Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for November 2013

Wisanggeni


posted by Unknown on

No comments

Namanya Wisanggeni.
Bertubuh ideal dengan leher yang jenjang. Kakinya memanjang, seolah apapun yang ada dihadapannya dapat ia langkahi dengan mudah. Ia memiliki mata hitam kecoklatan, dengan pendar yang kadang redup kadang menyala bersinar, matanya selalu melemparkan sesuatu pada tempat yang jauh. Sebuah tempat yang sering dirindu-dendamkan banyak orang. Konon, tempat paling indah itu adalah tempat yang justru paling takut untuk dikunjungi banyak orang.

Jauh di ujung langit sana, tempat para dewa bersemayam dengan nyanyian dan puja-puji mahluk tanah, Wisanggeni dilahirkan. Dari tempat itu pula ia dilemparkan, jauh. Jauh sekali hingga ia lupa dimana ia dulu dilahirkan. Tapi sepasang mata Wisanggeni adalah penangkap memori visual paling mutakhir yang pernah ada. Teleskop ruang angkasa Hubble pun tidak mampu menyamai kemampuan mata Wisanggeni dalam mencerap benda-benda, juga segala peristiwa ruang dan waktu.

Wisanggeni tumbuh menjadi seorang gadis cantik, tidak dapat dibandingkan dengan kecantikan yang pernah manusia lihat sebelumnya. Ketika ia berjalan, bukan hanya burung-burung yang berkicau dengan khidmat, gumpalan awan-awan di atas sana pun tak sampai hati membiarkan kulit nya terpapar sinar matahari. Maka, setiap kali ia berjalan, mega-mega beriringan membentuk payung tepat diatas kepalanya.

Disamping parasnya yang mustahil diimbangi oleh kecantikan manusia, ia memiliki semua sifat yang selalu ada di mimpi para lelaki kasmaran. Ia adalah utopia sempurna dari ungkapan klasik bahwa tidak ada manusia yang sempurna.

Tapi, sebagaimana telah ditakdirkan, bumi ini memang telah bunting oleh malapetaka dan segala kesengsaraan. Konon, manusia-manusia yang berada disini hanya memiliki satu tujuan, melepaskan diri dari kutukan turun-temurun dengan berlaku baik, berbudi luhur, agar kelak ia dapat kembali ke ujung langit jauh diatas sana.

Dengan segala kecantikan dan keindahan yang ia miliki, ia segera menjadi perempuan termahsyur di negeri ini. Sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak laki-laki yang urung niat untuk mengencaninya. Hanya dengan mendengar kisah Wisanggeni, para petinggi kerajaan, saudagar ulung, pujangga yang rupawan, ksatria yang tak kenal takut, semua undur pamit dari gelanggang perebutan dewi langit itu.

Waktu terus berjalan, mengikat segala yang ada untuk tetap beriringan dengan rimte sang waktu. Sang pangeran tampan menjadi keriput, pedang-pedang tajam mulai berkarat, sajak-sajak indah menjadi tak lebih dari sekadar guyonan warungkopi, emas dan berlian kehilangan kilaunya, tapi Wisanggeni tak pernah terlihat bertambah usia. Ia tetap saja cantik dan mempesona. Ia masih saja Wisanggeni yang dulu, ratusan tahun yang lalu, dipuja-puji bangsa yang telah kehilangan peradabannya. Sang waktu pun tak sampai hati untuk menyentuh Wisanggeni.

Sekarang, zaman telah bergerak ke arah yang tak tentu. Beberapa orang mengatakan ini adalah zaman kemajuan teknologi, yang ditandai dengan berbagai penemuan mutakhir untuk menguasai alam. Manusia sudah bisa terbang dari benua Amerika ke benua Asia hanya dalam hitungan jam. Manusia telah mampu memprediksikan cuaca, meraba kapan akan turun hujan tanpa harus sesajen kembang tujuh rupa. Dan dunia sudah terpetakan dengan jelas, bumi ini bulat. Maka sejauh apapun kamu berlayar, kamu akan berakhir di tempat kamu bermula. Manusia akan kembali, selalu kembali ke tempatnya berasal.

