Diberdayakan oleh Blogger.
.

Archive for Mei 2011

perayaan atas gelap


posted by Unknown on

No comments

...sedari dulu, malam memanglah persekutuan sunyi dan rasa sakit.
lengang pada bangku-bangku memanjang,
mematah pada coda sudutnya.
terus begitu hingga malam melipat wajahnya,
hingga pagi dengan semburat jingganya memberangus gelap.
memahat rona asa di biru yang entah,-

kemudian,
kamu letakkan lampion di sudut taman. pendar kemuning.
aku pahat tanpa jeda, bingkainya.
cepat atau lambat, kita harus sadari;
malam memanglah persekutuan sunyi dan rasa sakit.
tempat lapang bagi para pesakit mengadu jerit.

biru,
singgahlah di taman kami, barang sejenak.
ajari kami tentang harap.

retak-gemeretak. sedu-pilu. kepada biru, kami menyatu.
biru yang entah...


Za
Lembang, 29 Mei 2011

Sedih itu seksi


posted by Unknown on

No comments

Selama ini aku cenderung menyukai perempuan yang nampak bersedih.
Sedih itu seksi.
Perempuan yang selalu nampak diam dan menyimpan luka.
Perempuan yang cenderung memandang sesuatu dengan tatapan kosong.
Pikirannya terbang entah kemana.
Mungkin,
Pada momen-momen sedih yang abadi dalam ingatannya.
....


Melihat perempuan seperti itu,
Aku selalu merasa ingin disampingnya, berbagi kesedihan.
Merayakannya bersama, karena kesedihan sungguh lekat dengan hidupku.
Bersama; perempuan yang seperti senja.-







Lembang, 15 Mei 2011





Wajah bernama; Bandung,-


posted by Unknown on

No comments


mereka:
tumbuh akar dan benalu di wajahnya,-
tak sadar, kota sudah menenggelamkan tubuhnya hingga leher.
yang tersisa hanya muka-muka tanpa nama.
berkeliaran dalam anomali tingkah, rupa, dan kata.
deret angka nol menjadi penanda wajah-wajah tak berdosa,
besok, siapa yang lebih kaya?-
tentu bukan aku.
...


(padahal pagi yang indah baru saja melempar cahaya ke udara. membuat terang warna tanah, membuat dedaun gemetar karena embun mulai luruh, dan gelap seperti biasa, mulai melipat wajahnya...)*


dari balik jendela, aku melihat mereka;
mengencani satupersatu berkah yang ada.
tak sadar, kuburan menggali dirinya sendiri.
kota telah kehilangan tubuhnya.
kelimpungan mencari-cari jalan pulang.
pada akhirnya, kesepian jalan memanjang.
mengetuk kamar-kamar di malam yang akan datang.
siapa yang bersetia padamu?
tentu bukan aku.


mereka:
wajah-wajah tanpa nama.
anonim!


serupa ucap yang patah,-
aku tanggal di bibir jalan. telanjang. dalam lengang malam yang kian panjang.
.......



Bandung, 13 Mei 2011



Sektor Informal- Eagle Awards 2011


posted by Unknown on

No comments


Kertas Gagasan; Usaha Sektor Informal sebagai Penggerak Utama Roda Perekonomian Indonesia
Azhar Rijal Fadlillah*)



Sektor informal, khususnya di negara dunia ketiga seperti Indonesia, bagaimanapun juga tidak bisa diremehkan keberadaannya. Dengan kejelian dan kreativitas yang muncul dari para pelakunya, sektor informal memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap krisis. Dengan perputaran modal yang –jika diakumulasikan—sangat besar, hasil (keuntungan) yang didapatkannya relatif bisa terdistribusikan secara luas, serta dengan daya serap tenaga kerja yang tinggi, sektor informal sesungguhnya telah berperan sebagai penggerak utama roda perekonomian Indonesia.
**



Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1971). Keith Hart menjelaskan, sektor informal adalah bagian dari angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga kerja terorganisasi. Apa yang dijelaskan oleh Hart rasanya belum cukup untuk memahami pengertian sektor informal secara komprehensif. Ada begitu banyak kegiatan sektor informal sebagaimana yang kerap terlihat di jalan-jalan kota di dunia ketiga yang tidak terdefinisikan Hart: pedagang kaki lima, penjual koran, pengamen, pengemis, pedagang asongan, dan pelacur, misalnya. Mereka itu merupakan pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil, dengan pendapatan rendah dan tidak tetap pula.
Ada beberapa karakteristik yang dapat dikategorikan sebagai usaha sektor informal, di antaranya adalah sebagai berikut ini :
a. Mudah untuk dimasuki;
b. Bersandar pada sumber daya lokal;
c. Usaha milik sendiri;
d. Operasinya dalam skala kecil;
e. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif;
f. Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal;
g. Tidak terkena secara langsung oleh Regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.


