia dengan cara yang berbeda? Agar cukup sudah semua
basa-basi dan omong kosong di televisi dan koran pagi.
***
Untuk sang dwi warna
—yang dengan lirih, aku mencintainya…
ARF,
5 April 2012
_____________________________________________________
[1] Naskah Cerpen ini dibuat berdasarkan 'niatan' yang gagal, untuk sebuah lomba cerpen yang diadakan di http://mjeducation.co/mj-education-short-story-competition-lomba-cerita-pendek-2012/ sebab saya merasa cerpen ini kurang 'cocok' untuk lomba tersebut, maka saya masukan cerpen lainnya dan yang ini masuk blog deh :)