Pledoi Untuk Kampus
Sudah
lama aku tidak menghadap monitor, menyuntuki sebuah tulisan; entah itu karya
fiksi, essai, review, ataupun sekadar
catatan harian. Disaat-saat seperti ini aku mendapati diriku seperti seorang
pelaut yang enggan singgah. Seorang pelaut yang terus menantang ombak dan
malam, tak hendak menepi, melego jangkar, untuk kemudian melepas lelah pada bar
kecil di suatu pesisir sebuah kota yang entah. Aku kira, perlu juga untuk
mencuci muka, melarutkan bau asin dan bau malam. Kemudian mencukur jenggot yang
tumbuh sembarang, mandi, mengganti pakaian, lalu menghadap sebotol bir yang
disertai lantunan penyanyi murahan, teriakan-teriakan kemenangan atau desahan
dari seorang perempuan pesisir.
Laut
tak berbatas sejenak aku tinggalkan dibelakang, bersama bau asin dan malam.
Gelap dan tak terduga.
***
Hari ini hari
selasa, 4 September 2012.
Ini
hari pertamaku kembali ke kampus, kembali pada lembaran teks-teks yang
dimuntahkan melalui mulut orang-orang tua yang berdiri di depan laptop dan
papan tulis. Ini hari pertamaku kembali pada rutinitas yang sangat terukur dan
pasti. Dua hal yang paling aku benci dalam hidup ini, sekaligus membutuhkannya.
Seorang
teman menghampiriku, menatap tubuhku dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Ia
berkata, sudah banyak yang aku lewatkan dalam beberapa semester terakhir, tentu
aku tahu maksudnya; sudah banyak nilai yang tak aku acuhkan. Itulah yang
dimaksud dengan ketertinggalan. Sampai disitu aku paham. Lalu ia melanjutkan
dengan mengubah posisi percakapan, ia mempersilakan aku untuk duduk sejenak,
menanti mulut-mulut yang akan memuntahkan teks-teks itu tiba.
Ia
bercerita banyak hal yang terjadi di kampus. Beberapa teman seangkatan sudah
mulai menghadapi skripsi, itu artinya setengah dari kami akan lebih dulu
meninggalkan bangunan megah nan jumawa ini.
Diluar,
pagi masih menghijau. Matahari sesekali menyapa tubuh-tubuh wangi yang berderet
terduduk kaku dan mekanis.
Dosen
tiba, daftar kehadiran diputar, mahasiswa mendengarkan, sesekali bertanya,
berdebat, menjatuhkan, mempermalukan. Beberapa tertidur, memainkan telepon
genggamnya, atau membicarakan pertandingan bola semalam. Aku masih juga belum
mengerti apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka perdebatkan. Sebab yang
terdengar di telingaku hanyalah rentetan ucapan retoris-estetik macam para
petinggi negara. Tidak ada kontra-argumen, jadi aku memang tidak paham dimana
letak perdebatannya. Aku sudah berusaha memperhalus pendengaranku, tetap saja
yang terdengar hanyalah serangkaian ‘tapi kan….’ Yang kemudian dilanjutkan dengan
argumen serupa yang menyitir tokoh—yang ia sendiri tidak benar-benar
paham—dengan harapan bahwa argumen itu akan hebat dengan sendirinya, menandingi
argumen pembuka. Ayolah, kalian mahasiswa kok omongannya kosong, permen aja
yang murah ada isinya.
Sampai
disini, yang aku pahami dari perdebatan ini hanyalah ‘tapi kan…’ sebagai kunci
utama. Dengan adanya ‘tapi kan…’ diawal argumen, maka argumen itu dengan
sendirinya menjadi ‘berbeda’ dan layak untuk diperdebatkan. Wah, wah, wah,
hebat!