Kemajuan ilmu teknologi juga telah merambah sampai ke bidang kedokterean. Dokter-dokter dengan jas putihnya itu kini telah mampu menunda kematian, menantang takdir! Atau barangkali memperjuangkannya. Pun begitu dengan paras manusia, kini ilmu pengetahuan telah memungkinkan untuk mengubah bentuk wajah dan tubuh manusia.

Wisanggeni pun telah banyak berubah, banyak kemampuan baru yang ia miliki untuk menghadapi zaman ini. Kini ia tidak hanya seorang perempuan dengan paras yang cantik dan budi yang luhur. Kini ia bisa berubah wujud menjadi apapun. Kadang, ketika sore hampir sampai di ujungnya, ia mengubah diri menjadi lembayung jingga. Lalu ia terbang mengangkasa menjadi bintang yang paling terang. Di waktu yang lain, ia berubah menjadi Monalisa atau gunung Fuji. Ia juga berubah menjadi notasi-notasi Beethoven, Mozart, hingga lagu-lagu yang ada di acara Dahsyat. Bahkan kadang ia cukup jahil, ia berubah menjadi pelacur yang ada di perempatan jalan ketika malam turun. Baginya, keindahan merupakan hak setiap manusia, bahkan lelaki hidung belang sekalipun. Segala keindahan adalah miliknya.

Hingga datanglah satu waktu yang paling ditakutkan semua manusia. Tidak ada lagi keindahan di bumi ini. Segalanya telah berubah menjadi hitung-hitungan matematis, segalanya menjadi terukur dan pasti. Benda-benda, manusia, peristiwa, telah berubah bentuk menjadi angka-angka. Di saat itulah Wisanggeni pergi. Ia terbang menuju langit jauh dan berharap tidak ada seorang pun yang akan merindukannya. Sebab dunia ini sudah terlalu lelah bahkan untuk tersenyum. Untuk merasa bahagia melihat keindahan yang dipinjamkan Wisanggeni melalui sepasang matanya.

Namanya Wisanggeni, ia telah pergi dan tak ada seorangpun yang menyadarinya.

Percakapan yang Sederhana


posted by Unknown on

No comments

Dapatkah kamu bayangkan kebahagiaan sederhana yang sedang ada dihadapanku saat ini.

Aku duduk di sebuah meja makan, menempati kursi paling pojok yang berada di ruangan. Tepat di samping sebelah kiri mejaku, terdapat dua buah jendela yang mengantarkanku pada lanskap kota asing ini. Terhampar jalan-jalan lengang, truk tua yang sedang beristirahat, rumah tempat tinggal yang sebagian lampunya masih menyala redup. Bukit kehijauan menyembul di ujung jalan, beberapa anak berseragam merah-putih berlari-lari kecil dengan tas yang terlihat kedodoran. Udara masih terlalu dingin di kota asing ini.

Aku memesan sebuah menu yang juga asing bagi lidahku. Sambil menunggu pesanan tiba, aku mengeluarkan sebungkus rokok dari kantung kemejaku, menyulutnya, menghembuskan asapnya perlahan menuju jendela disamping sana.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari kota ini. Sebuah kota kecil yang penduduknya mungkin hanya sejumlah satu kecamatan di kota besar. Tidak ada tempat wisata yang biasanya menjadi daya tarik sebuah kota bagi para pelancong. Bukan juga sebuah kota industri yang hiruk-pikuk dengan asap pabrik dan kemacetan. Hanya ada satu stasiun kecil di ujung jalan depan rumah makan ini, satu terminal di sebelah utara kota, satu dermaga tua yang mungkin sudah tidak beroperasi lagi. Bahkan kota ini tidak memiliki pusat perbelanjaan modern. Sinyal telepon genggamku pun hanya ada di beberapa ruas jalan saja, biasanya di jalan-jalan utama seperti rumah makan ini.

