Diberdayakan oleh Blogger.
.

Sepakbola dan Identitas Kebangsaan


posted by Unknown on ,

No comments


Sepakbola dan Identitas Kebangsaan




Henry Delauney mendapat kehormatan pada tahun 1927, namanya dituliskan di piala bergengsi yang diperebutkan negara-negara benua biru, kompetisi sepakbola empat tahunan antar negara-negara eropa mendadak disulap menjadi kompetisi paling gempita di dunia, setelah Piala Dunia. Memang tidak dapat dipungkiri, Eropa sedari dulu mendominasi sepakbola dunia. Dari mulai pemain, pelatih, hingga elit administrator sepakbola sejagat ini dikuasai eropa. Beberapa teman menyebutkan bahwa olahraga memang sedikit banyak dipengaruhi kultur sebuah bangsa, ada beberapa negara yang memang kultur olahraganya kuat di sepakbola, bulu tangkis, tenis, rugby, dll. Seperti Indonesia yang katanya memang ahli dalam bulu tangkis.

Mari sejenak kita tinggalkan sekelumit obrolan rumit mengenai sejarah olahraga. Ada yang menarik dengan kultur sebuah tim—dalam hal ini sebuah negara—memainkan sepakbola. Kita semua tahu, Belanda dikenal dengan total football nya, lalu di sebrang Italy dengan catenaccio nya. Dua kutub ini dipercaya sebagai dua kutub positif-negatif dalam dunia sepakbola. Kebanyakan publik—arusutama—bersepakat bahwa permainan sepakbola menyerang adalah taktik bermain yang baik, indah, dan menghibur. Dengan begitu, negara-negara yang mengusung pertahanan sebagai kekuatan utama acapkali dianak-tirikan, dicap sebagai sepakbola negatif.

Dalam perpanjangan tangan dari kedua kutub itu, muncul beragam variasi dan koinsidensinya. Spayol belakangan ini hadir dengan gaya yang mereka sebut sebagai tiki-taka, suatu strategi menguasai bola selama-lamanya untuk menghadirkan permainan cantik dan anggun. Sejauh pengamatan saya, jenis sepakbola ini hanyalah perluasan dan peremajaan dari total football yang mulai lesu dan lentur sebagai sebuah ideologi-strategik bermain bola. Jauh sebelumnya, lewat Jerman, total football itu telah diterjemahkan melalui gayanya sendiri, menjadi ‘Gemanys Way’. Lalu Inggris dengan Kick and Rush nya, dan seterusnya. Cukup banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Kurang lebih seperti ideologi Marxis yang ribuan kali mengalami peremajaan, melalui proses re-interpretasi dan re-definisi yang memunculkan banyak aliran baru, sebagai anak-cucu dari induk yang satu.

Lewat cara pandang seperti ini, kita bisa melihat suatu sistem strategi bermain memang tidak pernah datang dari langit, melainkan diberlangsungkan di rumput hijau sebagai suatu proses. Di rumput hijaulah, sebuah proses strategik di timang, diuji, lalu dipahami ulang dengan pendekatan kekinian. Disanalah budaya sebuah bangsa luruh dan sublim menjadi proses kreatif mencipta kebaruan. Betapapun juga, sepakbola sepintas lalu memang hanya suatu olahraga, justru sebagai olahraga itulah sebenarnya memungkinkan representasi pemahaman kebudayaan.


Sepakbola di Negara Dunia Ketiga


“Belum terlalu lama berselang, bumi dihuni oleh 2 miliar penduduk: 500 juta adalah manusia dan 1,5 miliar sisanya penduduk pribumi yang tidak dimanusiakan. Yang pertama menciptakan kata, yang lain mengikutinya.” 
(Jean Paul Sartre untuk buku penting studi poskolonial,The Wretched of the Earth karya Frantz Fanon.)

Gempita gelaran sepakbola di negeri kita memang tidak perlu diragukan lagi. Lihatlah stasiun televisi saling berlomba berebut hak siar dalam berbagai kompetisi sepakbola dunia. Ketika EURO 2012 belum dimulai, pesta sudah lebih dulu mengisi tempatnya. RCTI sebagai pemegang hak siar mulai menggelar konser musik, prediksi juara dari magician ternama, dan sederet acara lainnya. Ketika pesta sudah benar-benar dimulai, kita semua sibuk menggelar nonton bareng, taruhan, membeli jersey tim jagoan, dan social media mendadak menjadi wadah bertemu para pecinta sepakbola, baik yang tulen maupun karbitan. TV One dan ANTv sepertinya tak mau ketinggalan meraup profit dari candu bola di negeri ini, mereka segera mengumumkan hak siar World Cup 2014 yang sudah ada di tangannya. Pesta yang satu belum lagi usai, yang lainnya sudah bersiap.

Sayangnya, kita adalah negara dunia ketiga. Dalam ekonomi, kita menjadi pangsa pasar yang menggiurkan. Coba lihat statistik penjualan smart phone Blackberry, Samsung, dan Nokia dalam tahun ke tahun, negara kita selalu menempati posisi utama penjualan mereka. Membanggakan, hah?! Ternyata hal itu juga terjadi dalam sepakbola, kita masih menjadi konsumen setia nan fanatik. Kita masih menjadi ladang emas bagi mereka untuk meraup pundi-pudi keuntungan.

Begitupun dengan taktik-strategik bermain sepakbola, tiki-taka yang belakangan menjadi selebritas baru dunia sepakbola turut menggiurkan bagi kita. Kemarin, Cesch Fabregas—salah seorang eksponen terbaik Spanyol dalam memperagakan tiki-taka—diundang untuk bermain melawan tim garuda. Coba perhatika komentator-komentator di televisi, mereka begitu bersemangat mengomentari permainan Fabregas yang menurut mereka harus kita tiru dan pelajari. Ya, memang tidak dapat dipungkiri lagi kenyataan bahwa Spanyol saat ini merupakan negara terbaik (Ranking FIFA no 1 per Juli 2012) dengan mengusung tiki-taka. Tentu kita juga bisa mengambil manfaat dan mempelajari strategi bermainnya.

Yang perlu diperhatikan adalah, tidak selamanya sebuah taktik, strategi, ideologi akan berjalan dengan baik jika tidak sesuai dengan karakteristik sebuah tim/negara. Seperti yang disebutkan diatas, sistem strategi bermain memang tidak pernah datang dari langit, melainkan diberlangsungkan di rumput hijau sebagai suatu proses. Pada titik ini sebenarnya kita, sebagai negara dunia ketiga, mendapat suatu kesempatan berdaulat, sebuah kesempatan untuk tidak lagi menjadi konsumen. Dalam sepakbola, kita bisa merebut suatu identitas baru, suatu sistem stategi yang menjadi ‘Indonesian Ways’. Syaratnya mungkin hanya satu dan terkesan klise: belajar untuk menjadi diri sendiri.

Sampai pada titik ini, sudah tidak relevan lagi kita memandang budaya sebagai suatu kata benda. Budaya, kini mungkin bisa kita pahami sebagai suatu proses keberlangsungan yang menjadi dan terus menjadi pada dirinya sendiri.


Azhar Rijal Fadlillah,
Lembang, Juli 2012

Leave a Reply

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...