Matahari
semakin meninggi, beberapa mahasiswa ‘tapi kan’ yang sedari tadi mengeluarkan
uratnya untuk bicara sudah mulai kehabisan tenaga (atau kehabisan
kutipan?hihihi). Mereka yang sedari tadi tertidur, memainkan telepon
genggamnya, membicarakan pertandingan bola, sudah mulai bosan karena jarum jam
belum juga membebaskan tubuhnya. Sang dosen pun mulai banyak mengulang contoh
yang sama, melewatkan banyak pembahasan, mulutnya sudah terlalu berbusa,
teks-teks itu berhamburan di ruang kelas ber-AC ini, nama tokoh-tokoh dimuntahkan
sebarangan, hingga akhirnya ia mengeluarkan sabda yang paling ditunggu-tunggu
“Yaa, terimakasih untuk hari ini. Kita ketemu lagi minggu depan.”
Kelas
bubar. Pikiran lenyap, teks-teks yang sedari tadi berhamburan itu menempel di
dinding-dinding cuaca, untuk kemudian disapukan terik siang, lalu terbang
bersama mega-mega ke negeri entah.
Kusulut
sebatang rokok sambil meninggalkan ruang kelas, membuang asapnya ke udara,
berharap pikiran yang sedari tadi dijejali ketidakmasukakalan ikut terbang,
terbuang bersama asap rokok. Biarlah yang meracuni tubuh ini hanya nikotin, aku
tak rela bila diracuni sampah lainnya! Hahaha
Sudah
muak? Tenang, ambilah secangkir kopi, sebotol bir, atau segelas coca-cola. Suka
suka lah. Sebab ini baru pembukan sebuah pledoi ku. Ini akan jadi pembicaraan
panjang. Sepanjang musim dan cuaca.
***
Awal
semester 7 ini aku sudah mempersiapkan diri untuk masuk kedalam arus sungai.
Tidak lagi memandang dari tepi jembatan. Tapi seorang teman mengingatkan, lebih
baik duduk-duduk saja di pinggir sungai, menjuntaikan kaki untuk sesekali
bermain dengan deras air. Jangan hanyut, jangan juga berjarak terlalu jauh.
Seorang
teman lainnya berkata bahwa kritik terbaik itu adalah kritik yang datang dari
dalam. Dari orang yang telah ‘selesai’ mencecap segala rasa di dalamnya. Ya,
aku memang belum mencapai keputusan final tentang kedua tanggapan itu. Tapi
sampai saat ini aku cukup menemukan konklusi yang ‘aman’. Aku memang tidak bisa
menjadi ekstrimis, setidaknya aku sudah pernah mencoba. Paling tidak, dalam
ukuranku aku sudah pernah mengalami bahkan melampauinya, menuju titik nadir
sebuah keputusasaan.
Siapa
yang tahan berlama-lama berada dalam kampus sementara dunia diluar sana
menjanjikan banyak hal yang jauh lebih menarik. Siapa yang tahan mendengar celoteh
mulut-mulut berbusa sementara diluar sana ia mendapat kesempatan belajar jauh
lebih besar dari apa yang ia dapatkan di kampus. Siapa yang tahan menjalani
suatu studi yang bukan minatnya.
Aku
mendengar kisah seorang teman lainnya. Di jurusannya, ia mendapati seorang
mahasiswa pindahan, dari ekonomi ke antropologi. Awalnya, teman saya itu
memicingkan mata; orang gila mana yang mau pindah dari ekonomi ke antropologi.
Lalu waktu terus berjalan membawa pengertiannya masing-masing. Si mahasiswa
pindahan itu ternyata bukan main, ia belajar dengan gemilang di jurusan barunya
itu. Seluruh mahasiswa mengamininya, bahkan hampir seluruh dosen di ruang dosen
membicarakan namanya. “Kalau aku masih muda, pasti ketinggalan jauh” sahut
seorang dosen. “Kalau ada nilai A+ pasti kuberi” tambah dosen lainnya.
Namanya
segera menjadi bahan pembicaraan, ‘prestasinya’ segera membuat semua mata
memandang heran. Fenomena si mahasiswa pindahan ini dengan segera menjadi suatu
anomali. Jenius!