Kemunculan sektor informal kerap kali ditandai oleh kontradiksi antara ekonomi-politik dengan evolusi pertumbuhan perkotaan di negara-negara Dunia Ketiga. Pertumbuhan penduduk yang terkonsentrasi di kota-kota besar Negara Dunia Ketiga terjadi dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hanya saja, pertumbuhan kota-kota tersebut ternyata tidak diikuti oleh percepatan yang sebanding dengan tumbuhnya industrialisasi. Fenomena ini oleh para ahli disebut sebagai ―urbanisasi berlebih atau over urbanization‖. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat urbanisasi yang terjadi terlalu tinggi melebihi tingkat industrialisasi yang dicapai oleh evolusi suatu masyarakat. Akibatnya, lapangan pekerjaan yang mampu diserap sektor formal mengalami ketimpangan dengan angkatan kerja yang ada di suatu negara.

Dengan keterbatasan lapangan pekerjaan di sektor formal, hal itu tidak lantas membuat para urban menyerah. Mereka mencari peluang usaha dengan daya kreatifnya untuk dapat bertahan dalam kondisi yang serba terbatas. Dengan modal yang kecil, tingkat keahlian yang rendah, serta akses masuk yang relatif mudah, sektor informal kemudian menjadi alternatif bagi para urban yang membutuhkan pekerjaan. Selain itu, sektor informal pun bisa menyerap mereka yang telah bekerja di sektor formal untuk menjadikan usaha di sektor informalnya sebagai kerja sampingan.
Dengan melihat kenyataan tersebut, usaha di sektor informal bisa dipastikan menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Dari data yang berhasil dihimpun oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) per Desember 2010, tidak kurang dari 63% dari total angkatan kerja produktif di Indonesia yang terserap oleh sektor informal, yang terbagi ke dalam beberapa skala usaha, dari mulai kecil, menengah, hingga skala besar. Jumlah tenaga kerja di sektor informal ini merupakan angka yang besar, jauh melebihi jumlah pekerja yang terserap di sektor formal.

Fenomena sektor informal di Indonesia, memang bukan hal baru. Namun, hal penting yang patut dicermati adalah geliat mereka yang tak pernah padam. Selama ini, sektor informal bahkan dianggap sebagai katup pengaman yang efektif bagi perekonomian masyarakat bawah untuk tetap survive menghadapi kesulitan hidup yang terus membelit mereka. Dengan kejelian dan daya kreatifnya, mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan--setidaknya bagi diri mereka sendiri-- yang tidak terduga. Siapa yang mengira, jasa ojek payung, semir sepatu, tukang patri, tukang angkut kayu, dan lain sebagainya dapat tetap bertahan di situasi dan kondisi dewasa ini.

Mereka pun kerap memanfaatkan ruang-ruang publik yang terbuka sebagai peluang. Lihat saja lapang Gasibu Bandung di minggu pagi —sebuah area lapangan terbuka di depan gedung sate—yang kemudian dijadikan sebagai pasar kaget, tempat berkumpulnya para pedagang untuk menjajakan dagangannya. Mereka cukup jeli melihat kerumunan orang yang melakukan aktivitas lari pagi di hari minggu; atau coba kita lihat di sejumlah kantor pos di Bandung: seketika pelataran parkir bisa dijadikan lapak usaha. Mereka tahu benar bahwa pada tanggal-tanggal tertentu --pada umumnya awal bulan-- para pensiunan akan mengambil uang pensiunnya di kantor pos. Itu pun kemudian dijadikan peluang untuk menjual dagangan atau menjajakan jasanya. Sungguh, kejelian dan kreativitas adalah modal utama mereka.

Meski begitu, fenomena sektor informal bukan tanpa kendala: penetrasi pasar dan produktivitas yang meningkat dengan lambat, misalnya. Lihat saja industri rumah tangga pembuat mainan dan industri tekstil di bilangan Kopo atau industri sepatu di Cibaduyut. Mereka kehilangan kekuatan untuk masuk pasar karena harus bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar Indonesia, yang memberikan harga lebih murah. Merujuk pada teori ―economy of scale‖, ketika suatu produk dimassalkan, biaya produksi dapat ditekan dan total harga pokok penjualan lebih bersaing. Hasilnya, produk-produk impor –yang notabene memiliki pengaruh modalnya yang kuat-- akan mampu menjual produk dengan lebih murah. Untuk soal persaingan dengan produk-produk impor, seyogyanya pemerintah perlu melakukan semacam proteksi dan stimulus agar para pelaku di sektor informal lokal yang memiliki modal terbatas tersebut bisa tetap bertahan.

Mengingat sektor informal ini memiliki pelaku yang sangat besar, berbagai kendala yang dihadapi oleh usaha sektor informal perlu ditangani dengan lebih serius. Memang, telah ada sejumlah usaha yang dilakukan pemerintah untuk membantu usaha di sektor informal ini. Dalam hal permodalan, dengan telah dijalankannya program Kredit Usaha Rakyat (KUR), misalnya.