Aku mengunjungi kota ini bukan dengan tujuan untuk meluruhkan penat hidup, kebiasaan melodrama yang tak mau aku ulangi di usia yang sudah tidak remaja lagi. Kadang aku tersenyum tipis ketika mengingat beberapa tahun yang lalu, ketika luka dan sedih sudah tidak tertangguhkan oleh alkohol, aku sering pergi mengunjungi kota-kota kecil. Tinggal di penginapan yang paling sepi. Berdiam, hanya untuk menangis dan menulis puisi-puisi cengeng tentang melodrama kehidupan. Aku datang kesini dengan satu tujuan, seikat harapan yang mungkin masih tersisa di batas horison yang jauh disana. Sebab dalam hidup ini, memang masih ada batas-batas terujung yang layak untuk didekati. Aku mengunjungi kota ini untuk mendekatkan diri pada titik jauh itu.

Seorang perempuan paruh baya datang membawa dua piring dan segelas minuman, menghidangkan menu yang sedari tadi aku tunggu kedatangannya. Ia melemparkan senyum lalu kembali masuk keruang masak di belakang rumah makan ini. Segera aku makan dengan lahap, sambil sesekali mendengar berita melalui televisi yang tergantung di sudut rumah makan ini. Ditengah kekhusyukan prosesi makan pagiku, seorang perempuan menggendong ransel memasuki rumah makan ini. Ia terlihat kebingungan, aku menduga ia juga sama seperti aku, seseorang yang datang dari jauh. Aku kembali melanjutkan makan yang sempat terhenti, kembali dengan selentingan kabar-kabar yang didengungkan pembawa berita di televisi.

Diluar, jalanan mulai terjaga dari tidurnya. Beberapa bis antar kota terlihat melintasi jalanan di depan rumah makan ini. Aku memesan secangkir kopi, sebagai sebuah isyarat bahwa aku masih betah berada disini, tidak ingin segera pergi. Perempuan dengan ransel besarnya itu masih ada di depanku, terhalangi oleh tiga meja. Ia masih sibuk dengan catatan-catatan kecilnya yang terlihat berserakan di meja. Sedari tadi, ia memang sibuk mencatat dan membaca kembali kertas-kertas kecil itu. Kopi yang aku pesan sudah tersaji di meja, masih mengepulkan asap tipisnya. Aku meniup-niup cangkir kopi itu, seolah sudah tidak sabar ingin segera mencicipi kopinya.

"Masih panas, mas. Minum kopi itu tidak bisa seperti meminum susu. Kok terburu-buru?"
Suara itu terdengar begitu dekat, ketika aku tengadahkan kepala, perempuan yang sedari tadi sedang sibuk dengan kertas-kertasnya sudah berdiri didepan mejaku. Gerakan matanya seolah memberi tanda tanya apakah ia boleh duduk di sini. Aku hanya mengangguk. Tidak tahu harus berkata apa.

"Datang dari mana mas? sedang ada keperluan di kota ini ya?"
Tidak hanya aku, sepertinya ia pun melihat aku sebagai lelaki asing. Aku segera berhenti dengan kesibukan meniup cangkir kopi. Menyulut sebatang rokok dan perempuan yang kini ada dihadapanku memesan kopi juga. Sepertinya ini akan jadi percakapan dua orang asing di kota yang juga asing.