Kalian
coba bayangkan, dalam salahsatu matakuliah, seluruh mahasiswa mendapat nilai
tidak lebih dari C, sementara sang dosen memberi nilai A pun masih belum merasa
cukup untuknya. Mungkin inginnya seluruh mahasiswa diberi nilai E dan ia A, itu
baru cukup.
Aku
belum pernah bertemu tatap muka dengannya, hanya mendengar fenomenannya saja
sudah cukup memekakan telinga. Si teman yang bercerita padaku ternyata paham
betul, aku tahu betul mengapa ia menceritakan kisah itu padaku. Sialan kau!
Aku
memang tidak merasa jenius, tapi cukup pintar. Lagi-lagi perlu diingat; dalam
ukuranku. Aku juga tidak bisa menjamin kalau aku berada di jurusan yang aku
inginkan, akan meraih ‘prestasi’ gemilang seperti yang dialami si mahasiswa
pindahan itu. Tapi setidaknya aku berani menjamin, aku tidak akan menyesal.
Mari aku beri kalian sebuah pertanyaan. Akan lebih baik mana bila gagal oleh
pilihan sendiri atau gagal karena dipilihkan oranglain? Setidaknya kalaupun aku
gagal, tersungkur, jatuh, itu karena pilihanku. Tentu aku akan dengan lapang
dada menerimanya, itu kegagalanku. Sebuah konsekuensi atas pilihan yang aku
pilih. Kalau aku ‘berhasil’ pun akan lebih puas, sebab aku berhasil oleh
pilihan dan kerja kerasku sendiri.
Aku
juga punya seorang kenalan yang mengalami hal serupa denganku. Kuliahnya di ITB
hampir lulus. Ia telah menyelesaikan skripsinya, waktu tinggal menunggu tanggal
wisuda. Kalian boleh percaya atau tidak, ia membakar ijasahnya tepat saat hari
wisuda itu tiba. Lalu ia melenggang pergi ke Jakarta, menemui panggilan sebuah
NGO (Non-Government Organization) untuk menjabat sebagai kepala riset dan
pengembangan arsip sejarah.
Semasa
kuliahnya, namanya bukan main dikenal orang. Setidaknya dalam lingkup grassroot. Ya, ia memang pejuang ‘akar
rumput’ yang gigih. Ia mampu membiayai kuliahnya dengan keringatnya sendiri. Di
semester 3 ia sudah mampu menghasilkan uang 800 ribu hingga 1,5 juta perbulan
dari hasil menulisnya. Tulisannya dimuat di beberapa media massa lokal hingga
nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Jawapos, dll. Tapi lagi-lagi perlu
kalian ketahui, menulis memang tidak memerlukan keringat, tapi keringat itu
sebanding dengan ‘proses kreatif’ sepanjang waktu si penulis. Bahkan kukira
jauh melampaui.
Mari
kita membuat hitung-hitungan sederhananya. Seorang staff pegawai bank bekerja
setiap hari menghadap angka-angka di dalam monitor, dari pagi hingga sore. Lalu
keesokan harinya melakukan hal yang sama, terus menerus hingga bertahun-tahun.
Ya, memang sesekali mengikuti pelatihan (teknis!) ini-itu. Tapi ia tidak pernah
menciptakan apa-apa, ia tidak sedang berkarya, merayakan hidupnya dengan
seluruh kapasitas yang ia miliki. Ia hanya sedang menjadi aplikasi software yang diprogram si bos untuk
melakukan hal yang sama dengan tingkat keakuratan dan tingkat presesi super
sempurna. Lalu waktu terus menggerayangi usianya tanpa ia sadari. Tiba-tiba
saja muncul pertanyaan khas manusia seperti ini di usia senjanya; “apa yang
sudah aku lakukan selama ini?”. Sampai pada titik itu sebenarnya masih lebih
baik ketimbang tidak pernah menyadarinya. Lalu ia mulai menjalankan hobi-hobi
kecilnya, uang memang bukan lagi masalah baginya, tapi tubuh dan usia sudah
kadung renta digerayangi waktu.