Program KUR tersebut boleh jadi bisa sangat membantu. Namun, hal itu akan menjadi sia-sia jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM pekerja, pembinaan, dan pelatihan berkesinambungan. Telah banyak contoh embrio usaha rakyat yang terpaksa harus gulung tikar akibat tidak adanya pengembangan yang terus-menerus.
Daya tahan yang dimiliki oleh sektor informal pun sudah sangat teruji. Sektor informal ini sangat tahan banting. Mari kita tengok kembali sejarah perekonomian Indonesia yang sempat terpuruk akibat krisis ekonomi 1998. Sementara usaha di sektor formal mengalami kehancuran besar-besaran, kita melihat dengan jelas bahwa sektor informal lah yang ketika itu tetap bertahan. Tukang bakso masih dapat menjajakan dagangannya di saat sektor perbankan kita carut-marut, misalnya. Mereka masih tetap dapat menghidupi keluarganya, yang juga berarti membantu mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.

Lebih dari itu, hal yang tak kalah pentingnya dari usaha sektor informal adalah daya distribusi modal dan profit yang jauh lebih merata ke semua kalangan. Jika pada korporasi-korporasi besar terjadi penumpukan modal dan profit yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, akan ada banyak kalangan atau komunitas/masyarakat yang bisa terhidupi oleh sektor informal. Dengan kata lain, agregat perputaran modal di sektor informal, jika diasumsikan sama dengan sektor formal, sesungguhnya akan mampu menghidupi jauh lebih banyak keluarga Indonesia.

Diakui atau tidak, perekonomian Indonesia telah terselamatkan oleh mereka yang terlibat di usaha sektor informal tersebut. Mereka lah yang sesungguhnya harus disebut sebagai pahlawan ekonomi Indonesia. Mereka adalah pahlawan yang mungkin tidak pernah tercatat oleh sejarah; pahlawan tanpa nama, jika kita tidak segera menyadarinya.
Ya, bagimu, Indonesia: itulah mereka, para pelaku usaha di sektor informal, yang cucuran keringatnya telah tertumpah, namun tak pernah tercium wanginya.
***

Bandung, 11 Mei 2011


-----------------------------------------------
*) Kertas gagasan ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Eagle Awards yang kami ikuti (Azhar Rijal Fadlillah dan Ratnaningsih). Setelah melalui berbagai dialog, terutama dengan M.S.Firdaus, rampunglah essay singkat ini. Untuk lebih mempertajam gagasan yang kami buat, saya meminta kerelaan rekan-rekan madfal untuk ikut serta mempertajam gagasan kami. Juga tidak lupa saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Om Daus atas bantuannya yang sangat besar dalam penggarapan essay ini.
Terimakasih...

selamat jalan,-


posted by Unknown on

No comments

‎|sejenak kita memicingkan mata pada jalan-jalan yang telah kita tandai dengan laju roda. pada akhirnya jalan memilih jejaknya sendiri. aku hanya bisa mengantarmu sampai disini, sudahkah terlihat tepinya?|

...semoga fragmen-fragmen historis itu mampu memberimu kuat,

pada langkah yang tersisa,
pada jejak yang harus kau tapaki sendiri kala aku menyepi dari suara dan gerak total.-

selamat jalan..







Tobucil, 7 Mei 2011

jejak-jejak patah


posted by Unknown on

No comments

I
ada tubuhtubuh pendahulu
melindap dibalik kepik riwayatmu.
sesekali muncul, bayangnya.
mengusap debu di tiangtiang masa yang lalu.
aku mengabu,
katupkatup jantung menderu. debar tak tentu,-


sejak hujan telah reda,
cangkir kopi menyisakan saripatinya; mengendap jauh di dasar.
penanda pesta telah usai.
bersamanya, pesta telah usai,-


"mereka bilang pesta telah usai, lalu mau apa lagi?"


sejak lampulampu dimatikan,
ketiadaan suara dan gerak yang total, kesenyapan.
pada akhirnya hanya ketakutan yang mampir.
jerit lengking patahpatah.
melunasi lengang yang panjang,-




II
dindingdinding mulai meletakan jemarinya pada bayang.
aku masih terdiam,
menanti malam melipat wajahnya.


"...sayang, belum tiba kah pukul tigapagi itu?"
-aku masih terdiam,
menanti malam melipat wajahnya.



"...sayang, belum tiba kah pukul tigapagi itu?"
-aku masih terdiam,
menanti malam melipat wajahnya.

"...sayang, belum tiba kah pukul tigapagi itu?"
-aku masih terdiam,
menanti malam melipat wajahnya.

"...sayang, boleh kah kupercepat jarum jamnya?"
aku tidak lagi terdiam,
kini tangis panjang,~



Tobucil, 1 Mei 2011




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...