"Iya mba, ada keperluan bertemu seseorang di kota ini."
"Adiwidya, mas..." Ia mengulurkan tanganya.
"Kresna" Jawabku singkat. "Mba Widya sendiri?"
"saya sedang penelitian untuk tesis mas. Ini hari pertama tiba di kota ini. Masih bingung juga akan menetap dimana"
"Di ujung jalan ini ada penginapan mba, kamarnya cukup bersih dan yang tidak kalah pentingnya, disana tenang mba. Tidak berisik. Saya yakin itu salah satu hal yang dibutuhkan mba saat ini."
"Mas-nya sering kesini ya?"
"Ini juga kali pertama saya ada di kota ini mba. Kebetulan penginapan saya disana dan sepengetahuan saya, hanya ada tiga penginapan di kota ini. Penginapan itu lah yang paling dekat."

Percakapan menjadi cair, seperti dua orang kawan lama yang terpisahkan dan kini bertemu kembali di sebuah rumah makan asing. Ada beberapa kesamaan yang membuat kami betah untuk bercakap-cakap lama. Kami membenci keramaian, tidak pernah menyimpan ketertarikan pada acara televisi, menyukai beberapa novel yang sama, dan sepakat untuk tidak pernah menganggap hebat seorang penulis yang bertutur dalam kerumitan.

"Seorang penulis yang menuturkan idenya dengan rumit, ia belum bisa dikatakan sebagai penulis yang hebat. Ia masih sibuk berkutat dengan dirinya."
"Maka, seseorang yang mampu menulis dengan ringan dan tepat sasaran adalah seorang penulis yang telah selesai dengan kerumitan." Aku sangat menyetujuinya.

Kita bicara banyak hal, dari mulai resep nasi goreng, koran pagi, mesin ATM, politik, sastra, seni, hingga hubungan percintaan. Semuanya kita bicarakan dengan nada ringan, tanpa tendensi saling menggurui dan merasa diri paling hebat. Kita sudah sama-sama mafhum, bahwa banyak hal di dunia ini tidak perlu terjelaskan dengan gamblang. Kita saling mengagumi dalam diam.

Kalau aku perhatikan, ia memang perempuan yang menarik. Ia terlalu cantik untuk duduk bersama denganku. Setiap kata yang meluncur perlahan dari mulutnya, setiap jeda yang dibuat antar kalimat. Aku seperti terayun-ayun diantara jeda itu. Matanya yang kadang sayu ketika membicarakan hal tertentu bisa seketika berubah menjadi tajam. Mata yang aku pikir menyimpan cukup banyak luka dari masa yang jauh tertinggal dibelakang. Mata yang disempurnakan oleh sedih dan malam. Sepasang mata yang menjadikannya sempurna sebagai seorang perempuan.

Ia tidak sedikitpun tertarik dengan masa laluku, apa saja yang sudah aku lakukan, begitupun denganku. Aku hanya sedang menikmati percakapan sederhana dengan seorang perempuan yang tidak aku kenal, di sebuah pagi yang jauh dari tempat aku berasal. Baginya, masa lalu akan tetap lindap pada punggung masing-masing, seperti waktu, tetap hadir dengan misterinya.

"Kamu setelah dari sini akan langsung kembali ke penginapan atau punya rencana kegiatan lain?" Ia mengatakan itu dengan nada sedikit merajuk, seolah-olah ia merayu dengan lembut bahwa ia masih ingin ditemani. Masih banyak yang ingin ia bagi bersamaku.

"Aku belum tahu, sebenarnya aku datang jauh-jauh kesini untuk bertemu seseorang. Sepertinya aku akan berada disini lebih lama dari sekadar sarapan pagi dan minum kopi" Ia mengerti maksudku, aku juga masih sangat ingin berbagi cerita dengannya. Aku memesan lagi cangkir kopi kedua.

