Diberdayakan oleh Blogger.
.

Eksistensialisme Sartre


posted by Unknown on

2 comments


Eksistensialisme Sartre


Tuhan telah lepas
dan meninggalkan

sebentuk lubang dalam
diriku

(Jean-Paul Sartre)


Dekade 60-an abad lalu praktis menjadi milik Sartre. Saat itu dunia dilanda demam yang membuat hampir tiap orang mengenal namanya, dan berbondong-bondong mentahbiskan diri mengikuti alur pikirannya. Mungkin inilah kali pertama filsafat menjadi sebuah gaya hidup yang populer.


Filusuf Prancis ini sejak kecil tenggelam di lembar demi lembar buku, mengenal nama-nama sebelum mengenal dunia. Ia yang sejak remaja tak lagi mengenal Tuhan, menghambakan diri pada kesusastraan, dan mendapat penghargaan Nobel susastra pada tahun 1964, namun
ditolaknya dengan alasan akan mengurangi kebebasannya, dan enggan diidentikkan dengan kaum borjuis serta kapitalis. Pada sekitar periode itu pula ia menjelma sebagai eksistensialis nomor wahid, dan juru bicara humanisme yang paling depan. Pemikirannya membentangi tema-tema susastra, politik, kemanusiaan, kebebasan, dan lainnya.

Masalah “Ada”
  “Eksistensi mendahului esensi”, begitulah selalu filusuf-filusuf eksistensialis berkata, ”dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Karenanya
masalah “Ada” merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi eksistensialisme.
Bagi Sartre manusia menyadari Ada-nya dengan meniadakan (mengobjekkan) yang lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni kesadaran manusia yang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan “kesadaran akan sesuatu”. Baik kita ajukan contoh: Saat ini saya menyadari tengah duduk dalam sebuah forum diskusi, bersama dengan orang lain, serta benda-benda lain, sekaligus menyadari bahwa saya berbeda dengan orang lain, dan juga bukan sekedar benda. Saya meniadakan (mengobjekkan orang dan benda lain). Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre. Untuk memperjelas masalah ini, filusuf bermata juling ini menciptakan dua buah istilah; être-en-soi, dan être-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-Adanya manusia dengan cara beradanya benda-benda. Benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi) nya, sifatnya être-en-soiDengan sifatnya yang seperti ini benda-benda tidak mempunyai potensi di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak punya potensi untuk melampui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena esensinya mendahului eksistensi. Sementara manusia, dengan Ada yang bersifat être-pour-soi,
eksistensi yang mendahului esensi, selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini, dan menyadari Ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia
mati. Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimanan keberadaan benda-benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-Ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain. Dari konsepsi inilah Sartre kemudian mendapatkan pendasaran logis terhadap ateismenya.


Ateisme Sarte

Sudah kita bahas di atas tentang hubungan antara dua cara meng-Ada. Ada-nya benda, tidak mempunyai kesadaran, tidak memiliki potensi, dan tak ada hubungannya dengan Ada manusia yang dihayati lewat kesadaran, dan dengan cara meniadakan, atau menjadikan yang lain sebagai benda. Dalam konsepsi agama, Adam (manusia) diciptakan Tuhan dengan mengemban tugas tertentu. Dalam bahasa Sartre sebelum ia bereksistensi, ia lebih dulu direncanakan esensinya. Tapi pada kenyataannya, pola esensi yang dimiliki manusia adalah yang sifatnya penuh dengan potensi. Ia tak pernah bisa didefinisikan esensinya hingga kematiannya. Selain itu, karakteristik dasar dari kesadaran manusia adalah keterarahan kepada sesuatu (intensionalitas), sekaligus egois. Kontradiktif dengan konsepsi Tuhan sebagai penentu esensi manusia, atau dengan kata lain membuat manusia menjadi benda. Sebelum Sartre, dunia juga mengenal Friedrich Nietzsche, sang nihilis dari Prussia yang kondang dengan frasanya; “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet.” Bedanya, jika Nietzsche mengumumkan kematian Tuhan dengan tiba-tiba, maka Sartre melakukannya dengan lebih dulu menunjukkan kerancuan logika mengenai keberadaan Tuhan.

