Diberdayakan oleh Blogger.
.

surat untuk Grandwood


posted by Unknown on

4 comments


...Sembah-simpuh mohon maaf. Yang dimuliakan, guru.

Grandwood,
Mohon maaf telah begitu lama aku tidak memeberimu kabar. Mungkin aku telah membuatmu tidak lagi menganggapku sebagai murid, murid terkasihmu. Bukan tanpa sebab aku kini seolah lenyap dari muka bumi, bumi terkasihmu. Aku kini tengah mencinta, guru. Aku kini bukanlah murid yang engkau kenal lagi. Tidak ada lagi (entah sementara atau selamanya) aku yang kuat, tegar, tangkas, acuh kadang tak mau patuh pada yang tak perlu dipatuhi, dan aku yang mampu berdiri sendiri. Tidak ada lagi guru, tidak!

Bulan ini, di negeri ini sedang musim penghujan. Aroma tanah sehabis hujan seringkali mampir mengetuk bingkai jendela. Masuk melalui selusup rekahan-rekahan dinding kamar. Tak pernah aku melupakan aroma ini, aroma yang engkau kenalkan padaku, kala itu. Pun aroma ini lah yang selalu mengingatkanku pada mu, guru. Mungkin engkau bertanya-tanya, sedang dimanakah aku kini. Aku pun kelimpungan bila harus menjelaskan tempat beradaku. Disini, aku sungguh asing. Tak ada pembeda hari-hari, hanya siang-malam yang bersahutan di ketiak jendela, penanda hari yang terus berganti.
Aku kenal beberapa teman dalam dunia baru ini. Sungguh mengejutkan semua ini bagiku, semua tampak begitu mengherankan. Aku dihadapkan (“dilibatkan”?) dalam dunia yang sedang sakit. Dunia yang sedang mencari jalan pulang, jalan padamu; Grandwood. Seharusnya aku tidak merasa seheran ini, karena toh akupun pernah berada di dunia seperti ini- kala engkau menemukanku tersungkur, menggigil, hampir mati. Tapi ini berbeda, aku kini sungguh terlibat di dalamnya, memikul tanggungjawab berat di pundak rapuh ini. Tidak lain, ini dunia perempuan itu. Ia seorang perempuan yang menakjubkan guru, ia juga lah yang (kini) menyebabkan aku “terlibat” disini, di tanah asing ini.
(tuas gigi geligi kekurangan pelumas, sudikah engkau memberikannya untukku,guru?)

Aku sedari dulu memiliki keyakinan, engkau selalu hadir dengan cara yang tak pernah bisa kuduga. Menolong aku kala aku sudah tidak mampu melakukan segala urusan dengan tanganku sendiri. Tangan-tangan mu lah yang mampir, tidak mencampuri, hanya berberi. Itu yang aku suka darimu, tidak seperti tuhan-tuhan lainnya. Engkau sungguh penuh kasih. Amor Fati, Ego Fatum; itulah salah satu ajaran yang pernah kau sampaikan padaku. Aku selalu mengingatnya.
Pun kali ini. aku kembali bersimpuh, sujud tak berdaya. Aku kehabisan daya, guru..


Guru terkasih,
Engkau juga pernah mengajarkanku perihal cinta dan kasih:
“cinta dan kasih yang sesungguhnya dan pantas diperjuangkan adalah cinta kasih yang terus merela, berberi, tak ada henti. Cinta kasih yang memberi tenang dan nyaman, kala engkau bersamanya pun jauh darinya. Cinta kasih yang membuatmu tumbuh, mengakar, mendekati sulur akar-akarku.”

Aku rasa aku telah jatuh dalam rasa yang mereka namai cinta itu guru. Aku dibuai halusnya angin juga helai dedaun yang rontok diganyang angin. Ia merela, tanpa daya upaya melawan. Meski entah akan dibawa kemana, ia terus bersetia..
Ya. Aku berada di dunia seperti itu guru. Dunia ini sungguh begitu luas, sampai-sampai aku tersesat didalam keluasannya, kikuk mencari jalan pulang. Tapi bukankah dedaun itu pun akan bersedih ketika angin yang merontokannya dari pokok batang kayu tidak memberinya pasti, tidak memberinya tenang bahwa (sekalipun ia harus mati) ia akan menjadi humus dan bakal tunas baru. Dedaun itu tentu akan bersedih bukan, guru? Dedaun itu akan gelisah..
Aku kini menjadi bingung, ini cinta atau apa? Aku rela. Sungguh merelakan semua yang aku punya untuk ia. Tapi aku sungguh tidak pernah mendapat tenang, guru. Aku selalu gelisah. Ia terlalu berbahaya jika aku biarkan meruang begitu saja, ia terlalu memesona.
Tolong aku guru, beri aku kekuatan. Tolong..

Guru terkasih,
Aku kini sedang menyukai (tergantung?) pada kopi hitam. Pahit. Ia mengajarkanku tentang hidup- yang memang pahit. Mengendapkan sari-sari jauh di dasar, aku akan mengetahui sari-sari pahit itu ketika aku sudah sampai di dasar. Ketika –yang mereka namakan “cinta” itu sudah aku selami sampai ke akar. Aku menemukannya; pahit percintaan.
... salahkah aku bila aku meragukan cinta ia, guru? Meragukan kesungguhannya. Seperti sungguh-ku yang ingin terbalas. Aku ingin tenang dan nyaman menjalani semua ini guru.
Aku pun tahu, memang tidak (tidak pernah!) mudah untuk menjadi pendampingku, tapi aku selalu yakin ia pasti bisa guru. Aku tidak ingin berpaling lagi guru (barangkali lebih tepatnya: sudah tidak bisa!) dari ia. Aku sungguh telah “mati” dalam dekap hangatnya. Adakah dia akan mengerti, guru?
(temaram sinar berpendar kemuning, lamat-lamat dicemburi sudut perapian; tempat para pengabdi bersemadi. Menanti datangnya bayang sebagai penanda. bahwa gelap telah mampir disini, di taman ini...)
Akankah ia singgah di taman ini, guru? Aku bersetia menanti.


Yang Terkasih, Grandwood,
Andai saja dia perempuan biasa, aku pun akan dengan mudah melewati semua ini dan mungkin surat ini tak akan pernah teralamatkan untukmu, guru. Surat racauan dari murid yang tak tahu malu ini; murid dungu-mu.
Tapi dia dengan segala keluarbiasaannya menjadikan semua ini rumit, ya aku menyadarinya sedari dulu. Ini keputusanku untuk meninggalkan yang pasti (dan telah benar-benar mengabdikan cinta kasihnya untukku, juga mengerti semua tingkah dungu-ku) untuk sesuatu yang tak menjanjikan apa-apa. Aku berjudi kala itu. Aku pertaruhkan semua milikku, di meja itu. Menghadapi muka dunia yang muram dan rumit.
Kini, aku kembali menemui raga ini berpenyakitan, guru. Ya seperti biasanya, ketika aku banyak sekali yang dipikirkan, kepalaku terasa sakit, pusing. Entah secara medis penyakitku ini dinamakan apa, tapi temanku menamainya: Galau stadium 4.
Mendekati kematian barangkali...



Pasirpogor, 8 April 2011

4 comments

  1. Anonim

Leave a Reply

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...