Aku meyakini satu hal, setiap pertemuan selalu membuka berbagai kemungkinan. Setiap percakapan, selalu menemukan potensi-potensi untuk saling memetakan, saling merumuskan. Itulah sebabnya mengapa bagi sebagian orang, percakapan merupakan cara paling ampuh untuk mengenal seseorang. Tapi aku lebih percaya pada sesuatu yang tidak nampak, sesuatu yang tidak ingin dilihat. Aku selalu menyukai gudang. Ya. Gudang bawah tanah! Sebuah tempat dimana seseorang menyimpan segala hal yang dianggapnya sudah tidak layak untuk dilihat. Mungkin aku akan menemukan bingkai foto-foto tua tentang masa-masa yang terlupakan. Mainan saat masih kecil. Mungkin beberapa barang kenangan bersama mantan kekasih juga akan ada disana. Jika aku ingin mengenal seseorang, aku begitu yakin bahwa apa yang ditampakan merupakan apa yang ingin dilihat. Tapi gudang, gudang adalah mesin waktu paling mutakhir untuk mengenal seseorang.

Tapi perempuan ini, ia berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya yang pernah aku kenal. Ia memiliki ketenangan yang sangat sempurna. Seolah ia memang diwarisi ketenangan para dewa dalam menghadapi marabahaya. Ia duduk dengan tenang, cara bicara dan tatap matanya. Semua itu kompak dengan gerak tubuhnya yang menggambarkan penguasaan diri secara utuh. Ia seperti sudah merencanakan pertemuan ini, ia terlihat sangat siap untuk segala kemungkinan. Sepertinya ia juga tidak berusaha menarik perhatianku dengan menceritakan hal-hal yang mungkin membuat aku tertarik.

Aku pikir, aku mulai tertarik dengan perempuan ini. Segala kesederhanaannya membuat aku seperti berada di sebuah rumah pohon di tengah hutan entah dimana. Tenang, ringan. Hanya ada perasaan nyaman.

"Kamu sudah punya istri?" Aku tersentak dari segala lamunan. Aku melihat ke arah televisi, masih berdengung dengan program berita. Aku yakin suara itu bukan berasal dari sana.
"Hey, Krisna... Aku tidak melihat ada tanda dalam dirimu yang menandakan bahwa kamu sudah beristri. Kamu sudah menikah?" Sekarang aku yakin, suara itu berasal dari perempuan yang duduk dihadapanku.

Telepon genggamku berbunyi, sebuah pesan masuk. Dari istriku, ia sudah menunggu 30 menit yang lalu di stasiun bersama anak kami.

Aku segera bergegas membayar makanan dan kopi. Perempuan itu masih duduk dengan ketenangan yang sama seperti saat ia pertama datang.

"Krisna, terimakasih atas waktunya pagi ini. Sampaikan salamku pada istrimu. Aku benar-benar rindu percakapan seperti ini. Dan kamu, ah masih saja seperti dulu."


Sekarang, sudah bisakah kamu membayangkan kebahagiaan sederhana yang aku rasakan kali ini? Ah, seperti cinta itu sendiri. Sesungguhnya hanya peristiwa sederhana. Getar dan desir membuncah, pecah, mengangkasa, lalu tiada.

Diluar jendela, hujan turun sangat deras.


Menghadap Langit Timur


posted by Unknown on

No comments





Pagi ini aku duduk dengan posisi sempurna menghadap langit timur. Dengan kekhusyukan yang sama sempurna nya ketika seorang muslim sedang beribadah. Menghadap langit. Menghadap langit.

Tidak ada bising racauan anak muda dengan segala optimismenya, juga dengung suara penderma ketika membagikan rahmatnya, apalagi para pengusaha yang nyaris tak pernah kehabisan tenaga untuk berteriak tentang produktivitas dan efisiensi produksi. Tidak ada gegas tangkas barisan orang-orang yang bersiap menuju lumbung emasnya, juga nyanyian parau tentang masa depan yang juga masih patut aku curigai. Tidak ada. Hanya menghadap langit. Menghadap langit. Menghadap langit timur.

Di kejauhan, sekumpulan burung murai dengan ekor hitamnya bermain bersama embun yang mulai luruh, digantikan terik yang akan segera menjadi. Aku masih terduduk dengan posisi sempurna menghadap langit timur. Konon katanya, segala sumber kehidupan berasal dari timur dan akan kembali pada batas horison di timur jauh sana.