Sementara
seorang penulis, peneliti, pelukis, pembuat film, musisi, atau apapun lah
terserah kalian. Mereka adalah orang yang menjalani hari-harinya dengan daya
hidup yang luar biasa. Sekali lagi aku ingatkan, tentu dalam jajaran
orang-orang seperti ini pun ada klasifikasinya tersendiri, tapi untuk
mempermudah, anggap saja orang yang aku maksud adalah mereka yang bekerja
keras. Seorang penulis, ia ‘bekerja’ bukan pada saat menulis saja. Menulis itu
hanyalah limbah dari pengalaman hidup. Hanya serupa perayaan di bar kecil,
sementara perjuangan sebenarnya ada pada saat ia melaut, menghadapi malam dan
gelap. Mengukur gelombang laut yang tak pernah bisa diukur. Perjuangan itu
adalah perjuangan sepanjang waktu.
Kembali
ke cerita si temanku yang membakar ijasahnya itu.
Ia
pernah berkata bahwa ia di DO dari kampusnya. Tentu maksudnya bukan Drop Out, tapi ia mengartikan DO sebagai
Dancing Out. Ya, dia benar-benar
menari-nari bak Zarathustra turun gunung untuk berteriak-teriak di pasar.
Sebenarnya ia bisa saja menyimpan baik-baik ijazahnya tanpa perlu membakar.
Tapi ia seorang pejuang, seorang ekstrimis. Ingat, dunia tetap membutuhkan
seorang pionir yang lantang menantang segala musuh. Seorang yang siap pasang
badan di barisan paling depan.
Sampai
pada saat tulisan ini dibuat, ia masih baik-baik saja dengan hidupnya. Malah
cenderung sedang menapaki masa-masa puncaknya di usia 30an. Hidup dan karyanya
kalau aku tuliskan disini akan menjadikan sebuah buku tersendiri, sebuah ode yang panjangnya akan membuat
jari-jemariku pegal menari-nari diatas keyboard.
Ia
menambah lagi daftar panjang orang-orang hebat, dalam daftarku tentu saja.
Kalau aku tanya kalian, mungkin nama-nama yang akan muncul seperti Bakrie,
Ariel, atau paling-paling mentok di Andrea Hirata.
Diluar,
senja mengendap. Membanjiri mega-mega dengan semburat merah kejinggaan. Tak
pernah lama, sebab malam akan segera mengetuk beranda dengan segala
keanggunannya dalam gelap.
Aku
memang tidak bisa menjadi seperti mereka. Ada sejumlah alasan yang mungkin pada
kesempatan lain akan aku tumpahkan juga, tapi tidak kali ini. Kali ini, aku
mencoba berkomitmen pada diri sendiri untuk menjalani sisa-sisa waktuku
dikampus dengan sebaik-baiknya. Seperti hari ini, aku duduk manis di kelas.
Tidak bicara jika memang belum dirasa begitu penting dan mendesak.
Nah,
sebetulnya aku memang iri pada orang-orang seperti itu. Tulisan-tulisan serupa
pun sering aku muntahkan sebagai upaya melawan nasib, mengobati luka. Jadi,
kalau tulisan ini menambah sampah di kepala kalian, mohon maklumi saja. Sebab
apalah arti sebuah sampah kecil ini di tengah-tengan jutaan sampah yang ada di
kepala dan keseharian kalian.
***
Seorang
pelaut sudah selesai mencuci muka, melarutkan duka. Ia kembali menarik jangkar,
mengembangkan layar, tengah bersiap menghadapi lautan. Menemui batas sebuah
horizon. Berhati-hatilah, mungkin pada kesempatan berikutnya, ia akan mampir
untuk meracau di kota anda. Menumpahkan bau asin dan bau malam di bar yang
biasa anda kunjungi.
OoO
ARF,
Jatinangor, 4
September 2012
tulisan pledoi untuk kampus