Kebebasan manusia
Pertanyaannya, eksistensialisme adalah tradisi filsafat antropologis, yang memusatkan diri pada pertanyaan dan pernyataan tentang manusia. Lalu kenapa dua orang ini perlu repot-repot untuk membunuh Tuhan? Nietzsche dan Sartre punya jawaban yang hampir mirip; jika Tuhan telah mati, segala nilai-nilai menjadi absurd; tak ada artinya. Karena telah kehilangan landasannya yang suci. Maka manusia bebas untuk berkehendak; merdeka! 
Kebebasan bagi Sartre adalah kata kunci dalam filsafatnya. Kebebasan bukanlah rahmat bagi manusia, kebebasan juga bukanlah sebuah ciri yang membedakan manusia dengan yang lain, tapi manusia adalah kebebasan itu sendiri. Dengan modus keberadaannya yang bersifat être-pour-soi, manusia bebas untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Namun kebebasan manusia ini sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan. Karena itu filusuf yang juga aktivis kemanusiaan ini pernah berkata dengan sebuah kalimat yang provokatif; “manusia dikutuk dengan kebebasannya!”
Perasaan gelisah ini bagi Sartre merupakan ciri dari kebebasan. Kegelisahan ini timbul dari beban tanggung jawab ketika menyadari bahwa Tuhan tak lagi relevan, dan ia sepenuhnya bebas untuk berkehendak serta berlaku. Dalam merealisasikan kehendak dan perbuatannya ini tak ada lagi landasan baginya, karena nilai-nilai ditentukan oleh dirinya sendiri. Sebuah alegori yang terkenal dari Sartre untuk menggambarkan kebebasan yang menggelisahkan ini adalah tentang seseorang yang berdiri di tepi jurang yang tinggi dan terjal. Menoleh ke bawah akan menimbulkan rasa cemas, karena membayangkan apa yang akan terjadi. Semuanya tergantung pada diri sendiri, apakah akan terjun, atau mundur untuk menyelamatkan diri. Tak ada orang yang menghalangi untuk terjun, segala yang kita perbuat akan kita pertanggungjawabkan sendiri. Masa depan saya seluruhnya tergantung keputusan saya.

Orang lain adalah neraka bagi diri sendiri

Satu tema yang paling menarik dalam lika-liku pemikiran Sartre adalah tentang relasi antar manusia. Karena kontroversinya, tema ini pula yang paling sering menjadi sasaran dari para kritikusnya. ”Dosa

asal saya” kata Sartre, ”adalah adanya orang lain”. Demikian kira- menyimpulkan pandangan Sartre tentang hal ini. Bagi filusuf yang mengagumi ide-idenya Karl Marx ini, hubungan antara aku dengan orang lain, senantiasa berdasarkan konflik. Untuk membahas masalah ini kita harus mengingat kembali dua istilah yang diciptakan oleh Sartre untuk menggambarkan modus ber-Ada; être-en-soi, dan être-pour-soi, karena dari sini muasalnya asumsi Sartre. Mengingat doktrin tersebut, hakikat kesadaran manusia adalah intensionalitas, yakni kesadaran terhadap sesuatu, sekaligus mengobjekkan segala sesuatu. Sekarang bayangkan jika “Aku”, bertemu dengan “Aku-Aku” yang lain, kesadaran yang menegasi, bertemu dengan jenis yang sama. Dalam hal ini Sartre mengajukan sebuah contoh yang sangat bagus dan terkenal; saya sedang mengintip pada lubang kunci, ketika tiba-tiba mendengar langkah-langkah orang di belakang yang telah memergoki saya. Ketika tengah mengintip, apa yang dilihat adalah dunia yang berpusat pada saya, orang-orang yang tengah saya intip menjadi objek, dan sayalah subjeknya. Sementara, ketika seseorang memergoki saya, mendadak sayalah yang menjadi objek dalam kesadarannya. Mendadak saya didefinisikan (sebagai tukang ngintip, mau tahu urusan orang, dll).

Bahkan menurutnya hubungan antara orang yang saling mencintai adalah relasi yang didasarkan atas sikap saling memperdaya. “Aku berpura-pura menjadi objek cinta pacarku, dan menyerahkan diri sepenuhnya. Padahal, sebenarnya akulah yang mengobjekkan ia dan akulah subjeknya.” Ada juga kemungkinan lain, misalnya ketika si A, B, dan C saling berselisih. Bisa jadi si A, akan melupakan konfliknya dengan B untuk sementara, dan bersama-sama menjadikan C sebagai objek. Begitulah filusuf ini menjelaskan bagaimana sebuah perkumpulan atau organisasi bisa terbentuk.




2 comments

  1. Anonim

Leave a Reply

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...