Kamu akan menyadari puncak ekstase dari sebuah kesendirian ketika kamu tidak lagi mampu mendengar apapun, bahkan detak arloji pun tak mampu kamu dengar. Hanya nafas yang teratur keluar masuk rongga dada yang akan menjadi satu-satunya bunyi-bunyian yang mampu kamu dengar. Kamu juga tidak mampu lagi merasakan apapun yang ada disekelilingmu, kesadaran ruang yang biasanya menjadi batas satu-satunya untuk memagari segala kemungkinan kini melebur dengan peristiwa waktu yang berkelindan dan tetap misterius. Tetap misterius! Pandanganmu kini menyatu dengan rahim semesta, dengan jantung waktu dan tulang-belulang kesadaran. Lantas, apa lagi yang mesti kita namai sebagai kesadaran jika kamu sendiri merupakan induk dari segala yang ada? Apa lagi yang harus kita tandai sebagai sebuah peristiwa jika kita adalah jarum jam yang melentingkan segala waktu, segala musim, segala cuaca?

Tubuhmu kini begitu ringan. Sangat ringan hingga kamu pun tak begitu yakin masih bepijak pada basah tanah.

Kota-kota megah nan jumawa telah jauh-jauh hari kehabisan daya pesona nya, halte-halte tua terlihat letih dan muram, bangunan kaca gemerlap kini beradu tinggi dengan ilalang yang tumbuh serampangan. Stasiun dan gerbong-gerbong dirayapi karat, kepergian menjadi suatu nisbiah dan kepulangan selalu menyertai setiap keberangkatan.

Matahari melentingkan tubuhnya hingga jauh, jauh diatas langit timur. Aku, kamu, dan kelak mereka akan berada disini. Sendiri.

Menghadap langit timur. Menghadap segala mula dan akhir.

Masih Ingin Menulis


posted by Unknown on

No comments

Sudah lama rasanya aku tidak menengok halaman blog ini, dan satu tahun memang bukan waktu yang sebentar. Hampir genap satu tahun!
Hari ini aku memaksakan lagi untuk menulis, setelah ditampar cukup keras oleh sebuah email dari seseorang yang aku sendiri tidak begitu kenal.


Jarang membaca memang membawa hasil pada tulisan, beberapa kali aku sudah mencoba kembali untuk menulis. Hasilnya selalu dapat diprediksikan: masuk ke folder "draft" atau "recycle bin". Memang ada beberapa tulisan yang aku hasilkan dalam rentang waktu satu tahun ini, tapi jelas bukan tulisan yang aku rasa layak untuk mejeng di blog ini. Berkali-kali niat yang teguh untuk memulai kembali menulis hanya berakhir pada asbak yang penuh dan halaman putih bersih tanpa satupun kata. Ada banyak hal yang memang ingin aku tulis, puluhan to-do-list ide-ide yang aku simpan untuk kemudian dieksekusi menjadi sebuah tulisan ujung-ujungnya hanya berdiam saja disitu, tanpa membawa pengertian apapun, bahkan aku sendiri sudah lupa apa maksud coretan-coretan singkat itu.

Menulis mungkin memang serupa kemampuan berbahasa. Banyak orang yang akan setuju dengan ini, bahwa misalnya kita telah fasih menggunakan bahasa inggris, tapi apa yang terjadi jika selama satu tahun kita tidak berbicara bahasa inggris? Itulah mungkin yang terjadi juga dengan kemampuan menulis.

Lalu kenapa aku harus menyesali ketidakmampuanku untuk kembali menulis? Apakah menulis itu penting? Bukankah aku hanya seorang mahasiswa tua di jurusan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan proses kreatif? Dan lagi, aku juga tidak sedang merintis karir menjadi seorang penulis muda seperti Puthut EA (hehe, maaf bro, kamu masih tetap jadi panutan). Terlebih lagi, aku tidak begitu yakin bahwa bakat menulis ada pada diriku. Lalu mengapa hal ini harus menjadi persoalan?

