Di Sudut
Penantian*
;Sebuah
Ruang Tunggu
Ketika
aku menemui orang-orang yang berderet, berbaris, berkumpul, membentuk
kerumunan-kerumunan, aku selalu beranggapan ada yang mereka sepakati dan mereka
tunggu bersama. Sebagai sebuah tujuan kolektif. Mungkin mereka sedang
mempersiapkan sesuatu, sebab segalanya dalam hidup ini memang memerlukan
persiapan. Hidup kadang tak mau berpihak pada mereka yang malas mempersiapkan.
Selalu, setiap harinya aku menyaksikan kerumunan orang-orang yang bersiap dan
bergegas adalah mereka yang menjadi pemenang, atau paling tidak sedang berada
di jalur menuju kemenangan.
Orang-orang
bertemu, bercakap, saling menukar tanda, beberapa menakar makna, berbagi
kemungkinan juga informasi, menyusun satu dengan lainnya, memetakan.
Orang-orang
bergegas, berpakaian rapih, berparas menarik, mencukur kumis, memotong rambut,
wangi tubuhnya menyebar ke seluruh sudut. Mereka membaca buku, menghadiri
diskusi atau bedah buku, berdebat, musyawarah-mufakat, menekuni kuliah, tak lupa
juga untuk bercinta.
Hampir
semua orang sedang begitu sibuk, begitu serius. Padahal jika aku perhatikan,
mereka hanya sedang mempersiapkan. Mungkin, untuk kehidupan yang nantinya akan
berlangsung. Kelak.
Mereka
sudah sibuk, terlalu serius. Bahkan sedari persiapan.
Sejujurnya,
aku lebih banyak muak dengan persiapan yang serba tergesa-gesa ini. Bahkan
banyak sekali yang menganggap ini adalah sebuah simulasi yang harus ditekuni
dengan keseriusan maha agung. Kelak, hidup itu akan seperti ini, makanya yang
serius dong mempersiapkannya! Begitulah kuanggap mereka menceramahiku.
Orang-orang
menamatkan beberapa gelar akademik, membuka bercabang-cabang bisnis, pergi ke
bank, gymnasium, perpustakaan, mereka pergi juga ke taman kota, pusat hiburan,
pusat perbelanjaan. Orang-orang membangun nama, membentuk sindikasi, memperluas
jejaring pertemanan, membuka sejumlah kemungkinan-kemungkinan, menjaga citra,
menyusun pundi-pundi ketenaran, dan aku merasa semakin tersudutkan. Aku semakin
terancam rapuh, renta, membusuk, dan punah.
Semua
itu semakin membuatku terbebani dengan ancaman bahwa hidup yang kelak akan
berlangsung lebih keras, lebih membosankan, lebih memuakkan, dan tentu saja
lebih melelahkan. Aku semakin tegang, panik, terasing, dan cenderung menjadi
malas, semenjak dari cara mempersiapkan hidup.
Dalam
tahap persiapan ini pun, bagiku semua sudah tampak busuk dan membosankan. Maka
kalu bisa dan boleh, aku enggan untuk hidup yang kelak itu. Cukup sampai pada
tahap persiapan saja. Hidup yang kelak akan berlangsung, yang sesungguhnya itu,
aku tidak ingin terlibat didalamnya.
Jika
dalam tahap persiapan ini aku tidak pernah diajak duduk bersama dulu, untuk
membicarakan, berdiskusi, maka tolong ajaklah aku duduk bersama sebelum
kehidupan yang kelak itu akan berlangsung. Aku akan memohon untuk tidak
terlibat saja di dalamnya.
Ah,
pastilah di kehidupan yang kelak itu masih ada jalanan yang macet, pesta-pesta
yang hingar bingar, orang-orang yang salah paham, sms-sms merayu, percintaan,
koran pagi, nasi goreng, kecurangan, ketidakadilan. Aku cukup sampai di sini
saja ya, pada tahap persiapan.
Kamu,
kalian, mereka, telah benar-benar bersiap. Dengan sangat serius. Tapi aku masih
tetap saja didera rasa enggan dan malas yang akut.
Sungguh,
aku meyakini betul bahwa hidup ini belum benar-benar berlangsung. Apesnya,
hidup yang kelak tetap saja akan berlangsung. Sementara aku masih enggan. Aku
hanya akan menjadi remah-remah roti, serpihan paling kecil, rapuh, rentan untuk
lebih dulu membusuk dan tersingkir. Bahkan sedari sekarang, sedari persiapan.
Ruang
tunggu hidup yang tidak nyaman. Besar, ramai, hingar-bingar. Sementara waktu
terus berjalan membawa pengertiannya masing-masing. Orang-orang terus diberi
kesempatan untuk berlomba, bergegas, serius, dan tidak peduli. Tidak jelas
batas akhirnya, tidak juga jelas tanda-tanda akan berakhirnya.
Orang-orang
semakin banyak dan bergegas. Rombongan semakin membesar dan padat. Aku tak mau
ikut bersiap. Sungguh tak mau.
Tentu
selalu ada saja barisan orang yang enggan seperti aku. Orang-orang yang suntuk
dan muram. Mereka masih saja duduk-duduk malas di warung kopi, masih saja ada
yang bersembunyi dari rombongan yang bergegas di balik jendela kamarnya yang
buram.
Seperti
aku hari ini, baru saja datang kiriman buku Musashi-nya Eiji Yoshikawa dan The
Lone Samurai- sebuah biografi Miyamoto Musashi dari Bekasi. Buku setebal 1247
halaman dan 319 halaman ini akan aku coba santap dalam waktu satu bulan.
Jika
nanti beraknya mencemari hidung-hidung anda yang sedang bersiap dan bergegas,
mohon maaf. Anda bisa singkirkan saja bau itu dengan segayung air lalu
semprotkan parfume kesukaan anda. Jalan
seorang soliter memang seringkali menggangu keharmonisan hidup. Sedari
persiapan.
OoO
*)
Sebuah adaptasi atau bahkan (mungkin) plagiarisme dari karya Puthut EA; Sesuatu
Yang Mencekamku
ARF,
Jatinangor, 6
September 2012