Aku bukan jenis orang yang fanatik terhadap satu golongan, mazhab, ideologi, atau apapun kalian mau menyebutnya. Aku tidak pernah berdiam terlalu lama pada sebuah keyakinan, begitu keyakinan itu aku anggap sudah usang, ya tidaklah perlu diyakini lagi. Menulis, setidaknya bagiku sampai saat ini masih merupakan jalan keluar yang paling mungkin aku lakukan. Ada kesenangan disana, kepuasan, pelarian, dan ketentraman yang tidak bisa digantikan oleh Indeks Prestasi Kumulatif atau sederet prestasi lainnya. Aku senang menulis dan aku tidak memiliki tujuan apapun dari tulisan-tulisan itu, setidaknya sampai saat ini. Bukankah setiap tindakan tidak selalu memerlukan bangunan rasionalitas hanya untuk memperjelas motif-motif? Bukankah setiap tindakan tidak melulu harus dilandasi tujuan-tujuan? Seperti, kamu mencintai dia. Itu sudah cukup. Tidak perlu alasan, tidak perlu pembenaran.

Seorang penulis pernah berkata bahwa menulis itu memang tidak mudah, omong kosong jika ada seseorang yang mengatakan menulis itu mudah. Itulah sebabnya hanya ada sedikit penulis, meski sudah banyak bermunculan penulis-penulis muda yang sedang membangun karirnya, hanya sedikit yang berhasil melewati fase-fase awal: ujian konsistensi. Sebagian besar dari para pemimpi ulung itu hanya berakhir pada keputusasaan, lalu akhirnya ia menjalani hidupnya dengan cara lain sambil terus mengingat impian mudanya dulu.

Disiplin. Siapa bilang karya seni dan atau sastra itu hanya mengandalkan proses kreatif dalam menghasilkan karya? Tanpa disiplin, seorang penulis tidak akan mendapatkan apa-apa.

Tapi seperti yang aku katakan sebelumnya, aku bukan penulis dan tidak sedang merintis karir sebagai seorang penulis. Aku hanya sedang menjalani apa yang sudah aku mulai dan belum juga berniat untuk berhenti. Aku masih menikmati prosesnya, masih merindukan ekstase nya, masih mencintai hasilnya. Bagus atau tidak, itu bukan soal.

Aku hanya sedang melanjutkan apa yang sudah aku mulai. Dan saat ini aku harus mulai kembali membaca, mungkin membeli buku-buku baru yang akan menyegarkan beberapa jalur sirkuit di otak lapuk ini. Lalu mencatatkan apapun yang ingin aku tulis, seperti dulu saat aku mulai menulis.

Aku tidak, belum, dan akan tetap menulis.



Amorati


posted by Unknown on

No comments

Ini seperti seperti doa-doa yang sudah lama tidak lagi terbang ke angkasa.

Ini seperti malam yang gelap dan tidak membawa kabar apa-apa selain kelam. Seperti matamu, mata seorang perempuan yang telah usai digulung badai, mata yang seolah terdapat sumur tua di tengah hutan entah dimana. Aku hanya akan mendapati halaman kosong tanpa alamat tujuan.

Ini seperti rasa gelisah seorang pejalan yang kehabisan bekal dan persiapan. Ia ingin pulang, ingin bergolek malas diatas kasur sialnya yang membusuk dimakan cuaca, dirayapi waktu.

Ini seperti lelah seorang nelayan sehabis bersekutu dengan laut. Ia ingin menepi, menikmati dengus hangat perempuan pesisir yang tak lagi jelas memakai wewangian apa.

Ia lelah. Lelah. Lelah. Dan tak kunjung menyerah. Tapi ia lelah. Lelah. Lelah.


Mantra-mantra dan doa sudah lama tak lagi hinggap di dinding malam.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...